Catatan sang Musafir (Complet...

By Amaranteya

6.2K 1.4K 176

Dunia terlalu luas bagi mereka yang menenggelamkan diri di sudut kamar. Namun, terlalu sayang dilewatkan bagi... More

Prolog: Catatan Kecil Eksodus
1. Patung Telanjang dan Hakikat Tubuh
2. Perempuan Bertopi dan Kemanusiaan
3. Hak Asasi dan Hubungan Darah
4. Perihal Menggadaikan Tuhan
5. Fana Waktu di Zytglogge
6. Intoleransi pada Objek Fantasi
7. Santo Nicholas of Flue
8. Tak Memiliki Kepemilikan
9. Memori Singkat Samarra
10. Logika Sakyanasta
11. Ultimatum dalam Cinta
12. Kota Saleh yang Diazab
13. Kemahatahuan Allah
14. Tuduhan Pelecehan
16. Yang Diraup para Korup
17. Embel-Embel Agama
18. Geliat Aya Sofya
19. Kisah Kelam Topkapi
20. Di Luar Pintu Cistern
21. Hitam Putih
22. Rasio Aristotle
23. Korban Imbas Pembelotan
24. La Cosa Nostra
25. Maha Pemaaf?
26. Dominasi Aggye
27. Ujung Tombak Perlawanan
28. Awal Tragedi Palermo
29. Kehilangan Eksistensi
30. Nihil Identitas
31. Via Suara
32. Tentang Tuhan
33. Semuanya Akan Pulang
34. Akhir dari Cinta (Ending)
Epilog: Awal Catatan Baru

15. Pemimpin yang Zalim

119 41 1
By Amaranteya

Kalau lupa alur, bisa baca part sebelumnya. Wkwkwkwk. Kalau nemu typo, mohon diingatkan karena ini pure tanpa revisi.

-o0o-

"Akifa, namaku Akifa." Gadis itu lantas menunduk dalam, tak mau menatap Asgard lebih lama.

Sementara itu, Marya kembali tertunduk dalam dalam simpuhnya. Tak pernah ia mengira bahwa kata-kata permintaan maafnya itu akan menyinggung. 

Akifa kembali mengangkat wajah, kali ini tatapan teduh itu dilayangkan untuk sosok sang ibu. "Tapi, Ibu ... benar kata Kak Hamid bahwa memaafkan tidak harus dengan kata maaf. Sebaiknya kita memikirkan bagaimana caranya membersihkan nama Kakak, baik dari tuduhan ini maupun tuduhan-tuduhan sebelumnya. Untuk Kak Hamid, Akifa berharap Kakak memikirkan lagi perihal menikahi Kak Marya. Pernikahan bukan hanya perihal kemauan, tapi juga kesanggupan."

Sementara yang lain membisu, senyum Asgard semakin lebar. Ia semakin bertanya-tanya, apa Tuhan memang sebaik itu karena telah mempertemukannya dengan orang-orang berpikiran luar biasa? Benar-benar perjalanan yang tidak sia-sia, bukan?

Belum ada yang bersuara untuk menanggapi Akifa, pun Hamid yang masih diam, kali ini sambil menatap sang ibu dengan sendu. Dalam pikirnya, ia sudah terlalu banyak membebani perempuan paling berharga itu dengan masalah yang menimpanya. Mana mungkin ia berani menambah kegusaran tak berujung pada surganya itu? Hamid begitu menyayangi sang ibu.

Sepuluh menit dalam kebisuan, akhirnya Marya bangkit dari posisi bersimpuh. Diusapnya air mata dengan punggung tangan setelah berkali-kali menguatkan diri sendiri. "Aku yang akan membuktikan bahwa Hamid tidak bersalah. Akan kubongkar semua kelicikan orang-orang biadab itu."

"Bagaimana caranya, Marya?" tanya Hamid dengan lirih, sedikit pun tak memandang Marya.

"Bagaimanapun. Aku akan melakukan segala cara, termasuk melemparkan tubuhku pada mereka."

