Long Way Home

Por cloudiens

9.9K 1.1K 377

"I wanna get lose and drive forever with you." *** Erlangga Jevander adalah penghuni yang kehilangan rumahnya... Mais

Let's meet them
01 - Don't (Love Me)
02 - Feeling Fades
03 - Hate to See Your Heart Break
04 - Stay Close, Don't Go
05 - Naked
06 - Don't Watch Me Cry
07 - Thru These Tears
08 - How Can I Say?
09 - I Like You
10 - I'm Serious
11 - Leave Your Lover
12 - Falling for You
13 - Trying My Best
14 - Eyes Locked, Hands Locked
15 - Fools
16 - Popo
17 - What Am I To You
19 - Heart Out
20 - Love Me Like That (END)
Extra Chapter - Cry Baby

18 - Cliché

421 46 10
Por cloudiens

Note: Corona virus doesn't exist in this story

Over the next few days
We got to talking with every single word
I started falling farther, farther and farther for you

You were so witty and so charming, swept me off my feet
You made me laugh you made me blush, no one could compete


Cliché - mxmtoon

***

Two years later (2020)....

Gladys

Udah hampir lima menit gue memandangi kalender yang saat ini berada di genggaman gue. Ah, mungkin tepatnya memandangi salah satu angka yang gue lingkari dengan spidol merah di sana. Gue tau kalau waktu terus berjalan, tapi kadang gue nggak menyangka kalau bakal secepat ini.

21 Desember, hari ulang tahun ayah. Hari yang jatuh pada hari Senin itu-atau tepatnya dua hari lagi-adalah hari yang selalu gue tunggu-tunggu tiap tahunnya. Setelah menghela napas dalam-dalam, gue kembali meletakkan kalender itu ke atas nakas. Tangan gue bergerak membuka salah satu laci yang sangat jarang gue buka. Karena setiap kali gue membukanya, satu-satunya yang tertangkap oleh indera pengelihatan gue hanya figura coklat yang di dalamnya terdapat potret anak perempuan berumur tujuh tahun yang tengah dipangku sang ayah di atas ayunan.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, gue meraih figura itu. Kilasan balik akan kenangan manis bertahun-tahun silam terputar di kepala gue bagai untaian script film.

Udah hampir sepuluh tahun berlalu, tapi rasanya gue baru kehilangannya kemarin.

"Kak?"

Buru-buru gue mengusap air mata yang tiba-tiba aja mengalir di pipi gue begitu suara berat seseorang menyapa indera pendengaran gue. Gue menoleh, menatap sosok cowok dengan balutan kaus hitam dan ripped jeans biru langit yang kini berdiri di ambang pintu.

"Bang Elang di luar tuh."

"Iya. Bilangin gue ganti baju dulu."

Alih-alih meninggalkan gue, Sion malah melangkah masuk. Menutup pintu kamar rapat-rapat kemudian menghampiri gue yang saat ini tengah ketar-ketir memasukan kembali figura foto ayah ke dalam laci.

"Miss him, right?"

Kebanyakan orang bilang, katanya anak perempuan lebih dekat dengan ayahnya. Dan benar, itu berlaku pada gue. Di antara gue dan Sion, gue yang lebih dekat dengan ayah. Nggak tau kenapa gue merasa ayah bisa mengerti semua sisi dalam diri gue tanpa perlu susah-susah gue jelaskan.

Baik nyokap maupun bokap, mereka punya arti yang sama untuk gue. Mereka sama berharganya. Rasanya sama-sama menyakitkan jika harus kehilangan mereka.

Begitu tau kalau mereka pada akhirnya memutuskan untuk berpisah, gue mencoba untuk mengerti dan nggak egois-sekalipun sejujurnya gue pengen banget buat egois saat itu. Gue mencoba mengerti kalau nyokap layak menemukan kebahagiaannya yang baru karena bokap gue gagal memberikan itu untuknya. Gue mencoba untuk mengerti baik nyokap maupun bokap gue, mereka hanya akan saling menyakiti jika memaksa untuk terus bersama.

Bokap dengan rasa bersalahnya, dan nyokap dengan rasa nyamannya yang telah pudar.

Saat kepergian ayah, gue benar-benar hancur. Dunia gue seolah runtuh. Gue pikir meski gue nggak bisa sering-sering bertemu dengannya lagi karena keadaan yang udah berubah, gue tetap masih bisa melihatnya lebih lama lagi.

Ayah menghabiskan sisa umurnya di rumah sakit jiwa seorang diri. Setiap kali mengunjunginya gue harus menahan buncahan emosi di dada gue karena saat itu dia nggak bisa lagi mengingat gue maupun adik gue. Setiap kali mengunjungi ayah, gue selalu ingin marah-marah pada dunia, memaki keadaan, menyalahkan takdir. Bertanya-tanya kenapa alur hidup gue harus sekacau ini?

Gue udah mengikhlaskan kepergiannya, tapi itu nggak membuat gue berhenti merindukannya.

