Sweet Escape [SELESAI]

By allynvrn

334K 30.2K 1.1K

"Gue udah bilang, lo bisa cerita apapun ke gue kayak lo cerita sama temen lo yang lain. Tapi kalau lo mau jad... More

Blurb
Prolog
1. Ciuman-ciuman Sialan
2. Manusia Paling Resek di Dunia
3. Kopi Darat
4. Kawan Baru
5. Kenal Lebih Jauh, Katanya
6. Lo Mau Jadi Teman yang Mana?
7. Tanda Bahaya
8. Sleepover
9. Perempuan-perempuan Menyebalkan
10. Bali
11. Drama Keluarga dan Insiden Telepon
12. Mabuk tapi Bukan Karena Anggur
13. Pertanyaan Orang-orang
14. Kehebohan di Media Sosial
15. Day and Night
16. Cerita di Karimunjawa
17. Cerita di Karimunjawa (2)
18. Last Day
19. Dinner
Cek Lapak Sebelah
20. Yang Lebih Baik dari Dia
21. Sayang?
22. Netizen Nyinyir dan Sang Mantan
23. Way Back Home
24. Obrolan Pagi-pagi
25. Episode Kegalauan yang Sempat Tertunda
27. Perang Menjelang Hari Natal
28. New Beginning
29. Yang Harus dihadapi
30. Impresi
31. The Nasution's
Epilog

26. Hubungan Abu-abu

7K 841 43
By allynvrn

KEJUTAN di-follow Gia ternyata cuma permulaan aja. Kejutan lain datang di Jumat sore, beberapa hari kemudian. Gia muncul di Ester Beauty House langganan gue, persis di depan mata gue dan dia menyapa dengan santai. Mata gue hampir melompat keluar saking kagetnya. Tapi yang selanjutnya yang terjadi justru membuat gue dan Gia makin akrab. Kami ngobrol setelah treatment. Membicarakan barrier skin, skin problem dan skincare apa yang cocok dan enggak buat satu sama lain.

Gue pikir mendekati keluarga Gideon adalah yang tersulit, apalagi Gia. Tampilan dan kesan yang muncul di kepala gue soal dia adalah perempuan yang serius, susah diajak bicara, dan nggak bakal akrab sama gue. Tapi ternyata itu semua nggak benar. Gia orang yang friendly, cerdas dan berpikiran terbuka. Terlihat bahwa dia nggak sama sekali berpura-pura atau menyinggung soal kelakuan gue. Bukan berarti gue bangga, tapi gue cukup bersyukur karena ternyata masih ada orang yang nggak memandang gue negatif seperti dia. Dan ya, hal itu sekali lagi membuktikan bahwa gue memang payah menilai orang.

"Gideon tuh aslinya emang manja banget. Ya di luar sih emang kelihatan garang, susah dideketin dan maskulin, ya kan? Tapi kalo di rumah tetep aja jadi anak bontot kesayangan."

Gue tertawa dan berakhir tersedak potongan sushi mendengar kelakar Gia. Pertemuan di klinik kecantikan itu membawa kami di salah satu meja Restoran Jepang.

"Iya bener, Kak. Gue pikir dia tuh resek dan nyebelin doang. Tapi ternyata aslinya manja banget."

Gia tersenyum penuh arti. "Tapi Gideon begitu cuma sama orang yang bener-bener deket dia sih, kayak keluarganya."

Gue balas tersenyum, agak salah tingkah sebenarnya.

Percakapan kami terus mengalir, nggak berhenti di satu topik doang. Kayaknya gue bisa banget bacotin satu dunia sama Gia. Dari segala macam obrolan, satu pertanyaan yang sudah terselip di otak gue seperti menuntun untuk segera menemukan jawaban. Saat suasana mulai tenang, gue memutuskan bertanya soal siapa El.

"El? Elisa?" Gia terkejut. "Gideon cerita soal Elisa ya?"

Oh, El itu Elisa rupanya.

"Enggak cerita langsung sih, aku cuma pernah liat fotonya di ponsel Gideon dan dia bilang itu El tapi nggak cerita setelah itu." Karang gue. Nggak mungkin banget gue bilang gue tahu El dari hasil stalking akunnya.

