Catatan sang Musafir (Complet...

By Amaranteya

6.2K 1.4K 176

Dunia terlalu luas bagi mereka yang menenggelamkan diri di sudut kamar. Namun, terlalu sayang dilewatkan bagi... More

Prolog: Catatan Kecil Eksodus
1. Patung Telanjang dan Hakikat Tubuh
2. Perempuan Bertopi dan Kemanusiaan
3. Hak Asasi dan Hubungan Darah
4. Perihal Menggadaikan Tuhan
5. Fana Waktu di Zytglogge
6. Intoleransi pada Objek Fantasi
7. Santo Nicholas of Flue
8. Tak Memiliki Kepemilikan
9. Memori Singkat Samarra
11. Ultimatum dalam Cinta
12. Kota Saleh yang Diazab
13. Kemahatahuan Allah
14. Tuduhan Pelecehan
15. Pemimpin yang Zalim
16. Yang Diraup para Korup
17. Embel-Embel Agama
18. Geliat Aya Sofya
19. Kisah Kelam Topkapi
20. Di Luar Pintu Cistern
21. Hitam Putih
22. Rasio Aristotle
23. Korban Imbas Pembelotan
24. La Cosa Nostra
25. Maha Pemaaf?
26. Dominasi Aggye
27. Ujung Tombak Perlawanan
28. Awal Tragedi Palermo
29. Kehilangan Eksistensi
30. Nihil Identitas
31. Via Suara
32. Tentang Tuhan
33. Semuanya Akan Pulang
34. Akhir dari Cinta (Ending)
Epilog: Awal Catatan Baru

10. Logika Sakyanasta

165 44 1
By Amaranteya

Sampai di Riyadh, Asgard bergegas menemui Gahya yang masih bermalam di penginapan, di salah satu Starbuck tak jauh dari Mahad Lughah, tempat Gahya belajar nantinya. Memang, sebelum benar-benar menempuh S1, Gahya harus mengikuti kelas bahasa Arab di Mahad Lughah.

Gahya hampir berteriak tatkala melihat Asgard datang sambil menenteng ransel. Wajah lelaki itu tampak sangat kuyu karena belum istirahat sama sekali. Gadis berabaya hitam dengan khimar lebar berwarna senada tersebut sudah berdiri, hendak memeluk sang kakak. Namun, lelaki itu menghentikannya dengan gestur tangan.

"Ini tempat umum," peringat Asgard, lantas duduk dan menghempaskan punggung pada sandaran kursi.

"Mas nggak asyik, padahal kan Aya kangen. Udah lama kita nggak ketemu dan bakal lama nggak ketemu loh, Mas. Lagian, Mas Asgard kan masnya Aya, kenapa nggak boleh peluk? Nggak dosa, kok." Ekspresi Gahya sangat keruh. Tampaknya, ia benar-benar kesal karena itu. Jelas saja, ia sungguh rindu dengan Asgard.

Lelaki di seberangnya hanya mengembuskan napas panjang. Tak lama, ia mengambil segelas kopi di hadapan Gahya dan meminumnya tanpa permisi.

"Maaf, Mas haus." Ia kembali menghempaskan punggung ke sandaran kursi setelah meletakkan gelas kopi yang sudah tandas isinya.

Lelaki itu memandang Gahya lekat, memperhatikan wajah cantik sang adik. Benar-benar mirip bunda mereka. Gahya memiliki kulit putih sedikit pucat dengan bibir merah alami. Hidung gadis itu terbilang kecil, tetapi mancung dengan proporsi yang pas. Yang membuat perempuan lain sering iri, Gahya memiliki alis tebal dan bulu mata lentik, hasil turunan sang ayah. Tak lupa, manik memesonanya yang berwarna madu.

Asgard jadi teringat tentang kata-kata Moana yang menyatakan bahwa Gahya sempurna sebagai seorang perempuan. Agaknya mungkin benar, tetapi ... baginya Gahya adalah adik yang cerewet dan sering menyebalkan.

"Kenapa, Mas? Aku cantik, ya? Wah ... jelas, Gahyaka memang selalu cantik seperti Bunda." Kedua tangan gadis itu menghimpit pipi, membuatnya tampak menggemaskan. Ia memang seajaib itu, bisa mengubah suasana hati secepat kilat.

"Kalau kecantikan kamu tiba-tiba diambil sama yang kasih, Mas akan ketawa paling kenceng, Ya. Jangan ujub."