Gue melirik jarum jam sekilas, udah mau jam lima sore dan gue ada janji makan malam sama keluarganya Elang hari ini karena mau merayakan anniversary pernikahan mereka yang ke-30. Gue bangkit dari duduk gue, kemudian melangkah mendekati lemari pakaian. Butuh waktu sekitar lima menit lamanya untuk gue berdiri di depan lemari, memilih apa yang cocok untuk gue kenakan hari ini.

Pilihan gue akhirnya jatuh pada dress putih bermotif floral selutut tanpa lengan. Dress punya nyokap gue yang sejak bertahun-tahun silam dipindahtangankan menjadi milik gue.

"Keluar, gue mau ganti baju," kata gue pada Sion yang masih duduk di atas kasur gue tanpa bersuara.

"Kak," panggilnya dengan suara parau.

"Apa?"

Dia terlihat sedang menimang-nimang isi pikirannya. Keraguan itu terpancar jelas dari sorot matanya. Gue dan Sion terlampau mirip dari segala hal. Kata orang, dalam sekali lihat pun mereka bakal sadar kalau kami adalah adik-kakak. Yang berbeda cuma Sion lebih berani untuk mengungkapkan isi kepalanya dan berkata tidak terhadap sesuatu yang emang nggak pengen dia lakuin. Beda sama gue yang apa-apa memikirkan perasaan orang lain dulu.

Namun, kali ini dia kelihatan kesulitan buat mengungkapkan isi kepalanya itu.

"Kalau lo nikah, apartemen ini bakal lo jual, nggak?"

Gue terdiam untuk beberapa detik, sebelum akhinya tawa gue pecah mendengar pertanyaannya itu.

"Siapa yang mau nikah, gila? Kerja aja baru setahun gue. Masih banyak yang mau gue kejar. Dan kalaupun gue nikah, gue nggak bakal jual apartemen ini lah. Ini punya Ayah, satu-satunya peninggalan Ayah."

Gue nggak paham kenapa bisa dia tiba-tiba mikir sampai ke sana. Walaupun gue udah berumah tangga nanti-entah sama siapapun itu-apartemen ini nggak akan pernah gue sewakan pada orang lain, apalagi gue jual. Di sinilah gue bertumbuh. Tempat ini yang menjadi saksi bisu tangisan gue tiap malam saat gue merasa dunia lagi jahat-jahatnya. Di sinilah gue merasa kalau ayah masih ada di dekat gue.

"Kenapa, sih? Lo mikirin apa?" gue memutuskan untuk duduk di sampingnya. Merangkul lembut bahunya yang tanpa gue pernah duga sebelumnya ternyata sekeras ini, adik gue udah besar.

"Keliatan banget ya mikirnya?"

"Banget."

Setelahnya, helaan napas berat terdengar. Meskipun pandangannya tertuju pada hambal berbulu yang kini kami pijak, sorot mata sendunya itu bisa gue sadari.

"Gue nggak mau balik ke Bandung lagi."

"Then, don't. Jangan lakuin kalau emang lo nggak mau."

"Tapi gue juga nggak mau tinggal sendirian di sini."

Ada sesak yang tiba-tiba melesak masuk ke dada gue. Semenjak kedua orang tua gue berpisah, gue dan Sion hanya memiliki satu sama lain. Meski dia sempat tinggal di Bandung bersama nyokap gue dan suami barunya, itu nggak serta merta membuat hubungan gue dengan dia merenggang. Kami berbagi kabar hampir setiap hari. Nggak ada yang mengenal Sion sebaik gue, bahkan kedua orang tua gue sekalipun.

Dan mendengar kalimatnya barusan, entah kenapa gue merasa bersalah. Padahal gue sama sekali nggak habis melakukan kesalahan apapun.

"Tapi gue nggak bisa egois. Gue tau suatu saat nanti lo pasti bakal ketemu dan ngabisin sisa hidup lo sama laki-laki yang lo sayang dan juga menyayangi lo. Begitu pun gue."

"And i think he is the right person."

"Bang Elang, nggak tau sejak kapan I put high hopes on him."

"Selama dua tahun ini ke belakang ini, gue merasa kalau lo kelihatan jauh lebih bahagia. Lo bisa mengekspresikan perasaan lo dengan mudah. Lo jadi versi diri lo yang paling lo inginkan, yang jelas jauh lebih baik. And i can feel how much the love that he given to you."

Ya, gue setuju. Gue setuju kalau selama dua tahun ke belakang ini gue telah menemukan versi diri gue yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Gue juga setuju kalau selama dua tahu ini Elang memperlakukan gue dengan sangat baik. Elang adalah tipe orang yang nggak pernah malu buat mengekpresikan perasaannya, selalu berusaha buat orang yang dicintainya merasa nyaman dan bahagia saat sama dia.

Namun, selama beberapa hari ke belakang... ada suatu hal yang menganggu pikiran gue.

Apa gue udah memperlukannya sama baiknya seperti apa yang telah dia lakukan untuk gue?

