Aljabar

By Lukabercakap

3.1K 586 119

"Namanya kayak pelajaran matematika bab Aljabar yang bikin pusing. Aneh." "Selagi senyuman gue setara dengan... More

Cuap-Cuap Author
PROLOG
(1) Kutukkan
(2) Gadis Berkepang Dua
(3) Telinga yang Dikorbankan
(4) Khilaf
(5) Saksi Bisu, Buta, atau Tuli?
(6) Menunggu Gera
(7) Lomba Debat
(8) Minta Maaf
(9) Kemarahan Khalid
(10) Bertengkar
(11) Terpesona
(12) Baritma
(13) Saktah
(14) Diculik
(15) Jangan Sentuh Dia!
(16) X dan Y
(17) Gagal
(18) Nyaris
(19) Ajari Aku
(20) Mencari
(21) Takut
(22) Salah Mengerti
(23) Menikah?
(24) Jaga Punyaku
(25) Simulasi
(26) Guling
(27) Kue
(28) Satu Sekolah
(29) Afiza
(30) First
(31) Peluk
(32) Tentang Sharela
(33) Confess
(34) Hadiah Pulpen
(35) Luka Terdahulu
(36) Pergi dan Berpaling
(38) Marah

(37) Tidak Berhak?

54 9 0
By Lukabercakap

"Nama lo siapa?"


"Joyko."

"Hah? Kok kayak bumbu dapur punya emak gue?"

"Itu Royko, ogeb!"

"Astaghfirullah, kamu ndak boleh entokesis begitu." Urban mengulurkan tangannya pada Joyko. "Nama gue Urban. Bukan Uban. Kalau bilang Uban, berarti lidah lo pelo!"

Berita duka kematian ibunda Abar dengan cepat menyebar luas di telinga warga SMA Islamiyah. Khawariz yang menyebarkan berita tersebut. Dia sangat paham akan kondisi mental Tamara karena dihantui rasa bersalah. Khawariz mengetahuinya di hari pernikahan Abar dan Gera, Khawariz berbicara pada Tamara secara diam-diam karena selama ini putrinya tidak tahu siapa perempuan yang pernah dicintainya. Dia mengatakan permohonan maaf. Akan tetapi, Tamara justru merasa bahagia karena bisa melihat Rasyila dalam diri Gera.

Khawariz pikir, semua masalahnya telah usai. Akan tetapi, dia tidak tahu bahwa setiap malam, setiap melihat wajah Gera, rasa bersalah Tamara terus saja menyakiti dirinya sendiri.

Pak Tagram, Urban, Bryan, serta Afiza—sebagai perwakilan dari warga SMA Islamiyah sengaja mendatangi rumah Abar setelah pulang sekolah. Kebetulan Taya, Aham, dan Joyko belum pulang. Taya yang menyuruh Joyko menemani Urban membujuk Abar agar mau keluar dari kamarnya.

"Abaaaarrr, hiksroooootttt. Bukaaa pintunyaaaa. Istighfar, Bar. Nyebut ayo nyebuttttttt. Jangan syediih lagihh ogheyyy. Ayo buka, di bawah sana ada Pak Tagram sama nenek putri. Kata Pak Tagram kalau nggak mau turun tinggal pilih sendal atau sarung." Urban berteriak di depan pintu kamar Abar.  Joyko hanya geleng-geleng kepala. Kasihan si Abar. Mengapa temannya pasti ada yang otaknya gesrek dikit.

Pintu kamar yang sudah berjam-jam terkunci akhirnya terbuka. Tampak Abar dengan wajah sembap, rambut acak-acakkan, bajunya yang lusuh, serta mata yang memerah. "Pak Tagram? Ada di sini?" tanya Abar dengan suara serak.

"Iya, Bar! Sama ada kakak kelas yang lo panggil uti-uti itu."

"Ayo, Bar. Turun. Guru dari sekolah lo dibela-belain dateng ke sini," Joyko menambahkan.

"Yaudah, ay—"

"Eh, itu muka lo dicuci dulu lah, hiksrot. Rambutnya disisir, bajunya dirapihin, air matanya di elap, terus senyum.  Ada Kak Uti-Uti, temen gue harus kelihatan ganteng. Siapa tahu Kak Uti-Uti naksir sama elo. Kan lumayan. Pacarannya nggak sekarang, tapi nanti saling mencintai dalam diam. HAZEEEEK." Urban heboh sendiri.