Mendengar ucapan sang kakak, seketika gadis itu beristighfar. Berbicara dengan Asgard memang harus hati-hati. Niatnya bercanda, bisa menjadi masalah serius jika berhubungan dengan kakaknya itu.

"Mas tidak mau peluk karena menjaga kehormatan kamu, jaga-jaga untuk menghindari timbulnya fitnah. Kita memang saudara, tapi belum tentu orang lain berpikiran demikian. Lagipula, tetap harus ada batasan, apalagi di tempat umum, Aya."

Bukannya tersentuh, Gahya justru mendengkus. Ia lantas mengutak-atik ponselnya sebentar dan mengangsurkannya ke hadapan Asgard.

Laman Instagram, itu yang dilihat Asgard setelah meraih ponsel adiknya. Namun, yang membuat ia terkejut adalah ... akun yang ditunjukkan oleh Gahya.

"Gahya memang adiknya Mas Asgard, terbukti dari hobi dan kebiasaan kita yang sama. Fotografi. Akun itu galeri tersembunyinya Mas, kan? Hasil jepretan Mas Asgard semuanya ada di sana. Gahya hafal banget sama style fotografinya Mas."

Satu lagi sifat menyebalkan sang adik, Gahya selalu tahu yang ia sembunyikan. Ia harus mengacungi jempol kemampuan adiknya dalam hal stalking. Bisa-bisanya akun yang ia jadikan sebagai galeri digital ketahuan oleh Gahya, padahal sudah memakai nama yang tidak mudah dikenali.

"Menghindari fitnah, katanya. Itu foto banyak yang pakai model cewek, loh, Mas. Nggak takut fitnah?" sindir Gahya.

Asgard semakin lelah karena disudutkan sang adik. "Kamu tahu Mas bagaimana. Kehormatan perempuan tetap nomor satu untuk Mas. Mereka itu teman-teman Mas yang secara sukarela menjadi model dan memang mengizinkan fotonya di-posting, tidak ada maksud apa pun."

Gahya pasrah. Melawan argumen sang kakak akan sangat sulit baginya. Jadi, lebih baik diam, meskipun apa yang dikatakan Asgard memang benar adanya.

Mengingat sesuatu, Asgard menegakkan tubuh. Ia yakin sang adik bisa menjawab rasa penasarannya. "Ya, Mas boleh tanya?"

"Itu udah nanya," celetuk Gahya.

Seakan mendapat persetujuan, Asgard mulai bertanya, "Kenapa agama harus mengatur hak milik, sedangkan nyatanya manusia tidak memiliki apa-apa selain Tuhan? Pun sebenarnya mereka tidak boleh mengatakan bahwa Tuhan adalah milik mereka, justru semua yang ada pada mereka adalah milik Tuhan. Namun di sisi lain, jika semua milik Tuhan, kenapa ada perbudakan yang di dalamnya, melegalkan istilah budak milik majikan?"

Gahya memandang kakaknya tak habis pikir. Entah pikiran lelaki itu yang terlalu rumit atau memang pertanyaannya yang terlampau mengesalkan.

"Mas pas zaman pelajaran Fiqih tidur, ya? Agama itu bukan hanya ngatur hubungan manusia dengan Tuhan kalau Mas lupa. Lagipula, sebagai makhluk hidup kita diberi fitrah yang melekat berupa hak. Untuk menjaga keteraturan, menghindari perpecahan, bahkan saling bunuh antar saudara. Tuhan membuat aturan untuk mengatur hak tersebut dan hak kepemilikan termasuk di dalamnya."

Sedikit banyak, ucapan Gahya membuatnya tertohok. Tidur, katanya. Namun, Asgard memang tak bisa mengelak. Salah satu kelemahannya adalah belajar teori tanpa berlogika, baginya hal itu lumayan membosankan. Ia lebih suka diberi patokan, lantas disuruh mencari dan berpikir sendiri, lalu didiskusikan. Begitulah seorang Asgard belajar.

"Agama memang ada untuk mengatur hal-hal itu, Mas. Nggak semua orang bisa berpikir sejauh yang Mas Asgard lakuin. Jika dilihat lebih dalam, manusia memang nggak memiliki apa-apa, tapi bukan berarti apa yang sudah disediakan Tuhan nggak dimanfaatkan dengan baik, kan?" Pandangan mata Gahya fokus pada kakaknya.