Apa selama dua tahun ini... gue udah memberinya kasih sayang sebesar apa yang telah dia berikan untuk gue?

Elang emang nggak pernah menuntut banyak, justru gue lah yang terlalu banyak menuntut diri gue sendiri akan banyak hal.

Suapaya dia bisa merasa sama bahagianya berada di dekat gue seperti gue yang selalu bahagia waktu ada di dekatnya.

"Jangan naruh harapan terlalu tinggi sama siapapun, Yon," kata gue masih dengan sesak yang belum kunjung pergi dari dada gue.

"Sifat manusia gak bisa kita prediksi. Mereka makhluk dinamis yang akan terus berubah. Kalau dia tiba-tiba berubah jadi nggak sesuai apa yang kita ekspektasikan, kita juga yang bakal terluka."

"Lo belum percaya sama Bang Elang?"

"No. Bukan gitu. Gue percaya, but I just don't wanna put too high hopes on him. Selain karena gue mau menghindari kemungkinan-kemungkinan terburuk, juga karena gue nggak mau dia merasa terbebani. Nggak semua orang seneng saat tau ada orang yang berharap banyak sama mereka. Ada beberapa dari mereka yang justru malah merasa itu beban. Harapan itu membebani mereka."

Seulas senyum simpul di bibir Sion terbit seiring pergerakkan tangannya yang menurunkan tangan gue dari pundaknya. Posisinya saat ini dia yang merangkul pundak ringkih gue.

"Keren Kakak gue."

"Ck, lebay! Udah ah awas gue mau ganti baju!" gue mendorong pelan badannya yang besar itu agar dia melepaskan rangkulannya. Dia tertawa kemudian melangkah mendekati pintu kamar setelah menutupi seluruh bagian kepala gue dengan dress yang ingin gue kenakan.

Emang adik kurang ajar.

"Kak, mau nanya satu lagi."

Namun, baru sampai di ambang pintu langkahnya terhenti.

"Apaan?"

"Lo lebih suka tema classy indoor, atau garden party?"

Lantas kening gue berkerut, nggak mengerti dengan pertanyaan randomnya.

"Garden party," jawab gue asal untuk mempersingkat waktu, takut Elang udah nunggu terlalu lama.

Dan untungnya Sion nggak bertanya apa-apa lagi dan langsung pergi. Bagus, gue bisa ganti baju sekarang sebelum jalanan macet karena sekarang weekend. Pasti Elang udah misuh-misuh di luar karena gue kelamaan di dalem. Sabar-sabar gitu dia cukup sering cursing anaknya.

Tapi lucu, sih, hahaha.

***

"Tau nggak 'kan kemarin aku audisi talent ya, Dys, nah ada tuh anak SMA kelas tiga suaranya baguuuuuus banget, terus mirip kamu! Aku sampe nanya dia kenal kamu atau enggak, tapi katanya enggak. Aku kasih unjuk foto kamu 'kan, tapi dia bilang nggak pernah ketemu atau kenal kamu."

"Ya, lagian kamu sotoy banget?"

"Ya abisan mirip kamu banget? Aduh mana ya fotonya? Dia lagi nggak pasang foto profile lagi di WhatsApp. Pokoknya mirip kamu banget, aku sampe nggak fokus."

"Jiahhhh, jadi maksudnya kamu naksir anak SMA?"

"Sembarangan! Nggak gitu konsepnya, ya! Aku cuma kaget aja kok bisa semirip itu sama kamu. Kirain ada hubungan saudara, taunya enggak."

Selama perjalanan menuju Bandung, keheningan nggak pernah menyelimuti kami. Dia yang nggak berhenti cerita tentang banyak hal; kerjaan, kelakuan absurd teman-teman kantornya, sampai isi grup WhatsApp keluarganya yang selalu ada-ada aja. Saat dia udah merasa capek buat cerita, gantian gue yang menceritakan rutinitas gue yang gitu-gitu aja sebenarnya, monoton, nggak menarik.

Elang sekarang bekerja sebagai A&R* -yang merangkap sebagai produser juga-di sebuah salah satu label musik yang artis-artisnya saat ini banyak yang sedang naik daun. Label musik yang dia bangun bersama teman-teman segengnya saat kuliah dulu, Gavin dan Edsel. Raiden misah sendiri karena dia diberi perintah sama ayahnya untuk mengurus perusahaan kontraktor milik keluarganya di Kalimantan.

Studio Berbagi saat ini bukan cuma studio satu lantai dengan halaman gersang yang cuma diisi saat penghuninya sedang patah hati atau lelah menghadapi dunia. Studio Berbagi saat ini udah menjadi sebuah label yang di dalamnya terdapat orang-orang hebat dan bertalenta, yang membagikan seluruh emosi dan perasaan mereka melalui karya-karya keren.

