Unobtainable

By deanadr

65.1K 4K 354

Aldi. Alvaro Maldini. Kasanova terpopuler di SMA Bintang Pelita. Juga kapten tim basket yang di kagumi semua... More

Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Duabelas
Tigabelas
Empatbelas
Limabelas
Enambelas
Tujuhbelas
Delapanbelas
Sembilanbelas
Duapuluh
Duapuluh Satu
Duapuluh Dua

Satu

7.5K 246 7
By deanadr

Seorang gadis menapaki pelataran sekolah dengan langkah mantap. Pertama kalinya dia menginjakkan kaki di sekolah barunya, sekolah menengah atas dibilangan Jakarta. SMA Bintang Pelita.

Gadis itu, Salsha. Salshabilla Adriani lengkapnya. Dia masih memakai seragam sekolah lamanya yang berbasis kotak-kotak merah, sepatu sneakers converse hitam dan, tas suede krem hadiah dari Ayah-nya waktu tugas ke Milan menggantung manis di punggungnya. Rambutnya tergerai berwarna hitam legam.

Salsha. Well, gadis itu cantik, putih, pipinya yang cabi, tingginya yang standard untuk gadis seumurannya, dan juga postur tubuhnya yang bagus dan menarik.

Dan untuk pertama kalinya juga Salsha menyebrangi lapangan basket di sekolah ini.

Damn, gerutunya dalam hati.

Semua mata yang ada di sekolahan ini tertuju padanya. Terdengar siulan-siulan tidak senonoh dari lantai atas. Saat dia mendongak, belasan murid cowok sedang menunduk ke bawah, memperhatikannya dengan seksama. Malah ada yang dengan cuek, memotretnya dengan kamera handphone.

Dengan ngeri, Salsha mempercepat langkah ke ruang tata usaha untuk mengambil seragam barunya dan buku-buku pelajaran nya semester ini.

Bunyi suit-suit yang semakin keras mengikutinya, tiba-tiba jadi lenyap setelah ada guru BP yang berdiri di depan ruang TU menghardik mereka dengan galak. Salsha menghela napas lega, untuk sementara dia bebas, tapi predikat anak baru sudah keburu melekat. Salsha merasa seperti objek, hanya karena dia anak baru, pindahan dari luar negeri—Jerman.

Bukan. Salsha bukan asli Jerman. Tapi dua tahun lalu tepat saat dia kelas 10, Salsha dan keluarganya pindah ke Jerman karena tuntutan pekerjaan Ayahnya. Dan sekarang, dia pindah ke Jakarta juga karena tuntutan pekerjaan Ayahnya yang mengharuskan dia dan Bunda-nya juga ikut pindah.

Jadi anak baru emang nyebelin, gerutunya lagi. Salsha memang sudah sering pindah sekolah. Beberapa kali keluarganya pindah mengikuti bisnis Ayahnya. Mulai dari London, Singapura, Jerman, sampai balik lagi ke Jakarta, tempatnya dilahirkan.

Salsha tidak terlalu ingat tahun-tahun pertamanya tinggal di kota ini, waktu ia masih sangat kecil. Baginya, kota ini besar tapi semrawut. Polusi, macet, dan panas setiap saat. Namun, entah mengapa dia suka tinggal disini. Begitu banyak hal menarik yang bisa dipotretnya dengan kamera Nikon yang mengganduli lehernya kemana-mana. Begitu banyak inspirasi yang dia dapat untuk dituangkan kedalam kertas gambar kesayangan nya.

"Ini seragamnya." ujar guru wanita paruh baya dibalik meja Tata Usaha.

Dua potong seragam putih abu-abu yang sama persis ukurannya, dan satu potong baju olahraga diserahkan dalam bungkusan plastik. Di sampingnya terdapat beberapa buku-buku pelajaran. Salsha lega, karena besok dia bisa mulai berseragam sama dengan murid-murid disini.

Salsha menghela nafas. Besok, hari-hari sekolah sebagai pelajar SMA di Jakarta akan dimulai. Hari ini, dia setengah membolos untuk mengurus administrasi.