Asgard mengangguk, tanda bisa menerima jawaban sang adik. Namun, masih saja ada hal yang bercokol di kepalanya. Diketuknya meja pelan dengan jari telunjuk, lantas kembali melontarkan pertanyaan, "Bagaimana perihal budak? Manusia bukan barang yang bisa diakui sebagai hak milik. Mereka bernyawa, Ya. Jika perbudakan tetap dilegalkan, artinya ada kemanusiaan yang sedang diinjak-injak."

Sejenak, Gahya bertopang dagu, memikirkan kata-kata yang sekiranya tepat untuk menjawab Asgard. "Mas, ini yang kudet Aya atau Mas Asgard, sih? Gahya nggak pernah tahu kalau perbudakan dilegalkan. Ya ... mungkin kalau zaman dulu udah jadi kayak tradisi karena perbudakan menjamur, tapi sekarang? Kayaknya nggak ada, deh. Eh ... bentar, tapi kalau perbudakannya dibungkus pakai modernitas, jelas masih banyak. Kaitannya bukan serta merta tentang hak milik, loh. Perekonomian, pendidikan, sosial, kayak gitu-gitu."

Asgard menghela napas panjang, benar juga. Kenapa ia tidak berpikir pada eksistensi perbudakan itu sendiri? Zaman berkembang, pun dengan masalahnya. Ia juga baru sadar tentang fleksibilitas hukum Islam yang bisa menyesuaikan dengan waktu dan keadaan.

"Mas ketemu jawabannya sekarang. Semuanya kembali lagi ke sudut pandang individu. Semua yang ada di bumi adalah milik Tuhan dan manusia diberi hak serta tanggung jawab untuk memanfaatkannya. Dalam pemanfaatan itu, ada batas-batas yang tidak boleh dilanggar oleh manusia satu dengan yang lain. Hukum yang mengatur tentang hak itu adalah alat untuk menghindari penyalahgunaan tanggung jawab tersebut."

-o0o-

Nun jauh di sana, seorang perempuan fokus pada jurnal berbahasa Inggris untuk kepentingan tesis. Bagaimanapun, ia harus mempersiapkannya mulai awal-awal. Jika bisa lulus lebih cepat, akan lebih baik untuknya, tetapi itu bagi sang ayah. Katanya, agar bisa kembali ke kampung halaman dan menerima proposal taaruf dari seseorang. 

Jujur dia tidak ingin cepat menikah, ia ingin lanjut pendidikan sampai S3, membuat disertasi, dan mewujudkan keinginannya mengelilingi dunia menelusuri jejak-jejak Islam masa lampau. Namun, bukankah menikah juga sebuah ibadah? Mengingat itu, ia sadar bahwa menikah adalah wujud cintanya pada Yang Maha Cinta.

"Have you had a lunch?" Seorang perempuan berambut panjang menghampirinya dengan lesu. Jaket kulit berwarna hitam dipadukan celana jeans, menjadi pakaian teman kuliah wanita itu.

"No, I am fasting."  Senyum lebar tak bisa disembunyikan perempuan berkhimar itu. "Mau aku temani makan siang, Snotra?"

Snotra tersenyum canggung di tempatnya. Meski hal serupa sering terjadi, tetapi tetap saja perempuan Norwegia itu merasa tak enak pada wanita di seberang mejanya.

"Ah ... tidak apa, Nizwa. Aku tidak lapar, kan aku hanya bertanya." Snotra terkekeh kecil. Ia tidak sepenuhnya bersalah. Lagipula, perempuan itu memang hanya bertanya, tidak mengajak. 

Dua perempuan itu bukan teman kuliah. Mereka tak sengaja bertemu di perpustakaan nasional Norwegia beberapa bulan lalu. Dari sana, dua perempuan itu menjadi teman dan sering bertemu di tempat yang sama, seperti sekarang. 

"Sepertinya akan lebih baik jika kita mengobrol di luar. Aku takut mengganggu pengunjung yang lain." Nizwa beranjak setelah menutup beberapa buku dan menumpuknya. Perempuan bergamis mint itu lantas menuju meja pustakawan untuk meminjam buku yang dibutuhkan dan diikuti Snotra.

Sampai di luar, keduanya berjalan berdampingan menyusuri trotoar. Meski membawa buku yang cukup tebal, Nizwa tak terganggu sama sekali. Langkahnya ringan, berbeda dengan Snotra di sampingnya. Perempuan itu justru memasang wajah keruh.

