Asmaradahana (Lengkap)

By NengKarisma

101K 8.4K 3.5K

🏆Juara I event writing maraton with Shana Publisher 🍀 Layaknya impromptu; dibuat atau dilakukan tanpa persi... More

Introduction
00. Prolog
00I. Konkret
002. Dejavu
003. Impulsif
004. Reaktif
005. Amfibi
006. Tacenda
007. Hipotesis
008. Kontradiksi
0010. Impromtu
0011. Predestinasi
0012. Sinkron
0013. Estungkara
0014. Ambiguitas
0015. Defensi Afirmatif
0016. Derana
0017. Bujuk rayu
0018. Mengais Restu
0019. Suka Cita
0020. Jatukrama
0021. Aritmia
0022. Daksinapati
0023. Cakrabuana
0024. Anantara Harsa
0025. Fatamorgana
0026. Lara
0027. Berahi hati
0028. Nahas
0029. Asmaraloka
0030. Hipoksia
0031. Harsa
0032. Asmaradahana
0033. Renjana
0034. Eunola
000. Epilog
⚠️ Pengumuman Penting ⚠️

009. Positif

2.8K 214 17
By NengKarisma

009. Positif

Jangan lupa tingggalkan VOTE, KOMEN & FOLLOW AUTHOR. Share juga cerita ini biar semakin banyak yang baca.

“Ada dua garis yang telah menjungkir balik hidup seorang manusia. Tidak ada lagi yang bisa menggugat takdir lurus-Nya.”—Geuslline Anyelir

🥀🥀

Bunyi decitan terdengar dari arah hospital bed, menarik perhatian seorang wanita berseragam perawat.

“Anye, kamu sudah bangun?” Tanyanya khawatir, seraya mendekati hospital bed.

“Ini di mana? Jangan bilang kalau ini rumah di sakit?” bukannya menjawab, gadis bersurai pendek itu malah balik bertanya. Ekspresinya datar seraya menatap sekeliling.

Ana—menatap sang adik ipar kebingungan. Gadis itu berubah. Dari nada bicara dan tutur kata, Ana bisa menangkap perbedaan.

“Iya. Kamu di rumah sakit. Kamu pingsan di sekolah.”

“Ck. Pantesan, pusing banget nih kepala.” Gadis itu berdecak kecil. “Abang kemana?”

“Abang?” kebingungan Ana semakin berlipat ganda. “Bukannya Anye panggil kakaknya dengan sebutan mas, bukan Abang?” ujar Ana di dalam hati.

“Abang nggak ada, ya?”

“I-ya, Mas Hasan masih di kesatuan.”

“Owh, pantesan.” Gadis itu beralih, menatap sebelah tangannya yang dipasang infus. “Ini bisa dilepas nggak sih? Gak nyaman banget. Membatasi ruang gerak, plus akit,” keluhnya.

“Infus-nya dilepas nanti, kalau kamu sudah sembuh.”

“Kelamaan.”

“Kamu masih sakit,” ujar Ana, memperingati.

“Ish, iya deh,” ketus gadis pemilik surai Brunette itu. “Aku mau ke kamar mandi, ribet harus bawa-bawa tiang infus.”

“Mau Mbak bantu?” Tawar Ana.

“Boleh deh.”

Ana beranjak guna membantu adik iparnya pergi ke kamar mandi. Sebenarnya dia tidak tahu kenapa Anye bisa sampai masuk rumah sakit. Untungnya, penanggung jawab Unit Kesehatan Siswa di tempat Anye mengenyam pendidikan merupakan teman Ana. Dia yang memberi tahu Ana soal kondisi Anye yang jatuh pingsan, kemudian dilarikan ke rumah sakit. Dari temannya pula, Ana tahu jika Anye bukan pingsan biasa, melainkan didiagnosa positif mengandung.

Informasi tersebut masih bersifat rahasia dan dirahasiakan. Hanya Ana dan temannya yang mengetahui diagnosa tersebut.

“Anye?” Panggil Ana lirih.

Gadis yang mengenakan baju rumah sakit itu menoleh. Menjeda sejenak kunyahannya. “Apa?”