★★★

"Eh, hari ini ada anak baru. Cewek loh," kata salah seorang cowok dengan rambut acak-acakan, Bastian, dengan antusias kepada tiga sahabatnya di salah satu bangku kantin.

Kiki manggut-manggut sambil terus mengunyah baksonya. "Katanya sih pindahan dari Jerman,"

"Emang. Cantik banget lagi. Tadi sebelum bel masuk, gue sama Aldi sempet liat dia lagi dikerubunin anak-anak dilapangan basket," Iqbaal menimpali.

"Bener, Di?" tanya Kiki pada Aldi yang sedari tadi sibuk dengan ponsel nya.

Aldi tersenyum sinis. "Gak cantik-cantik banget kalo menurut gue,"

Keempat sahabat itu memang sudah bersahabat sejak kelas 10. Dan mereka juga termasuk most wanted boys di Bintang Pelita.

Bastian, cowok yang bodoamat soal rambut—selalu acak-acakan. Dia manis sih, tapi dia itu makhluk paling pecicilan dan selengehan semuka bumi. Tingkahnya selalu nyebelin. Penggila break dance. Dan kadang kalo suasana sedang hening tiba-tiba dia kejang-kejang memamerkan gerakan barunya.

Ryzki, bisa dibilang sih, dia paling dewasa diantara ketiga sahabatnya. Daaan, hobi makan.

Iqbaal, manusia pintar, rajin, penurut, dan... tampan. Walaupun dia kurus, ceking, tapi tatapan mata dan senyuman nya mampu menyihir hampir semua siswi BP.

Dan terakhir, Aldi. Siluet wajahnya terukir mendekati kesempurnaan. Tampan? Ya, pasti. Tidak heran banyak gadis seperti terstrum aliran listrik bertegangan tinggi ketika mendapatkan tatapan cueknya. Itu hanya tatapan cuek, bagaimana jika tatapan romantis? Mungkin semua gadis akan habis terbakar karena aliran listrik yang mengalir dari tatapannya. Apalagi, dia adalah ketua tim basket sekolah ini. Dia cenderung malas, dan selengehan. Tidak terlalu perduli keadaan sekitar. Tapi, selalu perduli kalau soal penampilan.

Mereka berempat memiliki sisi keanehan dan juga hobi yang sama, yaitu basket. Dan mungkin, itu salah dua faktor yang menyebabkan persahabatan mereka semakin erat.

"Eh, eh, itu ya orangnya?" Kiki menggoyangkan bahu Iqbaal tidak santai seraya menunjuk ke pintu masuk kantin.

Serentak, seluruh pasang mata di dalam kantin menatap kearahnya. Kecuali Aldi. Cowok itu malah sibuk memainkan game di ponselnya tanpa mempedulikan ketiga sahabatnya yang sedang melongo menatap anak baru itu.

"Wih, itu mah bidadari jatuh dari surga yang di takdirin buat jadi temen idup gue. Iya. Emang," Bastian manggut-manggut dengan senyum miringnya.

"Yah, yah, yah... Dia ngimpi," celetuk Iqbaal seraya tersenyum sinis. "Bangun, woy, bangun!"

Kiki yang asik terkekeh mendengar celetukan Iqbaal pun terhenti setelah menatap Aldi yang sedari tadi tidak bergeming, kemudian menyikut lengan Aldi. "Di, cantik, tuh!"

"Ck. Terus kenapa?" Aldi menaikkan alisnya sebal menatap Kiki, kemudian mengalihkan tatapannya menatap sosok cewek diambang pintu masuk kantin sekilas lalu kembali fokus pada game di ponselnya lagi sambil berkata, "Cantikkan cewek gue,"

Bastian yang mendengarnya berdecih. "Cewek lo? Yang anak SMA Nusa Bangsa itu? Bukan nya dia belom putus ya sama pacarnya yang –"

"–Iya iya. Dia emang belum jadi cewek gue, tapi akan. Catet!" potong Aldi sebal.

"Terserah. Tetep cantikkan anak baru itu, ah. Cantik banget malah," Bastian manggut-manggut seraya kembali fokus menatap anak baru itu dengan mata berbinar. Sementara Iqbaal dan Kiki kembali berkutat dengan mie bakso mereka masing-masing.