Walau terlihat ingin menyembunyikan perasaannya, Gia tetap berusaha ceria. Tapi gue merasakan ada kesedihan di raut wajahnya.

"El itu sahabat Gideon dari masih kecil. Mereka deket dan akrab banget." Gia tersenyum. Pikirannya seolah melambung ke masa lalu. "Tapi dua tahun lalu, El meninggal, tenggelam di pantai."

Tubuh gue mematung. Meninggal karena tenggelam? Apa itu artinya...waktu di Karimunjawa Gi—

"Padahal dia anaknya baik banget. Setahuku dia dan Gideon tetap kontekan walau El kuliah di Jerman sementara Gideon belajar bikin kopi sampai ke Vietnam. Sayang banget dia nggak berumur panjang."

Gue tertegun. "Gideon pasti terpukul banget ya, Kak?"

Gia mengangguk. "Waktu kejadian itu, Gideon baru selesai ikut festival kopi pertama dia di Vietnam dan Elisa baru pulang ke Indonesia untuk liburan semester. Kejadiannya begitu cepat, Elisa sempat dibawa ke rumah sakit tapi nggak terselamatkan. Begitu dapat kabar Elisa meninggal, Gideon langsung ambil penerbangan pulang malam itu juga dan nggak meninggalkan rumah duka sampai prosesi pemakaman selesai. Aku nggak pernah liat dia seemosional seperti saat itu. Dia nggak berhenti menangis bahkan beberapa hari setelahnya. Kita sekeluarga berusaha banget untuk bikin dia happy lagi. Untunglah sekarang dia masih di sini dan bisa hidup dengan baik, bisa sampai bangun Kapi-Kotta dan jadi seseorang yang berarti bagi perempuan yang juga berarti buat dia."

Gia menutup cerita panjangnya dengan mengamit tangan gue yang sudah dingin berkeringat.

"Gideon adalah seseorang yang berarti bagi kami. Bagi aku, bagi orang tua kami, bagi kelurga kami. Dan kini orang seberharga itu mencintai kamu. Aku tahu aku nggak punya hak ikut campur dalam hubungan kalian, tapi bisa kan aku minta kamu untuk memperlakukan Adikku itu sama berharganya seperti kami memperlakukan dia?"

***

Gue menyadari sesuatu yang mengganjal selama ini. Tentang gue yang selalu terbuka ke Gideon soal apapun, tapi Gideon nggak menceritakan banyak hal ke gue. Selain background keluarganya, gue nggak tahu lagi. Gue nggak tahu cerita masa lalunya, nggak tahu mantannya siapa, udah ngapain aja—oke bagian terakhir nggak penting.

Gideon memang sosok yang cukup misterius. Dibanding bercerita soal hidupnya, dia lebih sering mencurahkan waktu untuk mendengarkan seluruh cerita-cerita gue. Dulu gue nggak begitu khawatir dan nggak pengen tahu-tahu amat. Gue juga nggak menuntun Gideon membagikan hal yang sama dengan yang gue bagikan ke dia. Namun gue akui sekarang gue nggak bisa berhenti memikirkan soal Gideon juga spekulasi yang gue ciptakan soal kehidupannya di masa lalu.

Gue mencoba memancing Gideon untuk menceritakan dirinya ke gue dengan leluasa, seleluasa gue bercerita apapun ke dia seperti yang gue lakukan malam ini. Tapi Gideon enggan membahas masa lalu.

"Apa pentingnya coba bahas-bahas masa lalu?" tanyanya heran saat gue tengah menyisir rambutnya dari belakang. Dia mencoba berbalik untuk melihat wajah gue, tapi gue mendorongnya biar tetap menghadap ke depan.

"Gue pengen denger aja. Selama ini kan gue selalu cerita semuanya sama lo, tapi lo nggak pernah ngomongin masa lalu lo."

Gue enggan untuk menyinggung soal Elisa secara gamblang. Gue ingin dia menceritakannya sendiri.

"Nggak ada yang penting untuk dibagikan, Bi." Gideon berdehem.

Karena gue nggak merespons, dia berbalik dengan gesit. Kedua tangannya memeluk pinggang gue, menarik tubuh gue merapat padanya. Kepalanya mendongkak. Dia sedang duduk sementara gue berdiri, masih dengan tangan di rambutnya.