"Apa ada yang salah?" Nizwa menoleh dan menatap Snotra sangsi. Ia memang menyadari gelagat perempuan itu sejak datang ke perpustakaan. Dengan kening berkerut dalam, Nizwa yang tak kunjung mendapat jawaban, beralih ke depan Snotra lantas berjalan mundur.

"Kau tahu bagaimana keadaanku, bukan?" Langkah Snotra berhenti. Ia mendekat ke arah bangku yang ada, lalu duduk di sana. Setelah Nizwa menghampiri, ia kembali berujar, "Ayah memang sudah sedikit berubah pikiran, tapi sekarang aku dipusingkan dengan keinginannya."

Nizwa masih diam, menunggu Snotra yang terlihat belum ingin mengakhiri ceritanya. Perempuan di sebelahnya itu berdecak cukup keras sambil membuat gerakan menendang udara.

"Ini benar-benar tidak masuk akal, Nizwa. Ayolah, ini Eropa. Perempuan umur tiga puluh ke atas pun masih dianggap wajar jika melajang. Tidak seperti di negaramu, bukan? Aku tahu ini wujud kekhawatiran jika aku kembali memberontak, tapi tetap saja."

Gerutuan terus dilontarkan Snotra. Sepertinya perempuan itu lagi-lagi mulai frustrasi. Satu masalah selesai, masalah lain justru muncul lebih banyak.

"Apa ini ada kaitannya dengan lelaki yang telah membantumu? Kamu sempat cerita bahwa ayahmu memintanya untuk menikahimu." Buku yang tadinya berada di pangkuan Nizwa, beralih ke atas bangku. Perempuan itu meletakkannya di tengah-tengah mereka.

"Sedikit koreksi, Ayah memintanya melakukan itu denganku tanpa pernikahan sebagai ganti perkosaan kuratif yang seharusnya aku dapat saat terapi. Benar-benar keterlaluan." Desahan keras tak bisa ditahannya, hingga membuat beberapa pejalan kaki menatap mereka heran.

Nizwa yang merasa tak enak, segera menundukkan kepala tanda maaf.

 "Ayah mengultimatumku. Jika sampai ulang tahunku yang  ke-23 aku belum membawa seseorang ke hadapannya, Ayah akan mencari dia ke mana pun dan diseret kembali ke Oslo untuk menikahiku. Kau tahu, Nizwa? Sepertinya ayahku begitu menyukai lelaki itu. Pernikahan hanya alasan untuk membuat Asgard menjadi menantunya."

Nizwa menaikkan sebelah alis. Alih-alih merespons cerita Snotra, ia justru memandang jalanan dengan sorot menerawang. "Asgard?" gumamnya.

Meskipun pelan, Snotra mendengar gumaman perempuan itu. "Kenapa?"

"Baru kali ini kamu menyebut namanya. Saat kamu cerita kemarin, sama sekali tanpa nama. Namun, aku seperti tidak asing dengan nama itu dan ... hei, kapan ulang tahunmu itu?"

Lagi dan lagi, Snotra mengembuskan napas panjang. Didongakkannya kepala, lantas memejamkan mata, menikmati suasana siang di Oslo. 

Lama keduanya tak bersuara. Nizwa sengaja memberi ruang pada temannya untuk menenangkan diri dari masalah.

"Seminggu dari sekarang, ulang tahunku." Snotra kembali ke posisi semula. Kali ini kepalanya ditolehkan, hingga bisa leluasa melihat Nizwa. "Memang ... kau punya teman bernama Asgard?"

Nizwa sedikit terlonjak saat tahu kapan ulang tahun perempuan itu. Sebentar lagi. Jika ayah Snotra benar-benar merealisasikan ucapannya, jelas akan ada dua orang yang mendapat masalah.

"Mungkin aku bertemu dengannya di pesawat saat kembali ke sini, tapi aku tidak tahu apakah mereka orang yang sama atau tidak." Gelengan singkat diberikan Nizwa. Perempuan itu sedikit membetulkan jilbabnya yang melorot. "Snotra ... boleh aku tahu kenapa ayahmu ingin lelaki itu menjadi menantunya? Maaf, tapi ceritamu tidak selengkap itu."

Mendengar kalimat pertama yang dilontarkan Nizwa, Snotra buru-buru mengambil ponsel dari saku jaket. Ibu jarinya mengetuk layar beberapa kali, menggulir, sampai berhenti saat menemukan yang dicari. Itu fotonya di atas kano, dengan wajah Asgard yang cukup terlihat meski lelaki itu tak ikut berfoto. Diulurkannya benda pipih itu ke hadapan Nizwa yang langsung disambut dengan baik.

