Sweet Escape [SELESAI]

By allynvrn

333K 30.2K 1.1K

"Gue udah bilang, lo bisa cerita apapun ke gue kayak lo cerita sama temen lo yang lain. Tapi kalau lo mau jad... More

Blurb
Prolog
1. Ciuman-ciuman Sialan
2. Manusia Paling Resek di Dunia
3. Kopi Darat
4. Kawan Baru
5. Kenal Lebih Jauh, Katanya
6. Lo Mau Jadi Teman yang Mana?
7. Tanda Bahaya
8. Sleepover
9. Perempuan-perempuan Menyebalkan
10. Bali
11. Drama Keluarga dan Insiden Telepon
12. Mabuk tapi Bukan Karena Anggur
13. Pertanyaan Orang-orang
14. Kehebohan di Media Sosial
15. Day and Night
16. Cerita di Karimunjawa
17. Cerita di Karimunjawa (2)
19. Dinner
Cek Lapak Sebelah
20. Yang Lebih Baik dari Dia
21. Sayang?
22. Netizen Nyinyir dan Sang Mantan
23. Way Back Home
24. Obrolan Pagi-pagi
25. Episode Kegalauan yang Sempat Tertunda
26. Hubungan Abu-abu
27. Perang Menjelang Hari Natal
28. New Beginning
29. Yang Harus dihadapi
30. Impresi
31. The Nasution's
Epilog

18. Last Day

7.8K 837 52
By allynvrn

Ini chapter 3ribuan kata, semoga nggak bosan yaa~

***

GUE mengerjap merasakan sinar matahari menerangi wajah gue. Gorden ternyata nggak ditutup sejak semalam, jadi kamar langsung terang benderang begini padahal baru jam setengah 7 pagi. Gue mengeliat di tempat tidur, lalu sadar bahwa lengan Gideon melingkar di sekitar pinggang gue. Laki-laki itu berbaring menyamping menghadap gue. Kayaknya tidurnya pulas sekali, mulutnya sedikit terbuka dan suara dengkuran halusnya bahkan terdengar.

Gue tersenyum. Tidak pernah sekalipun selama pengalaman gue bermain dengan laki-laki dan gue tertarik memperhatikan ketika mereka tertidur. Gue lebih suka bangun dan cepat-cepat mandi. Tapi pagi ini, gue nggak mau melewatkan kesempatan melihat betapa menawannya Gideon.

Mukanya halus dan bersih, pasti efek pakai skincare semalam. Alisnya tebal dan rapi. Gue baru sadar bahwa bulu matanya cukup lentik untuk seorang cowok. Di ujung hidungnya ada titik-titik keringat. Sementara rambutnya yang berantakkan mengusik gue. Gue suka menelusupkan jari gue ke rambutnya, atau hanya sekadar mengelusnya. Rambut Gideon emang nggak lembut, justru kasar dan tebal, tapi gue suka aja. Gue juga suka wangi rambutnya walau gue sendiri nggak tahu dia pakai shampoo apa.

Melihatnya dalam ketenangan seperti ini membuat gue tertarik buat mengabadikan gambar. Pelan-pelan gue bergerak mengambil ponsel di atas nakas. Gue ubah mode suaranya jadi getar biar dia nggak kebangun sama bunyi jepretan kamera. Gue tersenyum puas saat berhasil mengambil beberapa gambar. Selanjutnya, mata gue menangkap tangannya yang berada di atas bantal tepatnya gelang rantai titanium kecil yang melingkar di sana. Itu gelang yang dibeli Gideon di Tanjung Gelam kemarin, yang juga sekarang juga melingkar di tangan kiri gue.

"Nka, coba liat. Lucu nih. Mau nggak? Gue beliin." Begitu kata Gideon kemarin.

Gue memperhatikan bentuknya, tapi nggak begitu tertarik. "Nggak usah, gue nggak suka."

Bukannya mau sok atau gimana ya, tapi gue nggak biasa pakai gelang begitu. Kayak bukan selera gue aja.

"Ih lucu tauk. Coba deh sini tangan lo, gue pakein." Gideon menyambar tangan gue dan mulai memakaikan gelang itu. Gue biarin aja ketika dia ngasih beberapa lembar uang ke si penjual. Malas juga buat berdebat atas hal sepele begini.

Tapi sekarang kalau dilihat-lihat, ya..gelangnya lucu juga ternyata.