"Nanti ya, kapan-kapan?" bisiknya lembut.

Gue mendesah di tempat. Apakah masa lalunya seberat itu sampai dia nggak mau berbagi cerita?

"Nggak usah mikir aneh-aneh." Bisikannya mulai teras di kulit bahu gue.

"Iyaa," gue menyerah karena ciumannya yang ringan dari bahu turun hingga dada. Oh, sialan. Gue memejamkan mata sambil merapatkan kepalanya ke dada.

***

Minggu-minggu berikutnya kesibukan gue kembali berlipat-lipat. Nama gue sudah resmi menjadi pemain utama film "Gangster" genre action dari Mas Yanuar, membuat segala fokus terarah sepenuhnya untuk produksi. Gue latihan bela diri, nge-gym untuk membentuk otot perut, juga diet ketat. Peran gue kali ini nggak main-main, gue akan berperan sebagai anggota organisasi kriminal. Lawan main gue, Ramon Ray juga adalah aktor film action yang jam terbangnya sudah cukup tinggi. Syuting sih akan dimulai Februari tahun depan tapi karena banyak hal yang dibutuhkan untuk menunjang film, persiapan udah dilakukan dari bulan Desember. Kesempatan main film kali ini sungguh nggak main-main, jadi segalanya juga gue persiapkan dengan baik.

Kesibukan itu sedikit banyak berpengaruh sama hubungan gue dan Gideon. Gue nggak lagi main ke Kapi-Kotta sekitar sebulan. Gideon juga sedang sibuk karena Kapi-Kotta makin ramai setelah identitasnya terbongkar. Meski begitu, kami masih sering videocall dan bertukar pesan nyaris setiap hari.

Gue belum mengungkit cerita soal Elisa ke Gideon. Setelah obrolan dengan Gia juga keenganan Gideon untuk bercerita, ada sedikit asumsi yang muncul di kepala gue. Mungkin, mungkin saja, ketakutannya memikirkan gue mau menenggelamkan diri sewaktu di Karimunjawa, malah membangkitkankan kenangannya soal kepergian Elisa. Mungkin Gideon nggak sepenuhnya takut kehilangan gue. Gideon mungkin menyesal karena nggak ada di sisi sahabatnya itu saat ia berpulang. Dan keberadaan gue di hidup Gideon mengingatkan dia sama sahabatnya itu.

Mungkin begitu, mungkin juga enggak, sih.

Gue akui gue nggak bertanya karena takut asumsi gue itu benar.

Meski belum yakin sama perasaan gue sekarang, gue nggak mau mengambil risiko. Gideon adalah orang yang penting buat gue. Gue hampir kehilangan dia karena obsesi gue sama Jordan. Gue nggak mau kehilangan dia juga karena persoalan ini. Entah kehilangan macam apa yang takut gue rasakan, yang pasti gue ingin selalu ada Gideon di hidup gue.

Ah, mengingatnya gue jadi kangen.

Gue memutuskan meneleponnya setelah latihan bela diri selesai. Nggak berselang lama sejak dering telepon terdengar, Gideon mengangkat panggilan.

"Hai!" serunya senang. Gue lantas tersenyum.

"Hai. Lagi apa?" Rasanya perut gue tergelitik atas pertanyaan yang gue lontarkan barusan.

"Baru habis mandi. Lo? Masih di tempat latihan?"

"Iya ini baru selesai." Gue mengelap keringat yang mengucur di dahi. "Lo mandi trus siapa yang bikin kopi?"

Ini masih jam 4 sore, jadi Kapi-Kotta pasti sedang ramai.

"Emang gue nggak bilang ya? Sekarang udah ada barista lain selain gue. Jadi nggak begitu hectic."

"Ohh, gitu."

"Lo balik jam berapa?"

"Bentar lagi kayaknya tapi mau mandi dulu. Gue keringatan sebadan nih."

"Wih, seksi pasti ya."

"Seksi sih, tapi bau."

Di seberang sana Gideon tertawa kecil lalu berdehem. "Gue jemput aja gimana?"

"Nggak sibuk emangnya?"