Di sisi lain, Salsha mengedarkan pandangan nya dari ambang pintu kantin, mencari meja kosong. Sambil sesekali tersenyum kikuk ketika tidak sengaja tatapan nya jatuh pada murid cowok yang tersenyum menatapnya seraya menawari tempat duduk.

Salsha menghela nafas lega setelah mendapati meja kantin yang kosong, dan segera berjalan menuju meja tersebut.

Belum lama dia duduk di bangku kantin sendirian, dengan semangkuk mie bakso, dan segelas milkshake cokelat dihadapan nya, sudah banyak yang bergosip tentang dirinya tanpa berusaha mengurangi volume suara.

"Eh, itu anak baru yang pindahan dari Jerman itu kan?"

"Iya. Liat deh, Alena aja kalah cantiknya sama tuh cewek."

"Jelas lah. Tuh, badannya aja ramping banget kayak model-model cantik di majalah Vogue,"

"Mana tas-nya keren banget lagi. Itu kan tas yang baru keluar kemarin yang gue liat di majalah Elle yang dipesen nyokap gue dari luar negeri."

"Masa sih? Wih, pasti tajir banget."

Lama kelamaan, kuping Salsha panas mendengarnya. Dia kemudian menarik sejilid novel dari dalam tas, novel yang tidak pernah bosan dibacanya. Diam-diam dia hilang dalam bacaan itu, barisan kalimat yang bagaikan menghipnotis, untuk sementara membuatnya lupa bahwa dia adalah orang asing di sekolah ini.

★★★

"Gimana tadi di sekolah, Sha?" tanya Helen—bunda Salsha—yang sedang membaca majalah di sofa.

Salsha yang sedang menonton televisi menatap Bunda-nya seraya terkekeh geli mengingat kejadian tadi pagi disekolahnya. "Berasa kayak selebriti, Bun."

"Resiko jadi anak baru ya gitu. Lama kelamaan juga pasti terbiasa." Hassdy—Ayah Salsha—yang sedang membaca koran ikut nimbrung.

"Iya, bener tuh kata Ayah. Tapi sekolahnya nyaman, kan?" tanya Bunda-nya.

"Lumayan sih. Eh, Ayah kok tumben santai santai? Biasanya kan sibuk," tanya Salsha bingung.

Hassdy tersenyum menatap putrinya sekilas. "Istirahat sebentar gak apa-apa, kan? Lagi pula, kita baru pindah seminggu yang lalu. Jadi belum terlalu sibuk."

"Mmm... gitu," Salsha ngangguk-ngangguk. "Ya udah deh, Bun, Yah, Salsha ke kamar dulu, ya. Mau nyiapin buat besok," pamit Salsha seraya beranjak menaiki tangga menuju kamarnya.

★★★★★

Salsha melangkahkan kakinya santai menelusuri koridor menuju kelas 12 IPS-2 yang dia tau sebagai kelasnya.

"Salsha,"

"Hai, Salsha,"

"Pagi, Salsha,"

"Pagi, kak Salsha,"

"Selamat pagi, kak Salsha,"

Semua sapaan saat Salsha menelusuri koridor hanya dia balas dengan senyum simpul.

Salsha mempercepat langkahnya menuju lantai tiga, lantai dimana kelasnya berada.

Saat sampai dikelasnya, gadis itu mengambil tempat duduk disebuah bangku kosong di baris kedua paling depan. Hari ini, resmi jadi hari pertama dia belajar di sekolah baru. Tasnya sudah terisi beberapa buku tulis kosong dan daftar pelajaran per minggu, juga sekotak pulpen warna biru.

Salsha menyapukan pandangan sekeliling. Murid-murid lain masih berkeliaran diluar kelas sebelum bel bunyi, beberapa ada yang duduk diatas meja sambil ngobrol. Merasa bosan, Salsha mengeluarkan novel kesukaannya dan melanjutkan membaca.

Tak lama, langkah kaki yang terdengar rusuh dari luar kelas membuat kosentrasi membacanya buyar. Tapi Salsha mencoba memfokuskannya lagi pada novel dihadapan nya.