Mungkin kebanyakan orang mengangap Elang bisa sesukses ini karena punya privilege dari latar belakang keluarganya yang 'terpandang' dan dia yang emang udah terkenal karena pernah jadi seorang disk jockey, tapi sebenarnya anggapan itu gak sepenuhnya benar. Ya, mungkin latar belakang keluarganya adalah privilege, tapi di samping itu dia juga berusaha keras.

Gue menyaksikan sendiri gimana stresnya dia nyari sponsor sana-sani untuk membantu pendanaan, nyaring talent-talent berkualitas, ngehabisin waktu buat duduk di depan mixing table berjam-jam demi menciptakan musik-musik berkualitas.

Elang, dia nggak hidup untuk bermusik, tapi bermusik adalah hidupnya.

Selalu ada hal-hal tentang dia yang berhasil membuat gue berdecak kagum dan bangga. Meskipun mungkin kelihatannya dia adalah sosok yang menjungjung tinggi kebebasan dan terlihat hidup sesuka-suka hati dia, sebenarnya dia termasuk orang yang cukup visioner. Dia tau apa yang mau dia lakukan, dia punya gambaran ke depannya nanti dia bakalan hidup seperti apa.

Kadang gue iri, tapi bukan dalam artian yang negatif. Gue iri ngeliat dia punya ambisi sebesar itu sampai satu-persatu mimpinya berhasil dia wujudkan. Sedangkan gue... kadang gue nggak tau apa mimpi gue. Gue membiarkan hidup gue mengalir seperti air.

Gue selalu bangga dengan Elang dan semua pencapaiannya, tapi gue merasa kalau gue nggak bisa membuat dia sama bangganya seperti gue.

Karena gak ada sisi yang bisa dibanggakan dari gue.

Sore itu emang banyak hal yang kami bicarakan, mengingat gue dan dia akhir-akhir ini sama-sama sibuk jadi hanya bisa bertemu di akhir pekan. Namun, dari banyaknya topik yang kita bahas, ada satu hal yang sejujurnya ingin gue bicarakan dengannya. Hal yang mengganggu pikiran gue sejak lama, tapi terlalu takut untuk gue utarakan karena tau pasti responnya nggak akan baik. Dia pasti bakal marah sama gue.

Melihat moodnya yang saat ini sepertinya lagi dalam keadaan bagus, gue nggak sampai hati untuk merusaknya. Akhirnya gue memutuskan untuk tetap bungkam, membiarkan hal itu mengendap di kepala gue lebih lama lagi.

Masih ada waktu, gue pikir begitu.


***

"Anak cantik! Sini, sini duduk!"

Suara riang Tante Tiara menyambut kedatangan gue dan putra bungsunya saat kami udah berjarak beberapa meter dari meja tempatnya berada. Meja panjang itu udah diisi oleh Om Andra-ayahnya Elang-, Kak Yura beserta suaminya. Gue cukup terharu melihat Kak Yura yang menyempatkan hadir di acara makan malam ini padahal dia lagi hamil besar.

Setelah menyalimi satu persatu anggota keluarga yang hadir, gue memutuskan untuk duduk di kursi kosong yang berada di tengah-tengah Elang dan Tante Tiara. Hari ini adalah hari anniversary pernikahan bokap-nyokapnya Elang yang ke tiga puluh, nggak heran kenapa ada kue tart di tengah-tengah meja makan.

"Ayok, ayok berdoa dulu sebelum makan!" ujar Om Andra.

"Dih, masa nggak tiup lilin dulu?" protes anak laki-lakinya yang saat ini udah mengeluarkan korek dari saku celananya.

"Nggak usah, nggak ada lilinnya juga. Udah langsung aja potong kuenya."

"Lagian gimana, sih, beli kue nggak pake lilin?"

"Tetehmu yang beli."

"Payah."

"Ngomong sekali lagi coba?"

"Hush! Udah, udah, malah berantem! Ayuk berdoa dulu. Pimpin, Pi."

Gue hanya bisa tertawa geli melihat pertengkarang kecil yang selalu terjadi antara Elang dan Kak Yura. Meski begitu, berada di tengah-tengah keluarga ini rasanya selalu hangat. Gimana mereka memperlakukan gue selalu berhasil membuat gue nyaman berlama-lama berada di tengah-tengah mereka. Rasanya seperti berada di rumah.

Atau malah... lebih nyaman daripada saat berada di rumah.

Setelah merapalkan doa, prosesi makan malam pun dimulai. Perbincangan-perbincangan hangat mengalir begitu aja seiring dengan masuknya suapan makanan ke dalam mulut. Sesekali gelak tawa tercipta, membuat suasana di meja ini benar-benar hidup.

"Gladys gimana kerjaan? Lancar?" tanya Om Andra.

"Alhamdulillah lancar, Om."

"Hmm, bagus kalau gitu. Nyaman 'kan tempat kerjanya? Nggak ada yang rese 'kan?"

"Hahaha, nggak kok, Om. Syukurnya aku dapet tim yang supportif semua. Jadi enjoy-enjoy aja kerjanya."