Semua melotot tak percaya, tetapi lagi-lagi tidak dengan Asgard. Lelaki itu masih bertahan dengan senyum simpul.

"Cinta atau rasa bersalah yang membuatmu melakukan ini, Marya?" Mata dengan manik cokelat gelap Asgard memicing. Satu ujung bibirnya pun tertarik ke atas dengan sempurna.

"Keduanya," tukas Marya.

-o0o-

Maghrib menjelang. Setelah gagal membuat Marya mengurungkan niatnya, Hamid hanya bisa menatap perempuan yang dicintainya itu penuh was-was. Tak jauh berbeda dari ibu perempuan itu. Beliau bahkan masih terus tergugu di tempatnya, ditemani tepukan pelan di bahu dari sang adik lelaki.

Asgard? Jangan tanyakan betapa santainya lelaki itu. Berbeda dari sebelum-sebelumnya, ia justru lebih tenang. Sesekali pula disekanya pelipis yang masih terasa berdenyut. Ah ... merebahkan diri di ranjang rasanya akan sangat membantu, tetapi ia belum mendapat apa yang diinginkan, akhir perjalanan Marya dan Hamid.

Sentuhan lembut tiba-tiba dirasakan Marya. Ia menoleh bak gerakan slow motion, lantas menatap lekat gadis muda adik sang pujaan hati. Kerjapan mata tak dapat dihindari, antara bingung, sesal, dan rasa lainnya.

"Kak Marya yakin akan ke sana?" Disaksikan langit yang mulai memerah dengan mega tipis, Akifa menggenggam sebelah tangan Marya. Dihujaninya perempuan itu dengan binar menguatkan lewat sorot mata.

Tak banyak bicara, Marya mengangguk tegas. Mantap sudah niatnya mengakhiri tuduhan-tuduhan yang tertuju pada Hamid.

Disaksikan Hamid dan Akifa, sang ibu dan paman, serta Asgard, Marya melangkah meninggalkan pekarangan rumahnya menuju destinasi mengerikan itu. Iya, ba'da Asar tadi, Hamid dan Akifa datang ke rumah perempuan itu sebelum Marya benar-benar merealisasikan niat.

"Ingat, Marya!" Ucapan tiba-tiba yang meluncur dari bibir Asgard, sukses menghentikan Marya, membuatnya kembali menoleh. "Semulia-mulianya makhluk di bumi ini, perempuan adalah yang paling mulia. Dia yang akan melahirkan generasi hebat, generasi pembela Islam yang andal, yang tak takut mati dalam menegakkan keadilan. Kamu berharga, ingatlah itu."

Senyum merekah di bibir ranum Marya. Sungguh, kalimat itu begitu menenangkannya untuk saat ini.

Setelahnya, Marya benar-benar pergi.

"Kalian akan tetap di sini?" Tatapan Asgard mengarah lurus pada Hamid dan Akifa yang sudah berdiri sebelahan.

"Menurutmu, bisakah aku pulang, sementara Marya pergi ke tempat terkutuk itu, Asgard?" Kalimat itu sarat penekanan. Tak didongakkannya kepala sedikit pun, tetap menunduk memandangi butir halus pasir di bawah.

Senyum yang tadi tersungging di bibir Asgard sirna, berganti keseriusan yang amat kentara. "Tidak ada tempat terkutuk, Hamid. Ingatlah, esensi tempat yang kamu ucapkan itu juga ciptaan Allah. Jika ingin menyalahkan, objektiflah pada kesalahannya, bukan pada hal lain. Aku permisi."

Setelah tertohok mendengar penuturan Asgard, Hamid dan Akifa serta keluarga Marya yang juga masih di tempat, menatap kepergian lelaki itu dengan bingung. Apa Asgard akan melanjutkan rencana perjalanannya? Apa dia akan berhenti membantu? Buntu, tak ada yang tahu. Ada kilat amarah di mata Asgard yang mereka sadari saat Hamid mengucapkan kata "terkutuk".

Pada akhirnya, mereka hanya menunggu Marya kembali dalam diam.