Dengan perlahan gue meletakkan tangan gue di permukaan tangan Gideon. Lalu mengambil gambar dengan ponsel.

Ketika Gideon mengeliat terbangun, gue buru-buru menarik tangan gue, menyembunyikan ponsel dan pura-pura tidur.

***

"Nka, lo liat Sammy komen di Instagram gue, nggak?"

Gerakan gue mengunyah La Tortilla mendadak terhenti. Gue meletakkan garpu ke piring dan buru-buru mengecek akun instagram Gideon.

<3 sammyrpt and 328 others like this photo

Gideondrmws what a beautifull day.

Sammyrpt lucu! Bilangin ke cwe yg di foto senang2 aja tapi jangan lupa pulang

Gideondrmws @sammyrpt hahaha siap, sam

"Kurang kerjaan banget sih Sammy." Gue meletakkan ponsel di atas meja, kembali makan.

"Nggak apa-apa tuh gue upload trus dikomen manajer lo itu?"

Gue mengibaskan tangan santai karena kayaknya Gideon cukup khawatir sama unggahannya.

"Nggak usah dipikirin." Setelah yakin Gideon kembali menyantap makanannya.

"Nanti kita dari Semarang langsung ke Jakarta?" gue mengalihkan pembicaraan. Ini hari terakhir liburan. Nanti sore akan ada kapal yang membawa gue dan Gideon ke Karimunjawa lalu kita berdua akan naik pesawata airfast ke Semarang lalu dari sana tinggal naik pesawat ke Jakarta.

"Iya. Atau lo mau jalan-jalan dulu di Semarang?"

"Emang waktunya masih bisa?"

"Bisa kok. Pesawat ke Jakarta kan nanti malem jam 8 kayaknya. Bisa lah kalo nanti kita cabut dari sini lebih cepet. Tapi lo nggak capek emang?"

"Ya enggak usah deh. Gue mau menikmati waktu di sini lebih lama."

Gue pengen sih jalan-jalan dulu di Semarang sebelum balik ke Jakarta. Tapi kalau jalan-jalan itu berarti waktu liburan di sini jadi berkurang, mending nggak usah deh. Gue mau berenang lagi di bibir pantai Resort. Mungkin nanti agak siangan. Barang-barang gue juga udah rapi di kamar hotel, jadi nanti kalo udah harus cabut nggak repot-repot lagi.

"Lo mau berenang lagi?"

"Iya di sana tuh, cakep kayaknya." Gue menunjuk bibir pantai yang gue maksud. Letaknya di samping Resort. Lihat aja, pohon kelapa dan debur ombar di sana sudah memanggil-manggil gue. Habis makan kayaknya mau ganti baju renang ah.

"Gue temenenin ya."

"Gue bisa sendiri kok. Lo tiduran aja." Gideon tadi bilang kalau dia pengen menghabiskan sisa hari dengan terlelap. Kalau gue sih mau sepuasnya berenang. Kalau tidur kan bisa di mana aja.

"Nggak usah khawatir, kalo gue digodain bule gue bisa hadapin sendiri." sahut gue santai karena muka Gideon tuh kayak nggak ikhlas gue pergi sendiri. Emang gue anak kecil yang perlu dijaga apa. Gue bisa jaga diri sendiri.

"Ya udah deh." Gideon menguap. Dia meneguk air mineral di gelasnya. "Balik kamar yuk."

"Yuk. Gue sekalian mau ganti baju."

Selesai sarapan gue dan Gideon balik ke kamar. Dia langsung berbaring di kursi santai dekat kolam dan kayaknya udah tertidur waktu gue balik dari ganti pakaian. Gue pakai monokini aja karena dari tadi bule-bule yang seliweran di sekiar resort juga cuma pakai bikini. Monokini gue warnanya hitam dengan bolongan di sisi kirinya. Tali atasnya berukuran tiga jari dan cuma satu. Satunya lagi turun ke ketiak gue. Seksi deh pokoknya. Gue ambil outer gue yang modelnya kayak kimono panjang sampai kaki tapi tipis. Itu buat dipakai sampai nanti di pinggir pantai baru gue buka lagi. Sebelum pergi gue update instastory sama Whatsapp status pakai foto kemarin. Gue tinggalin Ponsel gue di kamar karena nanti bingung mau taruh di mana kalau berenang.