Joyko berdecak. "Kelamaan. Uti-Uti apaan sih. Abar tuh udah beri—"

"Oke. Tunggu sebentar." Abar memotong cepat Joyko yang nyaris keceplosan. Dia kembali masuk ke kamar untuk membenahi penampilannya. Dari tadi benaknya juga tak luput dari sang istri. Ke mana Gera? Mengapa dia tidak terlihat sejak pagi? Atau Abar yang sibuk mengurung diri jadinya dia tidak melihat Gera?

Urban memicingkan matanya. "Beri apa tadi?"

Joyko gelagapan, dalam hatinya dia mengumpati bibirnya yang nyaris keceplosan. "Beri...."

"Beri apa?"

"Heh, otak lo lemot banget si anjir. Cepet mikir," batin Joyko.

"Berikan aku kasih sayang, muach."

Urban begidik. "Najisong."

Abar sudah selesai dengan ritualnya. Kini wajahnya nampak lebih cerah dan segar setelah dicuci dengan sabun muka serta air wudu. Rambutnya disisir rapih. Pakaiannya masih tetap seperti tadi, hanya celananya diganti dengan sarung. Abar berusaha menarik kedua ujung bibirnya agar kembali bisa tersenyum.

Akan tetapi, mengapa seolah terasa berat?

Dan... di mana Gera?

"Ayo."

Abar, Urban, serta Joyko menuruni anak tangga. Pak Tagram yang semula duduk di sofa ruang tamu, langsung berdiri dan memeluk erat tubuh muridnya. Afiza duduk terdiam dengan bingkisan dari warga sekolah di tangannya. Meskipun Abar adalah warga baru di SMA Islamiyah, tidak membuatnya dianggap asing.

"Abar, saya turut berduka cita atas kematian bunda kamu. Jangan pernah menyerah untuk terus melangkah. Kehilangan merupakan hal yang lumrah, nak. Anggap saja rasa sesak yang kamu rasakan sebagai cambuk untuk membuatmu maju di masa depan. Teruslah melangkah, di sana ada yang sedang menantimu. Masa depan cerah."

Mendengar penuturan dari Pak Tagram, Abar tak kuasa lagi menahan tangisnya.

Bahkan Joyko, Taya, Aham, serta Pytha baru kali ini melihat sosok Aljabar Linear Baritma terlihat rapuh. Senyuman yang biasa menghiasi wajahnya, lenyap entah ke mana.

Afiza menatap prihatin. "Semoga Allah menguatkan hati kamu, Bar," gumamnya, tanpa didengar oleh siapapun.

•••

Pukul 22.00

Semakin banyak diksi-diksi indah yang terucap, semakin resah akan jarak yang kelak akan bertindak.

Memori-memori dari diksi itu sudah pasti akan sulit dienyahkan.

Dipeluk erat, takut timbul derita, dilupakkan rasanya tak mungkin bisa.

Bola mata Gera bergerak membaca huruf-huruf yang tersusun menjadi sebuah kalimat indah. Taksi sedang melaju kencang menuju rumah Abar. Jendela mobil sengaja di buka oleh Gera, dia ingin menghirup bau-bau hujan yang sudah reda.

Bertukar aksara denganmu membuat senyuman di bibir tercipta.

Akan tetapi, siapa tahu perihal hati yang sedang menjerit pilu karena tak berhasil mengutarakan rasa.

Pahami kata-kataku meski sulit dicerna.

Rasanya tidak mungkin jika hati bertukar peran dengan lisan.

Jika hati berucap, hanya diri yang mendengar.

Jika mereka bertukar peran, mungkin akan terjadi kekacauan.

"Mbak, sudah sampai ditujuan."

Gera menutup buku diary milik Logan, memasukannya ke dalam tas. Setelah membayar taksi, dia turun dan berjalan memasuki rumah Abar dengan santai. Seolah tidak pernah mendengar nasihat yang Abar katakan.