"Enggak. Kan gue yang punya Kapi-Kotta."

Boleh sih. Biar gue nggak perlu telepon Sammy buat ke sini. Lagian kangen gue sama Gideon kayaknya harus diobati dengan cara ketemu langsung. Gue tersenyum. Kenapa rasanya gelitik di perut gue makin menjadi-jadi sih?

"Oke. Gue share location ya."

Gue mendekap ponsel gue merapat di dada setelah panggilan berakhir. Mungkin kalo ada Sammy di sini dia bakal bilang senyum gue udah ngalahin lebarnya senyum Joker.

Hah, apa ini ya yang namanya jatuh cinta lagi?

***

"Di Vietnam?"

Gue menoleh menatap sisi wajah Gideon. Dia sedang fokus menyetir tapi sesekali balas melirik gue.

"Iya. Paling seminggu sih di sana sekalian reuni katanya."

Gideon baru bercerita bahwa kemarin salah satu temannya yang jadi pengusaha di Korea bakal datang ke Ho Chi Minh karena sedang ada Festival Kopi di sana. Mereka saling kenal setelah sama-sama belajar kopi di negara itu. Temannya lalu mengajak Gideon ketemu buat sekalian membicarakan perkembangan bisnis masing-masing. Gideon juga bilang dia udah lama nggak ketemu temannya karena terakhir ke Vietnam itu dua tahun lalu.

Ya, ya, sebelum sahabatnya itu meninggal.

"Seminggu? Berarti natalan di sana dong?"

Gideon mengangguk. "Sekali-kali lah natalan nggak sama keluarga. Bosen juga gue dinasihatin sama keluarga besar tiap natalan."

"Trus Kapi-Kotta nggak apa-apa lo tinggal seminggu?"

"Harusnya sih enggak. Kan ada Kintani, sama barista baru itu."

"Sama siapa aja ke sana?"

"Sendiri. Maunya sih ngajak lo tapi lo kan sibuk."

Gue mengangguk sambil lalu. Mata gue kembali menatap ke jalanan yang padat merayap seperti biasa.

Gideon mendekat dan berbisik, "Lo nggak apa-apa kan gue tinggal?"

Gue tertawa kecil lalu menoyor kepalanya supaya menjauh. "Kenapa harus apa-apa, coba?"

"Ya kali aja lo mau mesra-mesraan sama gue tapi gue nggak ada, kan."

Gue menggeleng. "Kalimat lo tuh kedengaran kayak kita pacaran aja."

Gideon memutar bola matanya. Dia kelihatan hendak mengatakan sesuatu tapi bunyi klakson mobil belakang membuat dia lekas menjalankan kendaraan dan hal yang entah apa akan dia sampaikan tenggelam begitu aja.

"Makasih Gideon, udah mau repot-repot."

Gue melepas seat-belt lalu mengusap pipinya. Gideon tersenyum manis, kepalanya mengangguk kecil.

"Sama-sama, sayang."

"Ishh...." Gue menepuk bahunya tapi kemudian kami terkekeh bersama. Gue meredam kuat-kuat gejolak menggelitik di dada hingga perut gue.

Duh, gue baper apa gimana sih? Padahal dipanggil sayang doang.

"Ya udah gue masuk dulu ya. Lo balik gih, jam-jam segini Kapi-Kotta pasti ramai banget."

Gue hendak mendorong pintu mobil, tapi tangan Gideon terasa membungkus lengan gue. gue otomatis berbalik menatapnya. Gideon mencondongkan tubuhnya sampai kepalanya dan kepala gue bener-bener dekat. Gue bisa merasakan napas halusnya di wajah gue.

"Bianca, kalo gue udah balik dari Vietnam nanti, lo kasih gue jawaban ya?"

Gue mengerjap beberapa kali. Gue tahu kali ini dia nggak lagi bercanda atau modus. Dia serius. Gue bisa melihat sorot matanya berbinar penuh harap.

Lantas gue mengangguk. Sepertinya rentang waktu seminggu udah cukup untuk gue berpikir matang-matang.

"Iya.."

Gideon lalu melepas tangannya dari lengan gue. Dia menunggu sampai gue menghilang di balik pintu rumah lalu menjalankan mobilnya kembali.