Di bibir pantai gue cari tempat yang agak sepi, dapatnya yang pojok hampir ke belakang Resort tapi masih aman sih daripada harus gabung berenang sama bule-bule di ujung sana. Gue mulai nyemplung di air yang jernih. Nggak banyak karang di sini jadi gue nggak takut lecet-lecet pakai baju renang seterbuka ini. Gue berenang kesana-kemari, bolak-balik dari bibir pantai ke lautan lepas hingga gue capek dan memilih tiduran di air yang tenang nggak berombak. Terombang-ambing di pantai dengan kesunyian tapi pikiran gue banyak berkenala.

Mulai dari memikirkan Jordan. Gue bertanya-tanya apa sekarang dia udah baik-baik aja? Gue kerap merasa ini nggak adil buat dia. Dia terlalu baik buat disakitin. Kalo sama gue, gue siap kok berubah buat dia, jadi apapun yang bisa bikin dia bahagia. Mungkin setelah dari sini gue harus bergerak cepat, memanfaatkan keadaan.

Lalu pikiran gue diisi sama sahabat-sahabat gue. Mea udah nggak jadi cerai dari Caleb malah sekarang makin lengket karena udah hamil. Dia umumin itu di malam resepsinya Gwen tapi gue nggak begitu terkejut. Udah gue duga saat gue dan Gwen menjebak dia dengan memasang video pernikahannya di kamar waktu kita ikut Gwen pre-wedding itu gue yakin dia dan Caleb nggak jadi cerai. Mea mana tahan nggak having sex sama Caleb yang hawt itu! Ups.

Kalo Gwen, dia kan udah nikah ya. Nggak bisa lagi deh gue jadiin alasan buat nginap. Nanti Mami pikir gue selingkuh sama Mesakh lagi. Itu artinya sekarang alasan nginap harus ganti jadi ke tempat Kenya. By the way, gue bersyukur Kenya belum punya siapa-siapa buat diajak menikah sekarang. Kalau dia nikah sekarang nanti gue ketinggalan sendirian, kan nggak seru. Apalagi gue belum punya pikiran nikah. Gue masih dua puluh empat tahun dan hidup masih terlalu panjang buat gue sia-siakan dengan satu laki-laki aja yang gue janji di altar kalo dia akan jadi satu dan selamanya. Duh nggak dulu. Target gue menikah masih cukup jauh, gue masih mau senang-senang, main sana-sini bukannya ribet ngurusin popok dan nyusuin bayi. Kalo nyusuin bapaknya gue mau sih. Eh, nggak deh.

Trus, ah gue kepikiran Mami. Mami kayaknya perlu mobil baru. Sedannya sering mogok kalo dipake Becca jalan. Nanti gue pikirin deh beli mobil apa buat Mami. Gue juga pengen nanti jalan berdua sama Mami, dipilihin baju, diomelin karena makannya berantakkan-sama kayak Gideon yang sering protes dan menghapus sisa makanan di mulut gue, trus-

"Bianca!"

Gue terkejut mendengar suara seseorang memangil gue dengan lantang, saking terkejutnya sampai nggak bisa menjaga keseimbangan dan tubuh gue merosot ke laut. Gue berenang kembali ke atas tapi seseorang menghantam tubuh gue dan entah bagaimana caranya, gue berada dalam gendongan Gideon. Wajah kami naik ke permukaan air.

"Lo gila ya! Mau bunuh diri!" Gideon panik. Dia sampai menyemburkan air laut dan kayaknya sedikit air liur dari mulutnya ke muka gue karena berteriak.

"Siapa yang mau bunuh diri?!" gue balas berteriak.

"Gue panggil-panggil lo dari tadi! Gue pikir lo udah nggak sadar dan mengapung di laut! Sialan!" dia marah, otot mukanya tegang dan memerah. Gue yang terkejut terlanjut nggak bisa berkata-kata.

Dia bergerak membawa gue lebih dekat dengan bibir pantai dan berhenti sampai kaki kami bisa mencapai pijakan.

"Gue takut banget lo kenapa-napa!" dia berteriak lagi. Air liurnya menciprat ke wajah gue lagi tapi gue nggak bisa protes karena disaat yang sama gue merasakan Gideon memeluk tubuh gue erat.

Gue yang semula berada dalam gendongannya jadi berubah posisi. Gue menghadap tubuhnya, membiarkan kaki-kaki gue di bawah air memeluk sekitar pingangnya. Gideon mendekap gue erat-erat seolah takut gue bisa menghilang kalau pelukannya renggang. Kepalanya berada di bahu gue dan gue bisa merasakan napasnya yang terengah-engah.