“Apa kamu menginginkan sesuatu lagi? Jangan sungkan untuk bilang ke Mbak kalau ada yang mau kamu makan.”

Gadis itu mengangguk seraya kembali mengunyah. “Iya, nanti aku bilang kalau ada yang mau aku makan. Oh, iya. Aku lupa bilang satu hal.”

Ana mengernyit mendengarnya. Kira-kira apa yang lupa dikatakan oleh Anye. “Apa yang mau kamu bilang?”

“Aku Geul, bukan Anye.”

🥀🥀

“Mas, Anye baru saja tidur.”

Suara lembut itu terdengar lirih disertai dengan tepukan pelan di bahu pria berseragam loreng. Pria yang sejak tadi mengunci bibir.

“Kenapa baru bilang sekarang, dek?”

“Ana juga baru tahu, Mas. Pagi ini Anye dilarikan ke rumah sakit karena pingsan. Tapi, Risa bilang kalau Anye—positif.”

“Positif apa?” Pria itu berbalik, menatap sang istri lekat. Ada risau yang tergambar di matanya. “Anye kenapa?”

“Anye positif hamil, Mas.”

Bagaikan dihantam godam raksasa tak kasap mata, sesak dan nyeri bersamaan menyerang rongga dada. Pria yang berstatus sebagai abdi Negara itu tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah beristigfar kecil seraya mengepalkan tangan.

“Kenapa ini bisa terjadi?” Tanyanya gamang.

“Menurut ilmu kedokteran, kehamilan bisa terjadi jika dalam tuba fallopi ada ovum, sebuah spermatozoa akan bergabung dengan ovum dan terjadilah pembuahan membentuk zigot atau sel—“

“Maksudku, kenapa Anye bisa sampai hamil?” Sela pria tersebut. "Dia bahkan ... nggak punya pacar."

“Mas ingat soal kemarahan Talita sebulan yang lalu? Apa mas pernah bertanya apa alasannya?”

Pria itu terdiam dalam posisinya. “Anye—“ dia menjeda. Ragu untuk mengutarakan apa yang tengah dia pikirkan.

“Dalam kasus ini, kemungkinan besarnya Anye menjadi korban pelecehan seksual, tetapi dia tidak dalam keadaan sadar, mas. Dia melupakan kejadian tersebut.”

Hasan mencoba memutar ingatannya kembali pada kejadian di minggu-minggu ke belakang. Waktu itu, dia mendapatkan telpon tiba-tiba dari sang adik—Talita. Wanita itu memintanya untuk segera datang ke Surabaya.

Dari nada bicaranya, Hasan bisa menyimpulkan jika saat itu sang adik tengah menahan emosi. Kebetulan saat itu Hasan juga sedang tugas di kota Pahlawan. Saat tiba di sana, Hasan dihadapkan dengan kondisi si bungsu yanga amat mengkhawatirkan.

Talita tidak berbicara apapun kala itu. Wanita itu hanya mengutarakan niatnya yang sudah tidak sanggup lagi mengurus Anye. Talita bersikukuh jika Anye gila dan akan menjadi benalu bagi rumah tangganya.

Talita tidak pernah bercerita sedikitpun soal kondisi Anye. Hasan juga waktu itu mengira jika Anye hanya jatuh sakit karena kondisi kejiwaan yang terganggu, bukan karena alasan lain.

Sekarang nasi sudah menjadi bubur. Dia telat menyadari, juga telat menyelamatkan masa depan sang adik. Belum usai masalah kejiwaan Anye teratasi. Kini, gadis itu telah dinyatakan positif mengandung. Pemeriksaan ulang pun telah dilakukan, sesuai prosedur yang berlaku, dan hasilnya tetap sama. Positif.

"Anyelir."

Tatapan Hasan kini beralih ke bagian bawah perut datar sang adik yang tertutup oleh lapisan kain.

”Anye,” panggilnya lagi.

“Iya. Kenapa, mas?”

Ini Anyelier. Anye, adikku,” batin Hasan di dalam hati. Dia tidak menemukan keanehan pada lawan bicaranya. Gadis itu tampak seperti biasa.

“Apa masih ada yang sakit? Perlu mas panggilkan dokter?”