Langkah kaki itu terdengar memasuki kelas. Dan salah satu suara langkah kaki itu berhenti di samping kiri bangkunya. Salsha mendongak. Seorang murid cowok dengan rambut acak-acakan berdiri di samping kiri bangkunya dengan cengiran lebar.

"Pagi, Salsha cantik. Gak nyangka banget loh gue bisa sekelas sama lo," sapa cowok itu. Lagi lagi, Salsha hanya membalas dengan senyum simpul. "Jangan-jangan jodoh," lanjutnya yang membuat Salsha meringis.

"Ah, ya. Gue Bastian. Cowok tercool, dan terganteng di sekolah ini," katanya lagi sambil menjulurkan tangan nya dengan alis yang naik turun.

Salsha terkekeh geli kemudian membalas uluran tangan Bastian dengan senyum manisnya. "Hai, Bas. Seneng bisa kenal lo,"

Tubuh Bastian mendadak membeku untuk sejenak. Aliran darahnya seakan terhenti. Seakan tak percaya bahwa gadis dihadapan nya ini, yang dia kagumi mengucapkan kata sederhana itu. Seneng bisa kenal lo. Ya, memang sederhana tapi, its something sekali baginya.

"Mm... hello?"

"....."

"Bastian?"

Salsha terus mengibas-ngibaskan tangannya dihadapan Bastian yang tiba-tiba bengong sambil terus menatapnya dengan senyum manisnya yang tidak luntur sedikit pun sejak pertama kali Salsha menatap cowok itu.

"Hello? are you okay?"

Sontak Bastian tersadar dari lamunan nya, kemudian menggaruk tengkuknya sambil nyengir lebar.

"Eh, iya, oke banget kok. Santai aja. Segitu khawatirnya ya lo sama gue?" ucap Bastian. Dan sedetik kemudian, tertawa renyah.

Salsha mengerutkan kening seraya meringis. Ucapan Bastian tadi sama sekali tidak ada yang lucu, menurut Salsha. Hhh, cowok aneh, pikirnya.

"Eh, Salsha, Salsha, jangan diladenin. Orang gila yang udah terlalu lama sendiri emang gitu kelakuan nya," celetuk seorang cowok dibangku paling belakang.

Salsha tersenyum kecil, sedangkan Bastian siap-siap melayangkan bogem mentahnya seandainya yang menceletuk itu bukan sahabat karibnya.

"Mm... gue duduk dulu ya, cantik. Jangan kangen," Bastian berucap yang lagi-lagi hanya Salsha balas dengan ringisan.

Beberapa detik kemudian, bel masuk pun bunyi.

Seorang cewek di sebelah kiri Salsha menyeret kursinya hingga posisi Salsha dengan nya jadi lebih dekat. "Hai, lo anak baru pindahan dari Jerman itu ya?" tanya nya dengan antusias.

Salsha ngangguk sambil tersenyum kecil. "Gue Salsha. Pleasure to meet you," ucap Salsha seraya menjulurkan tangan.

Cewek itu menyambut uluran tangan Salsha dengan senyum lebar. "Gue Stefhanie, panggil aja Steffi."

"Eh iya, kemarin belum sempet keliling sekolah kan?" lanjut Steffi masih dengan senyum lebarnya. "Nanti, pas istirahat, gue tunjukkin tempat-tempat rahasia sekolah ini sampe tempat makan bakso paling enak."

Salsha hanya mengangguk-ngangguk seraya tersenyum lebar.

"Eh, lo mau ikut ekskul apa?" ucap Steffi 'lagi'. "Disini ada kelas olahraga kayak voli, basket, futsal. Ada juga kelas masak, ngelukis, bela diri, musik, cheerleader, daaan teater."

"Mmm, ada kelas fotografi atau art gitu gak?" tanya Salsha

"Mmm... ada! Dua-duanya ada," jawab Steffi.

"Kalo gitu, gue gabung sama klub fotografi sama art," ucap Salsha semangat'45.