"Sorry.." gue berbisik karena sejujurnya melihat dia begini juga jadi takut sendiri. "Gue lagi tiduran sambil mikir mau beli mobil apa buat Mami."

Gideon nggak membalas ucapan gue. Entah berapa lama gue dan dia diam saling memeluk satu sama lain dalam air. Sampai akhirnya Gideon mengangkat kepalanya lebih dulu. Dia menatap mata gue dalam. Lalu mengusap rambut gue. Gue nggak bisa menjelaskannya, tapi mata indah itu, entah kenapa terlihat sedih.

"Jangan kayak gitu lagi." Dia berkata dengan lembut tapi kenapa nada suaranya terdengar putus asa?

"Oke. Gue minta maaf."

"Kita balik ke Resort sekarang. Trus siap-siap pulang." Gue nggak membantah. Pelukan kami pun terurai, dan berakhir berjalan sendiri-sendiri ke bibir pantai. Gue meraih outer gue yang teronggok di pasir.

Melihat Gideon yang murka begitu..gue jadi sedikit takut. Tatapannya dan suaranya yang bergetar marah saat berteriak sungguh gue nggak suka. Gue nggak marah karena dia teriak gitu sampai air liurnya menciprat ke mana-mana, gue cuma takut..melihat dia ketakutan kayak tadi. Jadi sepanjang perjalanan kembali ke Villa, gue memeluk lengannya.

***

Berjam-jam kemudian, gue dan Gideon sudah duduk bersebelahan di pesawat penerbangan Semarang ke Jakarta. Gideon nggak banyak ngomong sejak tadi, gue juga jadi nggak enak buat ngajak dia bercanda. Jadinya gue diem aja memandang kerlap-kerlip lampu yang terlihat di daratan jauh di bawah sana.

Suasana kami jadi super canggung, nggak enak banget pokoknya. Nggak kayak biasanya saat gue dan Gideon bercanda, adu mulut, juga membicarakan hal-hal lain yang nggak penting-penting amat. Tapi sekarang, gue merasa begitu sepi. Pesawat yang juga hanya membawa tidak sampai setengah penumpang ini terasa begitu kosong. Sunyi terasa sampai ke dada gue. Tidak ada perasaan senang, tidak ada adrenalin memacuh seperti yang gue rasakan dua hari ini. Diamnya Gideon ternyata begitu mengusik gue. Lalu tiba-tiba gue merasa sesak sendiri. Dada gue seperti dihimpit sesuatu, dan mata gue mulai memanas. Ya Tuhan, gue nggak suka diginiin!

"Lo jangan gini dong, Deon.."

Gideon yang semula bersandar sambil memejamkan mata, mengarahkan pandangannya ke gue. Dia terkejut lalu mengulurkan tangannya mengusap wajah gue. Astaga! Gue nggak sadar gue udah meneteskan air mata!

"Hei.." Gideon melihat muka gue lekat-lekat. "Kenapa lo nangis?"

"Gue nggak suka diginiin..gue nggak mau lo diam begini. Ngomong kek, apa kek. Yang tadi kan cuma salah paham. Gue nggak berniat bunuh diri, lo aja yang terlalu panik tapi kenapa semua jadi salah gue sih?"

Gue nggak percaya semua kata-kata itu keluar dari mulut gue! Sesak di dada gue seperti sedang dibongkar-bongkar oleh sesuatu yang tak kasat mata dan tangis gue pecah saat itu juga. Kenapa gue begini sih...?

"Astaga, maaf, Nka, maafin gue.." Gideon mengusap wajah gue setiap kali air mata keluar dia menghapusnya lebih dulu. Sebelah tangannya menarik tangan gue dalam genggaman dan dia berkali-kali mendaratkan bibirnya ke punggung tangan gue.

Gue nggak ngomong apa-apa lagi. Tangis gue perlahan-lahan berhenti. Tapi gue tahu maskara gue pasti udah luntur ke mana-mana. Jadi karena malu gue menarik Gideon dan membenamkan wajah gue di dadanya. Gideon mengusap kepala gue sampai gue merasa lebih tenang.

"Gue malu banget.." bisik Gue. Kenapa coba gue sampai nangis begitu di mukanya! Bego, bego!

Gideon terkekeh. "Sama gue kok malu. Lo makan berantakkan aja nggak malu.."

Gue cubit perutnya, tapi dia tertawa.

