Catatan sang Musafir (Complet...

By Amaranteya

6.2K 1.4K 176

Dunia terlalu luas bagi mereka yang menenggelamkan diri di sudut kamar. Namun, terlalu sayang dilewatkan bagi... More

Prolog: Catatan Kecil Eksodus
1. Patung Telanjang dan Hakikat Tubuh
2. Perempuan Bertopi dan Kemanusiaan
3. Hak Asasi dan Hubungan Darah
4. Perihal Menggadaikan Tuhan
6. Intoleransi pada Objek Fantasi
7. Santo Nicholas of Flue
8. Tak Memiliki Kepemilikan
9. Memori Singkat Samarra
10. Logika Sakyanasta
11. Ultimatum dalam Cinta
12. Kota Saleh yang Diazab
13. Kemahatahuan Allah
14. Tuduhan Pelecehan
15. Pemimpin yang Zalim
16. Yang Diraup para Korup
17. Embel-Embel Agama
18. Geliat Aya Sofya
19. Kisah Kelam Topkapi
20. Di Luar Pintu Cistern
21. Hitam Putih
22. Rasio Aristotle
23. Korban Imbas Pembelotan
24. La Cosa Nostra
25. Maha Pemaaf?
26. Dominasi Aggye
27. Ujung Tombak Perlawanan
28. Awal Tragedi Palermo
29. Kehilangan Eksistensi
30. Nihil Identitas
31. Via Suara
32. Tentang Tuhan
33. Semuanya Akan Pulang
34. Akhir dari Cinta (Ending)
Epilog: Awal Catatan Baru

5. Fana Waktu di Zytglogge

230 45 2
By Amaranteya

Para pelancong mulai berkumpul di depan Zytglogge. Apa yang mereka tunggu-tunggu sudah hampir tiba. Tak berbeda dengan Asgard yang masih membidik kerumunan di depannya. Perlahan tapi pasti, ditekannya tombol shutter saat dirasa lensa yang ia fokuskan sudah pas. Momen beberapa orang yang kebetulan tampak samping, mau tak mau membuat lelaki itu tersenyum. Indah.

"Look at the bears!" Seorang anak kecil yang berada di gendongan seseorang, tampak mengacungkan telunjuknya ke atas sana. Benar saja, patung mekanik yang terletak di sebelah astrolab berbentuk beruang mulai berputar pada cakram, seakan tengah melakukan parade.

Riuh segera mampir di kedua telinga Asgard. Rata-rata adalah suara decak kagum, sementara yang lain tawa girang dari anak-anak yang datang bersama keluarganya. Meski begitu, lelaki itu tetap mendapati mereka yang menatap mekanisme jam tanpa suara. Hanya diam dengan senyum tipis masing-masing.

"Hei! Kamu pasti orang Indonesia."

Seketika Asgard menoleh dan menemukan perempuan bergaya modis. Perempuan itu mengenakan mini skirt kotak-kotak perpaduan oranye dan hitam, serta atasan off shoulder berwarna putih. Rambut hitam panjang bergelombangnya begitu kontras dengan warna kulit putih bersih perempuan itu. Di hidungnya sendiri, bertengger kacamata hitam yang menambah kesan classy pada sosoknya.

"Jika kamu perhatikan, bukan hanya patung beruang di sana, tapi juga pelawak dan ayam. Ah ... sebentar lagi bagian kesukaanku," lanjut perempuan itu, kali ini berbisik tepat di telinga kanan Asgard.

Tak lama, di atas sana tampak patung Khronos yang mulai memutar jam pasir di tangan kanannya, sementara tongkat di tangan kiri terayun bersamaan. Lonceng di atas menara Zytglogge juga berdentang karena pukulan dari karakter patung bernama Hans von Thann. Asgard menatapnya dengan sorot kagum, lantas kembali menoleh ke arah perempuan itu. Sama, ia tersenyum lebar.

Pukul dua belas siang tepat. Berakhirlah atraksi mekanisme jam karya mahsyur Casper Brunner itu setelah kurang lebih empat menit. Waktu tiga tahun dari 1527 sampai 1530, cukup bagi Casper untuk membangun mekanisme semegah itu.