Steffi memasang raut kecewa. "Kenapa gak ikut tim cheerleader aja? Tim cheers sekolah kita udah sering menang di setiap kompetisi loh. Lagian, postur tubuh lo udah bener-bener masuk kriteria anggota cheers. Cocok."

Apa? Cheerleader? Dance dipinggir lapangan, sambil teriak-teriak tidak jelas sambil mengacung-ngacungkan pompom? Tidak. Itu bukan Salsha banget, dia tidak suka dance maupun cheers. Ya, walaupun dance juga termasuk seni, dan Salsha sangat suka seni, tapi dia anti dengan dance. Maka, Salsha menggeleng mantap. "Gue gak suka cheers."

★★★

Formasi duduk tidak pernah berubah. Aldi di pojok kanan, di susul Bastian, Kiki, dan Iqbaal yang duduk paling pinggir, tepat di sisi rongga jarak dengan kolom bangku di sampingnya.

Jika ketiga temannya sedang melakukan tindakan konyol pada jam pelajaran, maka Iqbaal dengan siaga menjadi penjaganya apabila gurunya berjalan ke arah belakang menghampiri mereka. Kode dari Iqbaal menghentakkan kepalan lengannya pada meja Kiki. Kiki akan menghentakkan kepalan lengannya pada meja Bastian, dan Bastian akan menghentakkan kepalan lengannya pada meja Aldi.

"Gue yakin dia telat dateng lagi," ucap Kiki sambil mengeluarkan laptop dari dalam tasnya.

"Terus?" Iqbaal yang duduk di samping kiri Kiki sedikit mencondongkan tubuhnya.

"PS lah,"jawab Kiki cengengesan.

Bastian segera meraih stick PS di dalam tas Kiki, memegang stick satu tanpa diperintah oleh siapapun. Karena Kiki sedang sibuk menyalakan laptopnya yang masing terputar loading, Aldi dengan jahanamnya merampas stick dua.

"Lo sementara jadi wasit dulu," Bastian mengambil alih laptop Kiki ketika loadingnya selesai. Menyimpan di atas meja di hadapannya.

"Sialan," rutuk Kiki melihat tingkah Bastian dan Aldi yang seenaknya, menatap kedua temannya tersebut dengan tatapan sebal.

"Okay the game is beginning." Aldi meyeringai dengan aksen devil.

Bastian dan Aldi tenggelam dalam permainan mereka, Kiki heboh sendiri melihat layar laptopnya yang sedang berlangsung pertandingan sengit Aldi melawan Bastian dengan tim sepak bola kebanggaan mereka masing-masing.

"GOAAAL." teriak Kiki tanpa sadar ketika Bastian berhasil mencetak goal pada gawang Aldi.

"Ck. Sialan!" Aldi tak henti mengumpat.

Semua penghuni kelas tak memperdulikan mereka, karena itu adalah kebiasaan mereka setiap harinya. Sudah biasa dengan tingkah aneh keempat makhluk gila itu.

“Orang gila ya. Gak ada kerjaan lain apa?” Desis seorang gadis yang duduk pada barisan ketiga berbicara pada seorang cewek yang duduk di sampingnya.

"Salsha cantik, mereka emang orang gila. Dateng ke kelas cuma buat main PS, main kartu domino, baca komik," balas Steffi disertai senyuman sinis.

"Ya ampun," Salsha, cewek yang sepertinya sangat tidak menyukai tingkah keempat cowok di belakang sana melirik sinis

"Udah biasa. Hampir setiap hari malah. Jadi, jangan heran ya," ucap Steffi sambil menepuk-nepuk pundak Salsha.

Tap tap tap

Langkah itu terdengar nyaring memasuki kelas. Seorang guru wanita masuk dengan kacamata tebal yang menempel di hadapan matanya membantu mengurangi pandangan buramnya. Sesekali mendongakan wajahnya karena kacamatanya menempel terlalu bawah

"Woy, guru!" teriak Kiki pada kedua teman nya yang masih asik memainkan PS.

Kiki hendak mencabut kabel USB stick yang menancap di sisi laptopnya. Namun tindakannya terhenti ketika dua orang cowok di sebelah kanan nya mengepalkan lengannya dan matanya menyorot tajam. Aldi dan Bastian.