Gadis itu menggeleng kecil. “Cuma pusing sama mual sedikit,” ucapnya. “Mas Hasan nggak pergi ke kesatuan?”

Di luar, hari sudah mulai beranjak pagi. Pria yang berprofesi sebagai abdi Negara itu masih setia menemani sampai detik ini. Padahal, biasanya sang kakak akan pergi ke kesatuan sejak dini hari. Tahu, kan, bagaimana disiplinnya seorang abdi Negara seperti Hasan? Mereka selalu dituntut untuk siap, sedia, di saat panggilan dari kesatuan datang.

“Mas ambil cuti.”

“Cuti?”

Pria itu tersenyum kecil sembari mengelus pucuk kepala sang adik.
“Iya.”

“Kenapa mas tiba-tiba ambil cuti? Apa ini ada hubungannya sama Anye?”

“Bukan. Mas ambil cuti karena ada urusan penting.”

Gadis beriris kehijauan itu mengangguk paham. Sudah dua hari dia dirawat di rumah sakit. Dia belum juga diizinkan utuk pulang. Padahal dirinya sudah tidak betah berlama-lama di rumah sakit.

“Mas.”

“Iya, Na. Ada apa?” Pria itu menoleh, lantas menyambut kedatangan sang istri yang baru saja muncul dari balik pintu.

“Anye sudah bisa pulang hari ini.”

“Boleh?”

Ana mengangguk sebagai jawaban. “Iya. Dokter Ian barusan bilang boleh. Kondisi Anye juga sudah stabil.”

Hasan mengangguk, kemudian beranjak dari duduk. “Kamu dengar 'kan, Nye?”

Gadis itu mengangguk seraya tersenyum tipis. “Anye mau pulang, mas.”

“Iya. Kita pulang sekarang, ya?”

“Iya.”

Hasan tersenyum tipis mendengarnya. Ana juga mengumbar senyum melihat interaksi mereka. Tidak pernah terbesit rasa cemburu sedikit pun saat melihat kedekatan mereka. Pria itu sangat menyayangi adik-adiknya, tidak terkecuali Anye.

“Mas,” panggil Ana.

“Hm,” jawab sang suami sekenanya. Pria itu saat ini tengah fokus berkendara.

“Aku sudah buat janji sama dokter Bry.” Ana menoleh, meneliti setiap perubahan yang tampak di wajah sang suami. “Minggu depan dia memberikan jam khusus untuk kunjungan pertama Anye.”

Hasan yang tengah menyetir dengan kecepatan sedang mengangguk kecil. “Dia bisa sembuhkan Anye, ‘kan?”

Insaallah, mas. Dia dokter kejiwaan terbaik yang kami punya.”

“Hm.”

“Kamu nggak perlu khawatir, mas. Anye pasti bisa sembuh.”

Hasan mengangguk, mendengar ucapan sang istri. Sejenak ia menatap ke kursi penumpang lewat kaca spion di tengah mobil. Gadis itu terlelap dengan damai di belakang sana. Mungkin efek obat yang diminum, oleh karena itu Anye jadi mudah sekali tertidur.

Pada akhirnya, Hasan menyetujui usulan sang istri untuk memeriksanya kejiwaan Anye. Mereka sepakat membawa Anye ke dokter jiwa untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Lebih baik mereka segera mengambil tindakan untuk menangani, sebelum semuanya terlambat.

**

TBC

Positif; pasti, yakin, nyata, menunjukkan adanya kondisi tertentu, dll.

Sukabumi 25 Juni 2021

Revisi 06/09/22
Revisi 27/06/23

Continue Reading

You'll Also Like

1.9M 91.8K 55
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
1M 148K 49
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...
105K 7.9K 39
[CERITA INI MERUPAKAN SERI KEDUA DARI ANSARA] Menikah dengan seseorang yang ia tidak pernah kenali sebelumnya, sempat membuat Bumigantara mengalami...
14.3K 684 21
Terbelenggu dalam ikatan menjijikan bernama pernikahan bukanlah sebuah hal yang Natusha cita-citakan. Harapannya untuk terbang jauh meninggalkan Indo...