Meskipun kerja di start up dan cuma berprofesi sebagai content writter, gue cukup senang dengan lingkungan kerja gue. Asli deh, lingkungan kerja tuh berpengaruh banget sama performa kita. Dulu gue sempet kerja di salah satu e-commerce terkenal se-Indonesia, tapi lingkungan kerja gue nggak enak banget dan gue merasa gue nggak bisa berkembang di sana, akhirnya gue mutusin buat resign setelah tiga bulan bertahan. Tentunya waktu itu gue nggak bilang apa-apa sama Elang, gue nggak mau dia kepikiran dan khawatir.

"Kenapa kamu nggak join Studio Berbagi aja? 'Kan enak sama Elang."

"Yeeeh, si Mami. Justru yang ada nanti tuh anak nggak fokus kerja malah pacaran. Lagian kasian Gladysnya ntar nggak bebas. Ya, nggak, Dys?" sahut Kak Yura dengan seringaian di bibirnya.

Gue cuma ketawa-ketawa aja karena bingung mau ngasih respon apalagi. Jangan tanya reaksi Elang gimana, mukanya udah ketekuk dan bibirnya monyong-monyong kayak Donald bebek.

Sebelumnya Elang emang udah sering meminta gue untuk bergabung dengan labelnya, tapi gue menolak. Bukan karena gue merasa ruang gue akan dibatasi karena satu tempat kerja dengan pacar sendiri, gue emang murni pengen usaha sendiri aja. Walaupun gue tau Elang adalah orang yang profesional dan nggak mungkin mencampuri urusan pekerjaan dengan urusan pribadi-yang di mana hubungan kami masuk di dalamnya-gue cuma mau mengantisipasi aja. Gue nggak mau kalau misal kita lagi berantem malah berdampak sama kerjaan, apalagi sampe males ke kantor karena lagi saling menghindar.

Dua tahun ini sebenarnya hubungan gue sama dia nggak selalu mulus-mulus aja. Ada masanya di mana gue sama dia berantem hebat atau perang dingin yang membuat kami memutuskan buat nggak ketemu satu sama lain dulu. Biasanya yang nyerah duluan dia, sih. Tau-tau udah nongol aja di depan apartemen gue setelah sekian hari gak kontekan.

"Rencana kamu buat ke depannya apa, Dys?" gue cukup terkejut saat mendapati pertanyaan tiba-tiba dari Mas Raihan. Kami nggak begitu sering mengobrol karena dia emang cukup pendiam orangnya, tapi aslinya dia ramah kok, kelijatan penyayang juga. Apalagi kalau ngomong lembut banget. Gue sedikit segan sama dia.

"Belum kepikiran banget, sih, Mas. Paling mau fokus kerja dulu aja."

"Target nikah umur berapa nih?"

"Ohok... ohok!"

Bukan. Bukan gue yang batuk-batuk, tapi cowok di samping gue yang sekarang udah sibuk menepuk-nepuk dadanya dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanan menggenggam gelas berisi air putih. Gue yang ikut panik buru-buru menepuk pelan tengkuknya. Kasian banget, dia kayaknya sesyok itu. Padahal gue yang ditanyain?

"Kayaknya Raihan nanya Gladys, kenapa kamu yang keselek sampe kayak syok hebat gitu?" tanya Tante Tiara yang kini menyodorkan sehelai tissu pada anak bungsunya itu.

"Aku minumnya buru-buru, jadinya keselek."

"Halah."

Setelahnya kami gue semua tergelak. Meskipun ikut tertawa sejujurnya gue lagi mikirin jawaban atas pertanyaan yang dilayangkan Mas Raihan barusan. Pengen hati, sih, nggak menjawab, tapi gue belum sekurang ajar itu sayangnya.

"Gimana, Dys? Ditanya tuh," kali ini Kak Yura yang bersuara.

"Hehehe, kebetulan aku nggak netapin target, sih, Mas, Teh. Tapi kalau ditanya ada rencana dalam waktu dekat atau enggak kayaknya belum ada."

Gue nggak tau kalau jawaban yang gue berikan ternyata berhasil membuat seisi meja hening. Bahkan, Om Andra yang hendak menyeruput lemon teanya sampai menghentikan pergerakkannya sejenak.

Gue salah ngomong apa, ya?

"Masih ada yang mau dikejar, ya? Wajar, sih, masih muda 'kan. Masih 24 'kan kamu? Sepantaran Windy?"

Beruntungnya Kak Yura cepat membaca keadaan. Namun, sayangnya pertanyaanya itu malah membuat gue makin dilanda kebingungan tentang apa yang harus gue katakan selanjutnya.

"Iya bener, Teh."

"Apa tuh kira-kira yang mau dikejar? S2, ya?"

Gue nggak tau harus jawab apa....

Jadinya gue cuma diam. Merenung untuk beberapa detik dan membiarkan orang-orang di meja ini melayangkan tatapan penuh tanda tanyanya ke arah gue.