"Sayangnya itu kurang lama." Perempuan itu berdecak keras saat orang-orang kembali menyebar dengan pemandu wisata masing-masing. Setelahnya, ia pun beranjak menjauhi Asgard dengan gaya berjalan bak bintang catwalk.

Perempuan itu cukup mencolok di mata Asgard. Terlepas dari penampilannya yang sangat jauh berbeda dengan santriwati-santriwati yang biasa Asgard lihat, ia tampak begitu stunning dengan ankle boot berhak 10 cm dan tas keluaran LV.

Menyadari sesuatu, Asgard segera berlari menyusul perempuan itu. "Tidak merasa senang bertemu sesama orang Indonesia?" tanyanya.

Perempuan itu berhenti dan menatap Asgard dengan tangan terlipat di depan dada. Ia melihat Asgard dari atas ke bawah berulang kali. Dirasa puas, ia membuka kacamata hitamnya. "Seneng, tapi aku udah sering ketemu orang Indonesia di sini. Jadi, buat apa aku harus merasa amazed?"

Asgard mengangguk paham. Senyum belum juga luntur di bibirnya saat ia mengulurkan tangan. "Ah ... aku Asgard, siapa namamu? Sepertinya, kamu sudah lama tinggal di Swiss."

Perempuan itu menyambut uluran tangan Asgard. "Moana. Aku baru tinggal di Swiss setahun terakhir. Kelihatannya ... kamu jadi wisatawan di sini. Butuh pemandu?"

Kekehan kecil lolos dari bibir Asgard. Rupanya, Moana cukup peka.

"Ayo, kuajak keliling kota tua Bern."

Mereka berjalan menyusuri kota tua bersama pedestrian lain. Pandangan mata keduanya tak lepas dari gedung bernuansa klasik di sisi kanan dan kiri. Bangunan bertingkat itu, benar-benar memanjakan mata siapa pun yang melihatnya.

Asgard jadi ingat salah satu tempat yang pernah ia kunjungi di Indonesia. Kota Lama Semarang. Menjadi warga Yogyakarta, membuat lelaki itu sedikit banyak sudah menjelajah tempat-tempat estetik di wilayah Jawa Tengah dan tempat kelahirannya. Bukan sekadar travelling, tetapi juga menjadikannya refleksi untuk terus menjadi manusia yang bertumbuh. Entah dari sejarah tempat yang ia kunjungi, pun kejadian-kejadian yang ia alami di sana. Tak lupa juga ... dari orang-orang dan fananya waktu yang telah lewat.

"By the way, kamu orang mana, Gard?" tanya Moana tiba-tiba.

"Jogja. Lebih tepatnya di Sleman." Asgard masih fokus pada bangunan-bangunan itu sambil sesekali melakukan jepretan.

"That's a beautiful place to visit." Moana memilih berhenti dan duduk di salah satu bangku yang tersedia. Disilangkan kaki jenjang itu, lantas memandangi Asgard yang juga ikut berhenti. Namun, lelaki itu tak mengalihkan atensi sama sekali, masih sibuk dengan kameranya.

"Kalau penglihatan aku nggak salah, kamu cukup tampan."

Kalimat itu sukses membuat Asgard menghentikan kegiatannya. Ia jadi berdiri menghadap Moana dengan alis naik sebelah. Kedua tangannya sudah membiarkan kamera kembali menggantung di leher. Beberapa saat diam, ia ikut duduk di samping perempuan itu.

"Apa aku perlu mengucapkan terima kasih untuk pujian itu?" Asgard terkekeh pelan.

Moana sedikit menyampingkan posisi duduknya agar bisa lebih leluasa memandang Asgard. Matanya lekat menyorot lelaki itu, dibalas pandangan sama lekat.

"Aku serius, kamu tampan meskipun dengan penampilan sederhana ini." Perempuan itu menumpu siku pada lutut, lantas menopang dagunya.

"Memang penampilanku harus bagaimana agar terlihat tidak sederhana?" Senyum miring yang dilayangkan Asgard justru semakin membuat Moana memujinya dalam hati.

Perempuan itu kembali ke posisi semula, bersandar pada bangku. Dipindahkannya uraian rambut ke sisi kanan, hingga membuat pundak kirinya terekspos sempurna. Asgard menyadari gelagat itu.