***

Penerbangan Gideon ke Vietnam terjadi dua hari kemudian. Saat itu gue nggak bisa ikut mengantarnya karena tabrakan sama jadwal gue. Gue cuma bisa ngasih pesan semangat dan jangan lupa pulang di Whatsapp. Sebenarnya selain masalah jadwal, gue juga masih nggak berani berhadapan sama orang tua Gideon yang setahu gue hari itu ikut mengantar dia ke Bandara.

Gideon sih bilang bahwa Mami-Papi nya baik dan nggak aneh-aneh, tapi tetep aja membayangkan akan ketemu mereka udah bikin gue merinding apalagi kalau sampai beneran kejadian. Bakal parah banget kalo sehabis ngaterin Gideon ke Bandara dan gue harus ikut mereka main siang, atau apalah. Bisa mati kutu gue. Apalagi kalo nanti sampai ditanya-tanya perihal rentetan 'prestasi' gue. Beneran bisa mampus di tempat sih.

Setelah sampai di Vietnam, Gideon kayaknya sedikit sibuk. Dia bilang sama gue beberapa agenda dia di sana yang semuanya berhubungan sama kopi. Ikut festival kopi, ke perkebunan kopi di daerah pegunungan, ngunjungin kedai kopi yang dulu jadi tempat dia belajar bikin vietnam drip, ketemu sama temen-temen baristanya, gitu-gitu deh pokoknya.

Gue nggak ada khawatir sama dia, selain fakta soal Elisa yang kerap mengusik pikiran gue. Tapi empat hari setelahnya, Gideon hilang kabar. Pesan gue sejak pagi nggak dibalas, dan dia nggak ngasih kabar apapun. Padahal biasanya bangun tidur aja langsung nge-chat gue. Gue nggak mau overthingking, karena—apa gue punya hak untuk itu? Hubungan gue sama Gideon sekarang abu-abu, nggak jelas. Gue ngerasa nggak berhak aja untuk selalu tahu dia di mana dan ngapain aja sementara gue sendiri belum mengakui perasaan gue ke dia.

Ini nih yang gue nggak suka dari proses PDKT buat jadian. Gue nggak suka membiarkan mood gue harus bergantung sama seseorang dan selalu bertanya setiap waktu tentang dia. Kalau temen tidur dan jalan kan nggak selalu gitu. Gue nggak perlu repot-repot nunggu dia ngasih kabar, atau khawatir dia jalan diam-diam sama cewek lain. Semuanya bebas dan nggak terikat.

Tapi pacaran, itu another level. Lo harus siap berkomitmen untuk menjadikan dia satu-satunya, berkompromi sama kekurangannya, membiarkan sedikit dari kebebasan lo untuk dirampas—dan mengizinkan dia tahu lebih banyak tentang lo. Itulah kenapa gue nggak pernah mempertimbangkan cowok-cowok di hidup gue untuk sampai ke tahap itu. Kecuali, Jordan dan sepertinya sekarang Gideon.

Huh. Berat juga ya cyinn urusan hati ini.

"Lo kenapa mukanya bete gitu? Capek?" Sammy menghampiri gue sambil membawa toast dan kopi favorit gue dari Kapi-Kotta.

Gue yang semula selonjorang tanpa minat di sofa lekas memperbaiki duduk lalu meraih makanan yang dibawa Sammy. Kita berdua lagi ada di waiting room sebuah studio pemotretan. Gue sedang break pemotretan dan wawancara buat sebuah majalah. waiting room ini emang lagi sepi karena jam makan siang jadi gue bisa santai sambil nunggu kabar Gideon.

"Gideon nggak ngasih kabar jadi gue bete." Gue mulai melahap toast menggoda itu begitupun dengan Sammy. Makannya lebih lahap dari gue karena kayaknya dia belum sarapan.

"Capek kali karena party semalam," celetuk Sammy agak nggak jelas sebenarnya karena mulutnya penuh roti.

Gerakan gue mengunyah otomatis berhenti. Gue meneguk kopi terlebih dahulu.

"Party apa? kok gue nggak tahu?"

"Lah," Sammy menelan makanannya dengan cepat. "Lo lihat instastory-nya nggak sih? Semalam dia story ada party gitu tapi gue nggak perhatiin juga party apaan. Kayaknya masih ada deh story-nya coba lo cek gih."