Yang paling kelihatan sangat menunggu jawaban gue ya Elang. Gue sampai gelagapan karena ditatapan secara terang-terangan sama dia dengan jarak sedekat ini.

"Hehehe, iya," jawab gue pada akhirnya.

"Wihhhh, keren! Udah mutusin mau di mana dan jurusan apa?" pertanyaan dari Tante Tiara berhasil membuat gue kesulitan untuk menelan saliva gue sendiri. Tenggorokkan gue rasanya tercekat.

Niatnya gue mau ngasih tau soal ini nanti waktu gue sama Elang lagi berdua, tapi tanpa gue duga situasi memaksa gue untuk mengatakannya sekarang.

"NUS... Tante... Desain Industri."

Setelahnya hening....

Seluruh mata benar-benar tertuju pada gue, seolah hanya gue lah objek yang bisa mereka lihat. Gue nggak berani menolehkan kepala ke arah Elang, apalagi menatap matanya. Akhirnya gue memutuskan untuk menundukkan kepala gue. Meremas ujung dress gue kuat-kuat. Rasanya benar-benar seperti sedang diintimidasi, padahal bisa aja itu cuma perasaan gue.

"Keren banget! Udah daftar? Seinget aku dia lagi buka program beasiswa deh dari September lalu. Kamu ikut itu atau gimana?"

Ingetin gue buat berterimakasih yang sebesar-besarnya pada Kak Yura karena telah menyelamatkan gue dari situasi canggung ini. Meskipun sebenarnya belum benar-benar lepas juga.

"Iya emang ikut, Teh. Pengumumannya awal Desember kemarin dan syukurnya lolos."

"Keren loh pacar kamu, Lang. Nggak mau kasih apresiasi?"

Gue meberanikan diri buat menoleh ke arahnya setelah mendengar kalimat yang keluar dari mulut Om Andra, tapi sosok di sebelah gue saat ini hanya diam dan lanjut mengunyah makanannya, seolah pertanyaan dari bokapnya itu nggak berarti apa-apa buat dia.

Gue hanya bisa mengembuskan napas berat dan lanjut mengunyah makanan gue yang rasanya tiba-tiba hambar. Gue mengerti dia pasti marah. Nggak apa-apa, dia emang berhak kok buat marah.

Prosesi makan malam itu berlanjut dengan atmosfir yang menurut gue udah nggak lagi sama. Meskipun masih ada gelak tawa dan candaan di antara kami, rasanya tetap ada yang janggal.

Karena sosok di samping gue masih bungkam. Nggak ada satupun kata yang lolos dari mulutnya setelah perbincangan singkat soal beasiswa itu.

Elang, dia kelihatan sekecewa itu.

***

Harusnya malam ini gue dan dia menginap di rumah orang tuanya, tapi tiba-tiba aja dia membatalkan rencana awal dan memutuskan untuk langsung pulang ke Jakarta. Tanpa berani protes jelas gue nurut-nurut aja.

Dia bahkan jalan duluan ke parkiran. Gue beneran dicuekin.

Selama perjalanan pulang suasana mobil benar-benar diselimuti keheningan. Gue pengen banget ngajak dia ngobrol. Ngasih penjelasan sejelas-jelasnya ke dia supaya nggak ada salah paham, tapi melihat dia yang malah menyumbat kedua telinganya dengan earpod sepertinya gue harus mengurungkan niat gue karena dia terlihat benar-benar nggak mau diganggu.

Sampai mobilnya itu udah terparkir rapih di basement apartemen gue, dia masih belum mengatakan apa-apa. Jujur, gue paling takut sisi Elang yang kayak gini. Mending dia ngomel panjang kali lebar daripada cuma diam begini dan menganggap gue layaknya debu yang nggak terlihat.

"Makasih. Kabarin kalau udah sampe rumah, ya?"

Setelah menyampirkan tas gue pada sebelah bahu, gue meraih handle pintu kemudian keluar tanpa menoleh ke arahnya lagi. Dengan langkah gontai gue berjalan memasuki lift. Gue merogoh isi tas gue untuk menemukan kartu akses gue, tapi sayangnya benda itu nggak ada di sana. Gue panik bukan main, bahkan ponsel gue pun nggak ada.

Semuanya ada di dompet.

Dan sepertinya dompet gue ketinggalan di mobil Elang.

"Lantai berapa, Mbak?" tanya mas-mas di samping gue.

"Sembilan belas."

Bukan. Itu bukan suara gue. Baik gue maupun cowok di samping gue ini menoleh ke arah sosok yang udah berdiri di ambang pintu sambil menenteng dompet biru di genggamannya.

Dia kini melangkah masuk dan menempelkan access card gue pada tape machine di bawah deretan tombol. Tanpa mengucapkan apa-apa dia meraih telapak tangan gue, menggenggamnya erat sampai gue merasa kalau tangan gue berkeringat saking gugupnya. Seharusnya gue gak perlu segugup ini gak, sih, gandengan sama cowok sendiri?