"Guru, bego!" desis Kiki gak kalah melotot.

"Tinggal silent. Susah amat," dengan santai Bastian menekan tombol off pada speaker laptop dan melanjutkan permainannya.

Iqbaal tidak banyak komentar, hanya menggeleng. Karena sekarang tugasnya dimulai, memperingatkan sahabat-sahabat tololnya ketika guru bergerak menghampiri keberadaan mereka.

Karena posisi mereka berada di pojok belakang, maka itu memudahkan mereka untuk melakukan hal-hal bodoh tanpa diketahui, walaupun tak jarang tingkah mereka tertangkap dan menghasilkan berbagai macam hukuman.

Satu jam pelajaran mereka lalui dengan mulus, tanpa teguran sedikitpun. Karena dengan lihainya Aldi dan Bastian memainkan stick di atas paha terhalang oleh meja di hadapannya.

Sesekali suara cekikikan Bastian terdengar. Namun tidak ada yang menghiraukan.

"GOAL!" teriakan Bastian terdengar singkat namun lantang, mengharuskan semua mata tertuju menatapnya.

"Ssshhh bego!" desis Aldi pasrah menutupi wajahnya dengan telapak tangan.

Bu Dini—guru di depan sana menurunkan kacamatanya. Menatap ke arah belakang, arah suara tadi berasal. "Apa lagi Bastian?" saking seringnya sampai nama Bastian melekat di benaknya.

Bastian hanya menundukan kepalanya.

"Lanjut baca yang barusan Saya jelaskan," perintah bu Dini dengan nada sangar.

"Sampe mana?" Bastian berbisik entah kepada siapa. Cowok itu refleks menarik sebuah buku yang ada di meja Kiki

"Seorang model sexy asal Jakarta turut mencalonkan diri menjadi anggota le...gis...la...tif..." suara Bastian semakin mengecil setelah dia sadar apa yang dibacanya jelas beda dengan apa yang dijelaskan bu Dini.

Suara tawa dikelas ini seketika meledak. Tidak ada yang melewatkan momen ini, momen dimana bisa menertawakan Bastian si pecicilan nan menyebalkan dengan sepuasnya.

Bastian meringis mendengar riuhnya tawa yang terdengar di telinganya. Tak henti mengutuk dirinya sendiri. Tindakan bodohnya selalu menjadi bomerang untuk dirinya sendiri.

"Berhenti ketawa kamu Alvaro!" guru wanita itu lagi-lagi melotot membuat tawa riuh terhenti seketika.

Aldi, yang kini ditunjuk bak seorang tersangka kini ikut menunduk seperti Bastian.

"Saya tahu dari pertama jam pelajaran dimulai kalian sudah tidak menghargai saya! Kesini kalian!" hentakan suara bu Dini benar benar sangar. Wajahnya sekarang ini seperti ingin membunuh dua manusia dengan tampang sok polos ini.

Aldi dan Bastian bangkit dari duduknya. Menyelipkan tubuhnya melewati bangku Salsha untuk keluar dari daerah kekuasaan mereka. Wajah mereka tertunduk merasa bersalah. Oke, ralat. Sok merasa bersalah lebih tepatnya.

Dua manusia itu sekarang berdiri di depan kelas. Membelakangi murid-murid lain, menghadap wajah seorang guru wanita yang kini terlihat bagaikan monster.

Bugh bugh

Suara itu mampu membuat semua murid di dalam kelas meringis, memegang pipi nya masing-masing. Sebuah buku yang kira-kira ketebalannya 7cm menghantam pipi kiri dua manusia polos itu.

"Sakit?" tanya guru wanita itu menatap wajah Aldi dan Bastian yang keliatan semakin merunduk. "Hati saya lebih sakit dari pukulan itu ketika tidak kalian hargai untuk kesekian kalinya. Sekian kalinya." ucapnya dengan dada yang naik turun tak beraturan menahan kesal.