"Kamu tidak tertarik dengan perempuan seperti aku? See!" Ia melirik dirinya sendiri sampai ujung kaki. "I have an ideal body. Aku semampai, kulitku bagus, and proud to say this, aku cantik. Dengan penampilanku juga, aku yakin semua laki-laki akan tertarik. How about you? Kita bisa jadi pasangan serasi, bukan?"

Gelengan kepala yang diberikan Asgard sukses membuat Moana terperangah. Lelaki itu menyugar rambut dengan jari, lantas berkata, "Firstly, sorry to say, tapi aku sudah banyak bertemu perempuan yang kualifikasi fisiknya sama denganmu. Bahkan, jika aku cermati dari kata-katamu tentang standar, ada beberapa dari mereka yang lebih you know ... attractive."

Moana berdecak keras. Sebuah umpatan pun lolos dari bibir merah cerinya. Kesal juga mendapati Asgard seakan tak tertarik dengannya.

"Kedua, aku memang tidak pernah tertarik dengan mereka dan tidak berniat tertarik. Bukan berarti aku bisa mengendalikan perasaan, tapi ... memang bukan kalian yang aku cari. Ke--"

"Perasaan bisa muncul kapan saja, bukan? I mean, if you wanna try, we can be a couple goal. Orang-orang bakal iri sama kita," potong Moana cepat.

Asgard tampak tak terganggu sama sekali. Ia justru melanjutkan ucapannya, "Ketiga, saking fananya waktu, aku lebih memilih menyimpan mereka yang aku temui dalam sebuah catatan. Lalu, akan aku kubur ingatan itu sebelum aku munculkan kembali untuk mengambil pelajaran. Pertemuan seperti ini sering aku lalui, Moana. Aku tidak ingin terlibat dalam hal-hal semacam itu. Untuk pernyataanmu sebelumnya, aku tidak akan pernah menggunakan istilah mencoba dalam sebuah hubungan. Karena jika aku menemukan seseorang yang tepat, yang akan aku berikan bukan hanya sekadar rasa iri dari orang-orang."

Moana tampak serius sekarang. Ia mencermati tiap kalimat yang dilontarkan Asgard dengan sungguh-sungguh. "Memangnya, apa yang akan kamu berikan? Aku jadi penasaran."

"Ar-Rahman. Ar-Rahman dan satu surah lain yang dia minta sebagai pendamping mahar. Lagipula, aku tidak mungkin menggunakan kata mencoba saat meminta seorang putri dari ayahnya untuk kujadikan istri."

Membisu, begitulah keadaan Moana kini. Benar dugaannya, Asgard memang ... sesuatu.

Perempuan itu cepat menguasai diri. Kecewa? Tentu saja tidak. Dia bukan tipikal perempuan yang akan benar-benar langsung jatuh hati pada pandangan pertama. Ia memang ... suka mencari tahu tentang seseorang dengan cara itu. Namun sayang, jawaban Asgard tampaknya membuat dia jatuh.

"Ah ... ternyata kamu tipe laki-laki yang kalau suka, langsung lamar, ajak nikah. I see." Peryataan itu membuat Asgard terkekeh. Tersadar sesuatu, Moana kembali pada mode serius. "Saking fananya waktu. Apa maksudnya itu?"

Pandangan Asgard kali ini mengarah pada gedung di hadapannya. Ia semakin mendongak dan berhenti dengan memandangi langit yang cerah. "Waktu. Apa kamu bisa melihat itu? Tidak, kan? Yang bisa kamu lihat adalah jam, seperti Zytglogge. Itu pun, hanya dua belas jam sebelum jarum mengulang putarannya."

Lagi-lagi Moana terhenyak. Ia tidak pernah memikirkan itu sebelumnya. Asgard sendiri, sudah mengalihkan pandangan lagi. Kali ini mengarah pada Zytglogge yang sudah tampak kecil karena jarak.