Begitu pintu lift terbuka dan angka di samping menunjukkan angka sembilan belas, gue dan dia melangkah keluar. Menyusuri koridor apartemen gue yang sepi masih dengan diselimuti keheningan.

"Mau masuk?" tanya gue pada akhirnya saat kami berdua udah berdiri di depan unit gue.

"You have something to say, right?"

Seketika gue mati kutu.

Setelah membuka pintu dan melangkah masuk, gue membiarkannya duduk di sofa sedangkan gue berjalan menuju pantry buat ambil minum. Sialnya, isi kulkas gue tinggal beer dan soda karena sekarang tanggal tua dan belum belanja bulanan. Gue meraih dua kaleng soda dari dalam sana dan meletakkan tepat di hadapannya.

"Ganti baju dulu aja, aku tungguin."

"Nggak usah, nanti kamu kemaleman."

Setelah mengumpulkan tekad dan keberanian, gue mendudukkan diri di hadapannya. Gue nggak berani menatap matanya, rasanya benar-benar setakut itu.

"Maaf," dari banyaknya pilihan kata di kepala gue, cuma itu yang berhasil lolos. Namun, rasanya itu cukup untuk mewakilkan semua rasa bersalah gue padanya.

"Kenapa nggak pernah bilang?"

"Kamu akhir-akhir ini sibuk banget, aku nunggu waktu yang pas buat ngobrolin soal ini."

"Sesibuk-sibuknya aku kalau kamu minta ketemu sebentar aku pasti turutin, Dys."

"Iya karena itu aku nggak mau. Aku nggak mau kerjaan kamu keganggu. Maaf, aku ngerti kok kalau kamu kesel."

Dari jarak sedekat ini gue bisa dengar suara helaan napas beratnya. Dia meyugar rambutnya frustasi, menenggelamkan punggung lebarnya pada sandaran sofa. Dia kelihatan... benar-benar lelah.

"Kapan berangkatnya?"

"Awal Februari."

"Dys? Seriously?"

"Maaf."

Gue tau mungkin dia udah muak banget dengar permintaan maaf gue, tapi demi Tuhan gue benar-benar merasa bersalah.

Cukup lama kami saling bungkam. Yang terdengar hanya suara detak jarum jam dan helaan napas kami masing-masing.

"Jangan telat makan, ya, di sana."

Hah?

Gimana maksudnya?

"Harus sering-sering kabarin aku, pokoknya kamu mau ngapain harus ngasih kabar minimal chat. Kabarin Bunda sama Sion juga. Jaga kesehatan paling utama."

Ada perasaan hangat yang menjalar di dada gue begitu mendengar penuturannya. Gue terharu melihat gimana dia mau menekan egonya sepertinya di saat gue tau betul kalau dia pasti kesal dengan gue. Setiap hari, selalu ada sisi dari seorang Erlangga Jevander yang berhasil membuat gue kagum.

"Kamu... nggak marah?" tanya gue sedikit takut.

"Marah, tapi marah nggak bikin kamu batal pergi 'kan?"

"Lang..."

"Udah gak apa-apa. Sini," dia menepuk-nepuk spot kosong yang ada di sampingnya. Memberi perintah pada gue untuk duduk di sampingnya.

Dengan senang hati gue menurutinya. Mendekapnya erat dan menyandarkan kepala gue pada bahunya.

Gue beneran sesayang itu sama dia.

"Lain kali kalau ada apa-apa bilang, Dys. Aku nggak mungkin marah apalagi kalau itu menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan kebaikan kamu. Aku bakal support apapun itu."

"Iya. Abisan kemarin-kemarin kamu keliatan pusing banget gara-gara masalah kontraknya Luminous. Aku takut nambah-nambah beban pikiran kamu. Maaf, ya, Lang."

"Ck, udah ah minta maaf mulu kayak lebaran."

Setelahnya kami berdua terkekeh. Gue mempererat dekapan gue padanya. Rasanya udah lama banget kita nggak kayak gini karena kesibukan masing-masing. Kalau dibilang kangen ya kangen banget, tapi gue nggak bisa maksain keadaan juga buat tiap saat ketemu.

Cukup lama kami bertahan pada posisi seperti ini sampai akhirnya Elang merogoh saku celananya dan mengeluarkan kotak beludru berwarna hitam dari dalam sana. Kontan, gue langsung menegakkan tubuh gue saat dia menyodorkan benda itu di hadapan gue.

"Apa nih?" tanya gue.

Ada jeda beberapa detik untuk dia menjawab pertanyaan gue. Gue meraih benda itu dari tangannya kemudian membuka tutupnya. Bergeming untuk beberapa detik saat melihat apa yang ada di dalam sana. Tiba-tiba aja degup jantung gue nggak beraturan. Ada sesuatu yang meletup-letup di dada gue saat melihat benda berkilau yang tertancap apik di dalam kotak beludru itu.

"Lang..."

"Mau nikah sama aku, gak?"

What the hell....