Tidak! Tidak dengan Asgard. Lelaki itu justru sengaja mengikuti Marya diam-diam. Pikirnya, Hamid akan lebih berada pada posisi sulit jika ikut. Berbeda dengannya yang pasti tidak akan dikenali oleh siapa pun, lebih-lebih antek-antek si pejabat desa yang lalim itu.

Sampai di sebuah bangunan cukup mewah, lumayan berbeda dari bangunan-bangunan di sekitarnya, Marya di depan sana tampak berhenti dan menarik napas dalam-dalam. Asgard melihatnya dengan jelas, termasuk perempuan itu yang melakukan konversasi dengan penjaga sebelum diantar masuk.

Asgard merangsek maju, menyelinap setelah toleh kanan-kiri dan sebelum penjaga lain menemukannya. Berhasil menempelkan punggung pada tembok bagian dalam, diperhatikannya CCTV di atas sana. Lagi, ia mengarahkan pandangan ke penjuru arah, menelisik titik-titik buta kamera yang aman untuk dilewati.

Mantap dengan langkah yang akan diambil, segera saja Asgard berpindah dari satu tempat persembunyian dan tempat yang lain. Hingga akhirnya, ia berhasil masuk dan berada di ruang yang cukup besar. "Anggap saja ini sebagai lobi seperti di Indonesia, Asgard. Ke mana perginya Marya dan penjaga itu?" bisiknya pada diri sendiri.

Lelaki itu memutuskan menelusuri ruangan, tentu dengan sangat hati-hati. Sampai di serambi kanan bangunan, ia mulai mendengar riuh orang berbincang. Dihampirinya ruang paling ujung dan mengintip dari celah pintu yang tak sepenuhnya tertutup.

"Allah ... pemimpin macam apa itu? Pegawai pemerintahan yang zalim." Asgard hanya mampu mengatur napasnya yang memburu karena emosi. Apa yang dilihatnya benar-benar di luar perkiraan. Pesta minuman keras. Ada juga para perempuan yang sama-sama menampilkan raut tertekan. Salah satunya, Marya.

Tak banyak cakap lagi, Asgard mengambil ponsel, membuka fitur kamera, dan merekam semua yang ada di sana. Dalam diam, ia merutuk tanpa henti. Di luar sana sayup azan Maghrib terdengar dan para petinggi itu pesta judi dan minuman? Luar biasa. Miris, apa lagi Asgard melihat langsung bagaimana para perempuan di sana dipaksa menjadi tempat melampiaskan nafsu. Biadab. Jika bukan karena untuk mendapat bukti, mungkin Asgard sudah menendang pintu itu dan menerjang mereka semua.

Tanpa basa-basi, ia mengirim video tersebut pada Hamid untuk diserahkan ke pihak yang berwenang secepatnya. Ya, masalah itu harus selesai malam itu juga.

Selesai sudah, semua akan berakhir setelah video itu sampai ke tangan atasan mereka. Namun, tidak! Mungkin Asgard terlalu gegabah. Belum sempat berbalik badan atau setidaknya menghentikan semua orang di dalam sana, kepalanya dihantam sebalok kayu, membuatnya tersungkur. Pandangan kaburnya sempat menangkap sosok Marya yang menangis, sebelum satu injakan keras menghantam punggungnya dan semua menggelap.

Saat berhasil membuka mata, yang pertama dilihat Asgard adalah Marya yang tergugu. Perempuan itu duduk terikat di bangku, tepat di seberang meja yang memisahkan mereka. Tubuh Asgard pun tak luput dari jerat buhul dengan permukaan kasar.

Tak berhenti di sana, dirasakannya pula kepala bagian belakang yang berdenyut hebat. Ia tidak tahu pasti apa darah berhasil merembes atau tidak, tetapi ... darah kering di kemeja bagian pundak, cukup menjadi bukti.

"Asgard, kamu tidak apa-apa?" Bibir Marya sempurna melengkung ke bawah. Dengan mata basah, ia terus berontak, agar setidaknya ikatan itu mengendur. Ia ingin sekali menghampiri Asgard.