Gue bergegas membuka akun instagramnya, dan bener aja. Ada beberapa instastory closed friend yang muncul di sana.

"Eh temen bulenya cakep-cakep ya, Bi? Boleh kali nanti lo minta username instagram mereka buat gue? lumayan buat cuci mata sama yang hot gitu."

Gue nggak menghiraukan Sammy karena mata gue sudah sibuk menganalisa situasi yang nampak di potongan instastory itu.

Terlihat Gideon memegang kamera dan mengarahkannya ke segala arah yang sepertinya adalah sebuah caffeeshop yang modern namun remang. Ada banyak orang yang terekam di situ, kayaknya temen baiknya karena beberapa orang melambai ke kamera. Lalu terakhir, ada sosok bule perempuan di sampingnya yang tersenyum manis setelah menyesap secangkir kopi.

Alisnya terbingkai sempurna, rambutnya coklat tua, wajahnya putih dengan freckles disekitar hidung dan pipi. Meski begitu, dia cantik. Bagian paling menarik darinya ada bibirnya yang menggoda sempurna. Dia kelihatan kayak Anne Hathaway versi tujuh tahun lebih muda.

Sialan.

Gue berpindah ke instastory berikutnya, isinya boomerang Gideon sama sih Anne Hathaway. Posisi mereka cukup dekat sampai gue nggak bisa melihat jarak antara lengannya sih Anne Hathaway ini sama badannya Gideon. Wait, apa mereka rangkulan?

Gue membanting ponsel gue ke sofa.

Ohhh, jadi Gideon nggak ngabarin gue karena semalam sibuk party sama cewek lain?

"Uh, siapa tuh, cakep ya, beb."

"Mana gue tau." Sahut gue datar.

"Hahahaha," Tawa Sammy bikin gue beralih menatap dia kesal. Sammy malah mengelus lengan gue dengan tawa kecil yang masih tersisa. "Lo cemburu ya? Muka lo udah kayak mau terkam orang tauk!"

"Diem atau lo gue terkam."

"Ups, lagi mode galak nih." Sammy menepuk lengan gue lalu melanjutkan makan. Sementara gue sudah kehilangan selera. "Tanyain aja nanti, siapa tahu cuma temen."

Gue mencebik kesal. Kata-kata Sammy barusan nggak bikin perasaan gue lebih baik. Ya, gue juga cuma temen Gideon kan? Temen ngobrol, temen ciuman dan tidur bareng. Apa hak gue cemburu dan marah-marah ke Gideon?

Gue juga yang bilang dia nggak punya hak buat marah atau cemburu kalo gue jalan sama cowok lain. Aneh banget kalo sekarang gue mempermasalahkan ini. Tapi ini jadi nggak beres karena gue nggak bisa menyembunyikan kecemburuan gue. Perasaan kesal karena instastory barusan itu nyata. Apalagi setelah gue uring-uringan seharian karena dia hilang tanpa kabar.

***

Hola, tebak-tebakan kemarin rame juga walau yang bener cuma satu wkwk

Au berusaha bikin part ini jadi lebih ringkas, semoga alurnya nggak kecepetan yah!

Continue Reading

You'll Also Like

537K 57.1K 20
Lilian merasa dunianya runtuh saat sang ayah meninggal, dan meninggalkan perusahaan yang terjerat utang padanya. Di saat tidak ada yang dapat membant...
1.4M 98.9K 47
KINARA HADIKUSUMA. "Apa kabar?" "Bagaimana hidupmu tanpa aku?" "Setiap detak denyut nadiku, Aku selalu memikirkanmu" Kata-kata itu harusnya lolos da...
65K 3.3K 46
Gue mendefinisikan cinta sebagai dorongan hormon testosteron dan serotonin yang disalah artikan sebagai perasaan cinta -Lunara Zavya Salim Bagi gue...
582K 39.3K 33
(17/21+) [COMPLETE] dipublish 10 Januari 2019 - tamat 16 Maret 2019 POV 1 [ Akssa & Laras ] Apa yang tidak dimilikinya? Uang, mobil, apartemen, peru...