"Bawa tas dan buku-buku kalian. Duduk disana!" intonasi suaranya terdengar tinggi. Dia menunjuk pada dua bangku barisan kedua yang terlihat kosong. Tepat di depan Salsha dan Steffi. "Setiap mata pelajaran saya, kalian harus duduk disana. Jika tidak, jangan pernah mengikuti mata pelajaran saya hingga akhir semester." jelasnya terdengar agak mengancam.

Aldi dan Bastian tetep menunduk, tidak bergeming.

"Duduk disana se-ka-rang!" sekali lagi jari telunjuk guru wanita itu menunjuk kearah bangku yang sempat dia tunjuk tadi.

Bastian dan Aldi melangkah lesu, kembali ke daerah kekuasaannya hanya untuk meraih tasnya untuk dihempaskan di tempat baru, tempat yang terasa asing. Tempat dimana banyak makhluk asing di sana, makhluk pintar nan rajin yang mengerikan. Dua manusia yang malang.

Aldi mendesah sebelum menaruh tas di tempat barunya, melirik ke arah belakang. Didapati Salsha yang sedang fokus membaca tanpa memperdulikannya, kini cewek pencari perhatian itu duduk dibelakangnya.

Aldi mendengus seraya bergumam, "Sialan... sialan... duduk ditempat menjijikan kayak gini. Apalagi didepan si attention seeker. Lengkap sudah,"

Salsha mendengarnya. Awalnya dia tidak perduli, tapi perkataan cowok didepannya ini terdengar menyebalkan.

"Yang lo maksud pencari perhatian siapa, ha? Jaga ya omongan lo, cowok gila. Jangan macem-macem lo duduk didepan gue!" perkataan Salsha terdengar lembut namun mengancam.

Aldi berdecih. "Ternyata selain attention seeker, hobinya ngurusin hidup orang semaunya. Ck."

Salsha tidak menimpali, hanya membuatnya emosi.

Waktu mata pelajaran ini baru berlangsung satu jam, masih bersisa satu jam lagi karena setiap mata pelajaran memiliki waktu dua jam.

Aldi merasakan waktu berjalan amat lamban. Baterai jamnya abis kali, pikirnya. Beberapa kali dia mendengus, mendesis, mengumpat, mendesah.

Aldi sepertinya mulai tidak tahan dalam posisinya saat ini. Sungguh menyebalkan. Gerakannya tidak seleluasa ketika dia duduk di meja belakangnya.

Jarinya beberapa kali mengetuk meja pelan, Bastian yang berada di sebelahnya melirik. Mungkin Bastian juga merasakan hal yang sama. Aldi menyeringai disusul dengan Bastian yang saat ini merogoh saku tas ranselnya. Setumpuk kartu domino ada di tangannya, mengocok pelan kartu tersebut dan membagi sama rata. Entah permainan apa yang mereka mainkan yang jelas sesekali terdengar suara cekikikan pelan dari mereka berdua.

Pemandangan itu ada di depan Salsha, tepat ada di hadapannya. Gerakan bahu Aldi yang cekikikan dan lirikan-lirikannya pada Bastian sungguh terlihat menyebalkan, sangat mengganggu konsentrasi Salsha. Jika saja mereka berada di belakang sana Salsha tidak akan perduli, terserah. Apapun yang mereka lakukan sampai jungkir balik itu terserah. Tapi tidak untuk saat ini.

★★★★★★★

Ok, gue ilang cukup lama ini karna sedang dalam proses buat merombak seluruh chapter dari cerita ini. Mulai dari gaya bahasa, terus ada sedikit yang gue ilangin dan ada juga yang gue tambahin.

So, gimana? I have to knowing your reaction, guys, please.

Ini baru chapter1, chapter selanjutnya akan gue post setelah ini.

Buat yang suka, terimakasih&jangan lupa vommentnya ya!

-25july15

Continue Reading

You'll Also Like

ARSYAD DAYYAN By aLa

Teen Fiction

2.1M 113K 59
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
571K 21.1K 50
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

479K 22.8K 48
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
4.9M 369K 52
❗Part terbaru akan muncul kalau kalian sudah follow ❗ Hazel Auristela, perempuan cantik yang hobi membuat kue. Dia punya impian ingin memiliki toko k...