"Laki-laki yang ada di belakangku itu Asgard. Mungkin memang benar kau bertemu dengannya di pesawat. Dia sama sepertimu, datang dari Indonesia." Snotra menyilangkan kaki, sementara kedua tangannya berada di pangkuan.

Benar saja, Nizwa terkejut. Itu lelaki yang duduk di sampingnya saat di pesawat. Lelaki yang waktu itu fokus berpikir dan sesekali menekuri jurnal, lelaki yang ia dapati membaca buku Moses and Monotheism sepanjang perjalanan, serta lelaki yang membahas Peristiwa Eksodus bersamanya. Benar-benar takdir yang luar biasa.

"Aku tidak tahu pasti apa alasan Ayah, tapi setelah Asgard pergi hari itu, aku sempat mendengar dia berbisik pada Ibu. Ayah bilang bahwa Asgard laki-laki yang cerdas. Awalnya aku berpikir mungkin Ayah mau memanfaatkannya, tapi itu semua patah saat Ayah tersenyum dan mengulang perkataan Asgard sebelumnya. Menggadaikan Tuhan. Sepertinya ada latar belakang spiritual yang dipertimbangkan Ayah."

Nizwa semakin dibuat tak mengerti. Laki-laki macam apa Asgard sebenarnya? Menggadaikan Tuhan? Ia dibuat tak bisa berpikir dengan sepenggal kalimat itu.

Masih sibuk dengan pikirannya sendiri, Nizwa dikejutkan oleh Snotra yang lagi-lagi berbicara. "Nizwa, lupakan sebentar masalah itu. Sebenarnya aku ingin menanyakan ini sejak kau tahu bahwa aku seorang lesbian. Apa kau tidak takut? Maksudku, dalam agamamu dilarang. Apa kau tidak risih berteman denganku? Apa kau tidak takut jika sewaktu-waktu aku menyukaimu?"

Kali ini Nizwa tersenyum lebar sambil mengangsurkan ponsel Snotra. "Untuk apa aku takut? Kamu dan para lesbian di luar sana tidak berbahaya. Adapun yang tidak baik, itu bukan salah orientasi kalian, tapi individu masing-masing. Dalam agamaku memang dilarang menyukai sesama jenis, tapi kami diajarkan untuk cinta pada sesama, siapa pun itu. Sejauh aku belajar, Islam adalah agama yang penuh kedamaian, begitupun agama lain. Aku yakin itu."

Nizwa membuat posisi duduknya lebih nyaman. Perempuan itu menyandarkan punggung pada bangku. "Misal nanti kamu suka sama aku, itu bukan hal besar. Aku hanya perlu menolaknya dengan sopan, sama seperti saat aku menolak laki-laki yang berusaha mengajak taaruf bahkan mengkhitbah. Sesederhana itu."

Mau tak mau, kalimat Nizwa sukses mengundang tawa Snotra. "Kau mirip Asgard dalam banyak hal. Aku pikir, kalian bisa menjadi pasangan yang benar-benar luar biasa jika memang jodoh."

"Sayangnya tidak ada yang benar-benar tahu siapa jodoh kita sampai waktunya tiba. Kecuali Tuhan tentu saja."

-o0o-

Tipikal belajar Asgard adalah yang aku lakukan selama ini🤣 Di kelas ngantuk kalau cuma dikasih teori. Mending dikasih mosi, suruh debat.

Continue Reading

You'll Also Like

56.8K 4.6K 31
Lagi asik-asiknya panen mangga eh malah denger lelaki ngucap akad pakai namanya??? HAH! KOK BISA? .... ⚠️ FOLLOW SEBELUM MEMBACA⚠️ ... Di keluarga...
45.5K 2.1K 27
"Wanita itu suci, bagaikan sajadah. Karna, diatas wanita lah lelaki akan beribadah." Fatimah mengerutkan keningnya. "Maksudnya? Perempuan dijadikan s...
77.2K 9.1K 83
Novel Terjemahan Tamat Detak Jantung di Ujung Lidah Penulis:Jiao Tang Dong Gua Pandangan dunia yang sangat berbeda tentang pemeran pria dan wanita - ...
452K 14.1K 8
-PROSES REVISI UNTUK PENERBITAN- 2nd A Series [Spiritual - Dark Romance] "Why do you believe in God?" Misteri adalah nama lainnya. Bersembunyi dengan...