"Muka gue pasti aneh! Maskara gue belepoten ke mana-mana!"

"Yaelah gitu doang..mana sini gue bersihin."

Gue mulai mengangkat kepala gue dari dadanya. Gue bisa melihat Gideon setengah mati menahan tawa.

"Jangan ketawa. Gue marah nih." Gue mengancamnya. Gideon manggut-manggut, bikin gue mau nggak mau tersenyum. Sekarang hati gue rasanya tenang karena nggak diabaikan lagi.

"Mana makeup remover lo?"

Untung aja tas mini berisi skincare gue nggak gue taruh di koper. Gideon menurunkan tas gue dari kabin mencari-cari botol makeup remover dan kapas. Setelah ketemu dia meletakkan kembali tas gue di kabin. Dengan perlahan dia menuangkan cairan itu ke kapas dan mengusapkannya dengan perlahan pula ke muka gue beberapa kali sampai bersih. Gue melihat pantulan muka gue di kamera ponsel dan merasa lebih baik.

"Maaf ya gue marah-marah tadi. Gue takut banget lo kenapa-napa." Gideon menggengam tangan gue lagi, menciumnya berkali-kali.

"Iya, nggak usah dibahas. Kan cuma salah paham." Sejujurnya gue malu karena nangis di hadapannya jadi gue nggak mau membahas itu lagi.

"Trus kita ngomong apa dong sekarang? Kan lo nggak mau diem-dieman."

"Nggak tahu.." Gue menatapnya. "Lo mau ngomongin apa?"

Dia balas menatap gue. "Lo mau cerita tentang keluarga lo nggak?"

Gue hampir menarik tangan gue dalam genggamannya, tapi Gideon menahan.

"Gue nggak mau maksa, tapi gue pengen denger aja. Gue pengen juga dipercayakan untuk tahu hal-hal sedalam itu tentang lo."

Gue terdiam, mempertimbangkan. Gue sudah bilang gue jarang cerita hal-hal pahit di hidup gue. Selain karena bisa mengundang lebih banyak air mata, gue juga nggak punya teman selain sahabat-sahabat gue buat berbagi. Sedangkan mereka semua sudah menyaksikan drama hidup gue. Tapi sekali lagi gue tahu, Gideon berbeda.

"Gue bisa nangis lagi kalo gitu."

"Gue liat sih isi makeup remover lo masih banyak." Dia mengerling pada benda yang dia maksud. Kini sudah dipindahkan ke dalam tas kecil miliknya. "Dada gue juga cukup lebar, lo bisa nangis-nangis puas. Gue sih tinggal ganti baju."

"Gue nggak mau diliat orang-orang."

"Gue juga bisa menutup lo, kayak gini nih." Dia memperagakan sambil merentangkan tangannya dan mendekat ke gue. Gue menuai senyum.

"Sini deketan kalo mau denger."

Gideon menarik gue dalam pelukannya. Bibirnya mengecup puncak kepala gue berkali-kali, membawa gue dalam kenyamanan.

"Setelah sekian tahun bertahan, gue akhirnya bisa keluar dari rumah Papi bulan lalu." Gue menghela napas. "Papi tuh orangnya keras dan egois banget, Yon. Bayangin, gue ditahan di rumah itu tujuh tahun nggak diizinin pindah tinggal sama Mami. Untung karena gue jadi artis, sering shooting sana-sini sampai pagi hari jadi Papi nggak tahu kalau gue biasa nginap di tempat Mami."

"Kenapa Bokap lo begitu?"

"Nggak tahu juga. Parahnya lagi, gue nggak pernah diperhatiin. Dari dulu gue nyari makan sendiri, menghidupi diri gue sendiri, nggak pernah dikasih jajan, pelukan, atau disayang kayak gimana dia sayang sama anaknya dari Nyokap tiri gue. Gue lebih sering dipukulin, ditampar, ditendang dan dimaki-maki sama dia. Kalau gue minta duit, dia bilang gue pasti bakal pake duitnya buat senang-senang. Gue dikatain manja, nggak bisa ngurusin hidup gue sendiri. Makanya gue nyari kerja sendiri, dan berakhir di sini."

Gideon nggak mengatakan apapun selain usapannya yang terasa di bahu gue. Gue merasakan dorongan yang kuat untuk meluapkan segalanya.