"Apa kamu pernah bertanya, Moana? Kenapa jam terus saja mengulang putaran yang sama padahal waktu yang kita lewati tampak terus berjalan? Kenapa jarum terus berputar dan membuat sudut konstan beraturan tiap harinya? Kenapa jam yang sama bisa kita gunakan bertahun-tahun sementara waktu tidak? Kenapa?" Asgard menoleh pada Moana, menatap perempuan itu lekat.

Tak ada respons. Moana bingung harus menjawab apa. Pertanyaan yang disuarakan Asgard terdengar aneh, tetapi masuk akal. Kenapa? Kenapa ia baru memikirkannya sekarang setelah Asgard bertanya? Kenapa tidak dari dulu?

"Karena sebenarnya waktu itu fana, rusak. Kamu mungkin bisa menghitung jam, tapi tidak dengan waktu. Waktu tidak pernah benar-benar ada. Bagiku, dia hanya sebuah istilah yang diwujudkan dalam sebuah jam, tapi tetap tidak memiliki entitas. Kecuali kalau kamu melihat dari sudut pandang mitologi, maka waktu memiliki dewanya sendiri, Khronos. Jadi, bagaimana mungkin aku menjadikan pertemuan yang sesingkat itu sebagai patokan?"

Moana memiringkan kepala, mulai pening dengan yang dikatakan Asgard. Mengubah suasana serius itu, ia segera berdiri dan berkacak pinggang. "Oke, cukup. Aku tidak cocok diajak membahas hal seperti ini. Aku lebih suka membahas barang-barang keluaran brand terkenal dan harganya."

"Moana," panggil Asgard, yang hanya dibalasi gumaman. Laki-laki itu ikut berdiri. "Bisa tolong tunjukkan masjid atau semacamnya yang terdekat dari sini? Setidaknya, aku masih berpegang pada waktu salat sebagai patokan."

-o0o-

Apa waktu itu, benar-benar fana?

Tak pernah ada yang sungguh mengerti kenapa jarum mengulang putarannya, sementara waktu tidak. Itu pertanyaan dan pernyataanku saat masih duduk di tingkat dua wustha, tepat setelah mengkhatamkan hafalan Alfiyah Ibnu Malik dalam kurun kurang dari setahun.

Ya, waktu itu fana. Tak sekali pun aku menghitung berapa banyak waktu yang kuhabiskan untuk mengkhatamkan Alfiyah. Pun berapa jumlah pasti dari jam yang aku habiskan. Sekali lagi, waktu itu fana, aku tak bisa menghitungnya.

Waktu hanya ilusi. Bisa saja aku yang sama, berada pada dua waktu berbeda. Tak pernah ada waktu pagi, siang, sore, malam, karena waktu tak memiliki entitas. Waktu itu fana. Hanya ada hanya masa lalu, sekarang, dan nanti.

Sudut terjauh Zytglogge, Swiss
Musafir Buta Arah

-o0o-

(All picts by Pinterest)

Riset tentang Zytglogge benar-benar membuatku berada di sana. Rasanya nyata. Membayangkan melihat patung-patung mekanik berparade pada cakram setiap pergantian jam, membayangkan berada pada posisi Asgard yang ada di tengah-tengah kerumunan, semuanya nyata dalam bayanganku. Berharap, kamu bisa ikut merasakannya.

Btw, Moana blak-blakan, yak? Kayak yang nulis. Dan ... aisshhh, Asgard mulai bikin oleng.

Continue Reading

You'll Also Like

448K 37.6K 39
"1000 wanita cantik dapat dikalahkan oleh 1 wanita beruntung." Ishara Zaya Leonard, gadis 20 tahun yang memiliki paras cantik, rambut pirang dan yang...
8.1K 508 6
*Jalaluddin Rumi "Rumi, di manakah aku dapat melihat Tuhanmu? Di manakah Dia yang telah berhasil membuatmu lupa terhadap dunia? Dia yang kau sebut s...
93.2K 3.5K 62
Prabu Siliwangi adalah seorang raja legendaris yang amat terkenal di wilayah Nusantara terutama di tanah Jawa Barat. Ia adalah seorang Raja besar yan...
403 105 37
Ini bukan cerita horor, cuma cerita comedy biasa. Tidak ada yang spesial, selain abang tukang bakso yang suka menyamar menjadi intel. Heran kadang, t...