Saat Gera akan membuka pintu, tiba-tiba pintu itu terbuka dan menampilkan Abar yang sedang bersedekap dada. Dia memonitori penampilan Gera yang hanya mengenakan dress selutut basah karena air hujan, bagian lengan terbuka, serta rambut yang tidak tertutup sehelai kain pun.

Gera berusaha untuk memasang ekspresi senormal mungkin. Padahal hati kecilnya merasa takut.

Dengan tatapan dingin serta tanpa sepatah kata, Abar mendekati Gera dan menggendong istrinya dengan model bridal style ke dalam kamarnya.

"Abar, turunin aku!" Gera berusaha memberontak ketika, tetapi Abar semakin mengeratkan tangannya pada tubuh Gera hingga mereka tiba di kamar mandi.

Abar menurunkan Gera dari gendongannya dan menaruh istrinya itu di dalam bathub berisi air hangat. "Mandi," titah Abar dengan suara tegas, dia keluar dari kamar mandi.

"Abar!" Gera bangkit dari bathub, tubuhnya sudah basah kuyup. Dia berusaha membuka pintu yang ditutup Abar, tetapi tidak bisa. "Tega kamu ngunci aku di kamar mandi?!"

"Maksud kamu apa giniin aku, Abar?!"

"Kamu denger teriakan aku nggak sih?"

Gera  berteriak, tetapi tidak didengar oleh Abar karena cowok itu sedang mengemas semua pakaian-pakaian milik Gera.

"KAMU JAHAT!"

Perkataan Gera yang terakhir membuat emosi Abar membeludak seketika. Dia berjalan dengan langkah cepat dan membuka pintu kamar mandi dengan kasar. Dia mendekati Gera dan berteriak tepat di wajah istrinya, "KAMU BILANG AKU JAHAT?" Abar menatap Gera tidak percaya. "APA AKU NGGAK BERHAK MARAH SAMA KECEWA?"

"IYA, KAMU JAHAT. MAKSUDNYA APA PERLAKUIN AKU KAYAK GINI?" Gera balas membentak, kemudian menunduk takut.

Abar memejamkan matanya sebentar, menarik napas, berusaha agar tidak kelepasan. "Bunda aku meninggal dunia, aku berduka, kehilangan, sakit, sesak," Nada bicara Abar turun beberapa oktaf.

"Apa kamu nggak ada niatan buat berdiri di samping aku, genggam tanganku, peluk tubuhku, dan hapus air mataku?" ucap Abar lirih, matanya berkaca-kaca.

Gera menggigit bibir bawahnya. Dia terjebak di sebuah dilema. Kesedihan saat ia kehilangan mamanya serta melihat Abar yang nyaris menangis.

Abar menekan giginya, dia tidak boleh menangis saat ini. "Aku bodoh karena terlalu berharap sama kamu." Abar menyeka ujung matanya, sebelum air mata itu jatuh.

"Sekarang kamu mandi, bersihin diri. Aku nggak mau lihat kamu sakit."

"Semua pakaian kamu sudah aku siapkan. Sebagai suami kamu, aku punya tanggung jawab di dunia maupun di akhirat. Pakai pakaian yang sudah aku siapkan."

Gera terdiam, dia tidak tahu harus berkata apa.

Abar menarik napas, berusaha agar emosinya tidak kembali membeludak. "Habis mandi, jangan lupa makan setelah itu langsung tidur, nggak usah nyariin aku."

"Aku pergi dulu."

Setelah mengatakan itu, Abar menutup pintu kamar mandi dan pergi ke luar rumah menggunakan Jamet miliknya.

•••

Ada yang mau ditanyain?

Yey mereka geludd😍😛

See you next chapter!

mrentymrn

Continue Reading

You'll Also Like

5.4M 228K 54
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
RAYDEN By onel

Teen Fiction

3.5M 217K 66
[Follow dulu, agar chapter terbaru muncul] "If not with u, then not with anyone." Alora tidak menyangka jika kedatangan Alora di rumah temannya akan...
ARSYAD DAYYAN By aLa

Teen Fiction

2M 109K 59
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
2.4M 129K 53
[PART MASIH LENGKAP] "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua!" Baginya yang terbiasa dibandingkan den...