"Waktu keluar dari rumah, gue bilang ke Papi kalo gue begini karena dia gagal jadi orang tua buat gue. Gue tahu gue juga bukan anak yang baik, gue juga banyak durhaka ke dia, banyak nyakitin dia. Tapi gue selalu ngerasa ini nggak adil."

"Waktu Papi menelantarkan gue, gue masih belum dewasa, masih butuh banyak tuntunan dia sebagai orang tua, masih butuh diajarin banyak hal sama dia, tapi di masa-masa itu Papi nggak ada. Sakit hati ke Papi makin besar hari ke hari. Gue belajar semuanya sendiri pakai cara gue karena nggak ada yang bilang sama gue apa yang bener, apa yang salah, perlakuan mana yang pantas dan sopan ke orang lain, mana yang enggak. Nggak ada yang ngajarin itu semua."

Gue mengangkat kepala gue dari dada Gideon dan memandangnya lekat.

"Waktu lo bilang ke gue kalo gue kayak anak kurang didikan, gue merasa tertampar banget waktu itu, tapi itu emang bener. Gue begini karena kurang didikan."

Sorot mata Gideon terlihat bersalah. Dia mengusap Pipi gue. Saat itu gue baru sadar kalau air mata gue sudah jatuh lagi, entah sejak kapan.

"Gue minta maaf..."

Gue menggeleng juga menarik tangannya turun dari pipi gue.

"Gue nggak ngomong begini buat bikin lo merasa bersalah. Gue cuma pengen lo tahu."

"Gue nggak bisa membayangkan bagaimana sulitnya lo melewati masa-masa itu." Gideon menghela napas. Dia balas menatap gue lekat dan tulus. "Lo itu perempuan terhebat yang pernah gue temuin dalam hidup. Lo tangguh dan kuat banget menghadapi itu semua walau gue tahu di suatu titik lo pasti pengen banget menyerah. Tapi lo memutuskan bertahan dan gue percaya lo bisa terus bertahan walau hidup ini bikin lo berdarah-darah. Gue bangga banget sama lo."

Gideon tersenyum, tangannya terulur mengusap kepala gue.

Kata-katanya saat itu membuat gue terpanah, jantung gue berdebar keras, dan gue seperti kehilangan kemampuan untuk bernapas dalam beberapa saat.

Nggak pernah sekalipun ada orang yang bilang bangga sama gue. Apalagi bangga karena gue bisa melewati masa-masa sulit itu. Bangga karena gue nggak menyerah dan terus bertahan sampai saat ini. Perasaan gue makin nggak karuan. Ada haru dan sedih yang menyeruak tiba-tiba. Saat itu juga tangis gue kembali pecah.

"Seburuk apapun orang-orang menilai lo, sekarang di mata gue, lo adalah orang baik dan hebat. Bukan cuma sebagai perempuan, tapi sebagai manusia."

Gideon meraih gue kembali dalam pelukan, menyembunyikan muka gue yang udah nggak karuan di dadanya. Usapan demi usapannya yang lembut menyelimuti gue, menghadirkan perasaan lain.

Perasaan ini..perasaan seperti ini yang gue rasakan waktu melihat Becca dan Mami berpelukan di hari ulang tahun Becca. Nyaman, aman, seperti berada di tempat yang tepat dan seharusnya. Seperti rasa yang muncul setelah melalui perjalanan panjang dan melelahkan, lalu berakhir menenggelamkan diri di ranjang. Rasanya seperti pulang ke rumah. Seperti, di sinilah seharusnya gue berada.

***

Gelang tangan couple pertama Bianca sama Gideon padahal belum jadi couple beneran kikhh
Sumber ilustrasi foto : pinterest

Continue Reading

You'll Also Like

261K 24.2K 57
[By the way, follow aku dulu, boleh ya?] Di semestanya, ada dua laki-laki, satu kecintaan satunya lagi kebutuhan. Biar saya perkenalkan kalian deng...
Terang By -

Romance

89.3K 10.2K 43
Rated 18+ Saat dia mengatakan, "Kamu sakit hati di kisahmu. Ya memangnya aku enggak?" Saat itulah sebenarnya aku tidak tahu apa-apa dan larut dalam p...
537K 57.1K 20
Lilian merasa dunianya runtuh saat sang ayah meninggal, dan meninggalkan perusahaan yang terjerat utang padanya. Di saat tidak ada yang dapat membant...
1.5M 13.3K 23
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) Hati-hati dalam memilih bacaan. follow akun ini biar lebih nyaman baca nya. •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan sa...