"Lang, seriusan?"

Jujur gue kaget banget, soalnya tiba-tiba???

"Serius. Aduh, nggak romantis, ya? Abisan bingung kamu 'kan gak suka dikasih bunga-bungaan sama disurprisein ala-ala couple goals Tumblr."

Melihat ekspresi paniknya itu gue hanya bisa tertawa. Meskipun kembang api itu masih meletup-letup di dada gue, dengan keyakinan penuh gue mengeluarkan cincin dengan batu permata mungil itu dan memberikannya padanya.

"Pakein."

"Hah?"

"Pakein. Masa ngelamar ceweknya suruh pake cincin sendiri?"

"Maksudnya... kamu-"

"Lama ih, buruan!" gue yang udah gregetan akhirnya menaruh benda itu tepat di telapak tanganya. Dia mengerjap untuk beberapa saat sebelum akhirnya memasangkan benda itu pada jari manis gue.

"Udah nih gini doang? Gak romantis banget?"

"Asli ya lo tau nggak jantung gue kayak mau turun ke perut!"

Tawa gue pecah. Kelihatan sih dari ekspresinya kalau dia emang segugup itu. Jangankan dia, gue aja dari tadi kesulitan buat mengontrol degup jantung gue sendiri.

"Takut aku tolak?"

"Tepatnya takut digantungin. 'Kan kamu dari dulu hobi ngegatungin perasaan orang."

"DIH KOK NGUNGKIT-NGUNGKIT?"

"Fakta 'kan?"

Lantas gue mengerecutkan bibir gue karena sedikit sebal dia membahas soal kebodohan gue beberapa tahun silam. Namun, itu nggak berlangsung lama karena setelahnya dia kembali menarik gue ke dalam dekapannya. Mengusap lembut punggung gue dengan tangan besarnya yang selalu hangat.

"Mau kamu minta aku nunggu selama seribu tahun juga aku bakal nunggu, Dys."

"Lebay. Emangnya kamu Tulus?"

"Iya tulus. Tulus sayang sama kamu."

"Geli banget sumpah!"

Dia tertawa, gue pun sama. Malam itu menjadi malam paling berkesan yang pernah gue lewati bareng dia. Nggak ada bunga. Nggak ada balon-balon helium yang tertempel di dinding. Nggak ada lilin-lilin aroma terapi yang menghadirkan kesan romatis. Cuma gue dan dia.

Rasa lelah gue selama seminggu ini terbayarkan. Rasa uring-uringan gue karena nggak bisa ketemu dia selama seminggu ini terbayar dengan tersematnya lingkaran permata di jari manis gue.

Keputusan gue untuk mengambil S2 di Singapur bukan semata-mata hanya untuk meraih mimpi gue, melainkan juga karena gue ingin membuat Erlangga Jevander bangga punya gue di hidupnya. Seperti gue yang selalu bangga melihat sosoknya yang lebih dari sekedar bertalenta.

Meskipun dia sering banget bilang kalau dia selalu bangga terhadap apa yang gue capai sekalipun itu hal-hal kecil, still I wanna give him more. Because he deserved it.




***

* Artists and repertoire (A&R) merupakan divisi dari label rekaman yang bertanggung jawab untuk pencari bakat dan mengawasi pengembangan artistik para artis rekaman. A&R juga bertindak sebagai penghubung antara artis dan label rekaman.





***

Aaaaaaa 2 part menuju ending!!!!! *Menghela napas*

Makasih banyak ya yang masih mau baca Long Way Home. Maaf karena updatenya luamaaaaaaaa karena kemarin-kemarin emang lagi gak bisa nulis cerita ini huhuuu. Maaf juga kalo menurut kalian ini alurnya kecepetan, tapi emang rencana awal bikin long way home cuma bakal sampe 20 part aja dan ga expected ada yg baca soalnya nulisnya juga pure iseng karena gemes sama chanseul hahahaha.

Udah ah minta maaf mulu kayak lebaran wkwkwk. Sekali lagi makasih banyak ya guyssss❤❤❤

- Dee







Continuar a ler

Também vai Gostar

3.7K 332 17
"Cinta itu memang indah, tapi apa kamu bersedia jika cinta membuatmu kehilangan dirimu sendiri?" Bagi Rona, hidup seperti palet warna yang tidak mene...
482K 3.8K 16
WARNING 18+ !! Kenzya Adristy Princessa seorang putri terakhir dari keluarga M&J group yang diasingkan karena kecerobohannya. Ia hanya di beri satu...
102K 765 6
Cerita cinta (18+) Cinta yang begitu terasa indah bagi Zara berubah menjadi kenyataan pahit yang hanya ia yang tahu bagaimana rasanya Ketika sang kek...
Ketuk Por fg.n

Ficção Adolescente

2.8K 68 16
Tulisan ini berawal dari penulis yang terlalu menaruh harap kepada makhluk-Nya. Tulisan ini sengaja penulis tulis untuk kalian yang sedang berjuang m...