Sambil meringis pelan, Asgard terkekeh. "Tidak sesakit saat kematian menjemput."

Marya semakin menangis. "Kenapa kamu ikut ke sini, Asgard? Harusnya kamu menunggu dengan Hamid."

"D-dan membiarkanmu berhadapan dengan orang-orang zalim seperti mereka s-sendiri, Marya? Aku tidak bisa. Aku memiliki ibu dan adik perempuan. S-sama seperti mereka, aku berjanji pada diri sendiri bahwa aku akan memuliakan mereka."

"Asgard ...." Marya memejamkan matanya erat-erat. Ia sungguh tak tega melihat lelaki itu penuh luka. Dengan pakaian yang sudah lusuh dan darah di mana-mana, Asgard tampak sangat kacau.

"Jam berapa ini, Marya? Apa sudah masuk waktu salat Isya?" tanya Asgard.

Marya mengangguk. Azan Isya sudah berkumandang setidaknya sejam yang lalu.

"Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali," gumam lelaki itu.

Tak lama, Marya tidak mendapati Asgard bersuara. Pikirannya sudah ke mana-mana. Sungguh, ia tidak memaafkan diri sendiri jika terjadi sesuatu dengan Asgard. Berulang kali ia memanggil lelaki itu, tetapi nihil. Tak direspons.

Sampai Marya menyadari satu hal, gerak bibir Asgard. Ia langsung diam seribu bahasa. Perlahan, dadanya bergemuruh hebat bersamaan dengan air mata yang kembali jatuh, menganak sungai di pipi pucatnya. "Allahu akbar," gumam Marya, menirukan apa yang dilihatnya dari gerakan bibir lelaki itu.

Di akhir kegiatannya, Asgard kembali menatap Marya dengan senyum lebar. "Kamu tahu, Marya? Rasa sakitku tidak sebesar rasa sakit, tatkala aku tidak berdaya menegakkan salat untuk-Nya, menyampaikan cinta pada-Nya lewat gerakan-gerakan magis itu. Sungguh, itu lebih menyakitkan bagiku, Marya. Meski hanya dengan kedipan mata, aku tetap bisa melangitkan doa."

Terisak Marya mendengar itu. Lelaki di seberang meja benar-benar menamparnya telak dengan lisan. Sementara dirinya sendiri, demi cinta pada Hamid, rela melakukan apa pun. Asgard, entahlah. Marya merasa, pemuda asal Indonesia itu melakukan semuanya semata karena kemanusiaan dan cinta pada-Nya.

Tak lama, pintu terbanting dan menampilkan sosok petinggi desa yang berdiri menjulang. "Para hama ini sudah sadar rupanya."

-o0o-

Just now, I realized something. Cerita ini berat banget ternyata. Part selanjutnya pun bikin capek riset, but it's ok. Aku pastikan banyak pelajaran yang bisa diambil.

Enjoy. Btw, kemungkinan mulai hari ini akan update 2 hari sekali kalau nggak males karena tanggungan cerita on going tinggal satu ini. Jadi, bisa lebih fokus.

Continue Reading

You'll Also Like

296 157 6
Shafitri adalah mahasiswi akhir dari salah satu kampus swasta di Makassar , Shafitri di tuntut oleh kedua orang tuanya untuk segera menikah karena te...
Foregone By it's me

General Fiction

8.3K 1.6K 32
General Fiction Cerita ini bukan hanya tentang Aarunya, perempuan berpenampilan tomboi yang memiliki cacat batin dengan segala pesonanya. Cerita ini...
524 132 25
"Dunia itu luar biasa, Ali." Aku hanya tahu bahwa dunia itu membosankan, melelahkan, medan tempur terbesar umat manusia. Tapi, seorang anak perempuan...
81.6K 6.2K 95
Hi Guyz, Does my name ring a bell? Hopefully yaaa.. Saya penulis Omiyage, Sakura Wonder, Only Hope dan Wander Woman. Ini pertama kalinya saya posting...