Long Way Home

By cloudiens

9.9K 1.1K 377

"I wanna get lose and drive forever with you." *** Erlangga Jevander adalah penghuni yang kehilangan rumahnya... More

Let's meet them
01 - Don't (Love Me)
02 - Feeling Fades
03 - Hate to See Your Heart Break
04 - Stay Close, Don't Go
05 - Naked
06 - Don't Watch Me Cry
07 - Thru These Tears
08 - How Can I Say?
09 - I Like You
10 - I'm Serious
11 - Leave Your Lover
12 - Falling for You
13 - Trying My Best
14 - Eyes Locked, Hands Locked
15 - Fools
17 - What Am I To You
18 - Cliché
19 - Heart Out
20 - Love Me Like That (END)
Extra Chapter - Cry Baby

16 - Popo

357 47 10
By cloudiens


Now you know, how much your eyes
Make me wonder 'bout
How deep is our love
Especially, when you appreciate for me
I can't help loving you more

Popo - Yerin Baek

***

Gladys

Gue tau kok Elang marah. Gue bahkan gak bisa menghitung seberapa banyaknya rasa kecewa yang gue kasih buat dia. Gue tau kalau selama ini, mungkin aja... gue cuma ngasih harapan-harapan yang gue sendiri masih belum yakin bisa merealisasikan harapan itu atau enggak.

Ya, gue emang jahat.

Bahkan gue rasa lebih dari itu. Gue egois.

Gue gak mau kehilangan dia, tapi di satu sisi gue juga masih ragu sama diri gue sendiri.

Iya, sama diri gue sendiri, bukan sama dia.

Demi Tuhan, gue gak pernah meragukan perasaannya. Rasa ragu yang bertengger di kedua bahu gue saat ini adalah rasa ragu gue pada diri gue sendiri.

Gue cuma gak mau aja kalau ternyata perasaan yang gue punya untuk dia saat ini cuma perasaan nyaman karena hati gue yang baru aja terluka. Gue gak mau ngejadiin dia sebagai penghuni sementara yang cuma singgah karena hati gue yang emang lagi kosong. Gue gak mau jadiin dia pelarian. Karena Elang gak pantas untuk itu.

Saat melihatnya lari tergopoh-gopoh sambil merangkul Rosela di lobi apartemennya kemarin, ada perasaan aneh yang cukup membuat gue bingung. Iya, gue liat itu. Gue liat gimana paniknya dia menggendong Rosela memasuki mobilnya sampai gak peduli dengan keadaan sekitar. Gue liat dia merapalkan beberapa makian saking paniknya karena kondisi Rosela yang keliatannya lagi gak baik-baik aja.

Sepulang dari caffe hari itu, awalnya gue emang gak berniat nemuin dia, tapi tiba-tiba aja gue merasa keputusan gue itu salah. Tiba-tiba aja gue merasa kalau gue malah butuh dia saat itu. Makanya, masih tanpa membalas pesannya terlebih dahulu, gue langsung menyandangi apartemennya saat itu sambil membawa espresso kesukaannya.

Gue gak marah dia nganter Rosela. Gue justru kagum karena dia masih bisa se-respect itu sama seseorang yang udah nyakitin dia di masalalu-walaupun gue tau Rosela gak berniat buat nyakitin dia. Elang... mungkin bakal terdengar sangat klasik kalau gue bilang dia terlalu baik buat gue, tapi kenyataannya gue emang benar merasa begitu.

Gue merasa manusia plin plan kayak gue gak pantes dapetin orang setulus Elang. Dia jelas bisa dapetin yang lebih baik dari gue. Yang bisa membalas perasaannya tanpa keraguan sama sekali.

Sore itu, espresso yang gue jinjing berakhir di tempat sampah. Tepat setelah mobilnya hilang dari pandangan gue, gue juga ikut meninggalkan bangunan megah yang sore itu cukup ramai, tapi membuat gue seolah merasa sedang sendirian. Gue bertemu Raiden di depan pintu masuk, tapi gue buru-buru menunduk supaya dia gak mengenali gue dan untungnya berhasil.

Gue lagi gak mau meladeni pertanyaannya. Karena pasti dia bakal bertanya kenapa gue ada di sini-meskipun gue yakin dia pasti tau kalau gue ke sini ya buat ketemu Elang. Tiba-tiba aja gue malas untuk menjelaskan apapun. Akhirnya, sore itu gue memutuskan untuk berjalan kaki dari apartemen Elang ke halte busway yang lokasinya cukup jauh. Sengaja, karena gue butuh waktu untuk mengobrol dengan pikiran gue sendiri.

Kenapa sih memahami pola pikir kita sendiri tuh rasanya sesusah ini?

Kenapa gue seolah gak kenal sama diri gue sendiri, sehingga buat memahaminya sesulit ini?

"Lang?"

Jantung gue nyaris turun ke perut saat melihat sosoknya berdiri di hadapan gue begitu pintu lift terbuka. Gue hendak menemui Alden karena katanya ada barang yang harus dia kembaliin ke gue. Gue udah menolaknya dan menyuruh dia buat simpan aja barang itu, tapi dia menolak dan kekeuh buat memgembalikannya ke gue.

Makanya saat melihat Elang berdiri di hadapan gue sekarang, gue panik. Gue bingung harus apa. Otak gue seolah gak bisa bekerja seperti sebagaimana mestinya.

Tiba-tiba gue takut dia salah paham.

Gue takut gue bakal ngecewain dia lagi kalau tau siapa yang akan gue temui saat ini.

Saat itu gue benar-benar pengen nangis.

"Dys?"

Lidah gue kelu. Bola mata gue bergerak gusar. Gue takut Alden tiba-tiba aja keluar mobil kemudian situasi jadi lebih canggung lagi. Tatapan Elang terus tertuju pada gue, seolah hanya gue objek yang bisa dia lihat. Dan tindakannya itu semakin membuat gue gelisah. Bukannya gue gak nyaman, gue hanya panik. Gue panik sampai gue bisa merasa kalau deru napas gue mulai ga beraturan.

Gue seolah-olah seperti sedang tertangkap basah telah melakukan suatu kesalahan besar. Udara yang ada di ruang kotak ini seakan-akan gak cukup untuk gue hirup. Pengap. Tiba-tiba aja gue merasa pengap.

"Gue mau keluar," kata gue pada akhirnya. Kalimat gue berhasil menimbulkan kerutan tipis pada keningnya.

"Mau kemana?"

Gue benar-benar mati kutu. Gue gak tau harus jawab apa. Apa lebih baik gue jujur aja kalau mau ketemu Alden? Tapi, apa dia bakal baik-baik aja mendengarnya? Sumpah, otak gu bener-bener gak bisa dipakai mikir lagi. Tatapannya yang seolah menuntut sebuah penjelasan tanpa sadar jawaban membuat napas gue tercekat.

"Pulang," akhirnya cuma itu yang bisa gue ucapkan.

"Kenapa?"

Iya... kenapa? Kenapa gue malah nyuruh dia pulang? Padahal dari tadi gue pengen banget ketemu dia. Gue nunggu dia ngechat gue lagi padahal chat terakhirnya gak gue balas. Ralat, gue balas, tapi dengan cepat gue meng-unsentnya sebelum dia membaca itu dan berujung membuat gue menyesali tindakan bodoh itu seumur hidup.

Gue cuma gak mau dia, gue, dan Alden ada di suatu tempat yang sama lagi. Mengingat pertemuan terakhir kami di koridor apartemen gue malam itu yang sangat jauh dari kata menyenangkan.

"Pulang, Lang. Gue lagi gak mau ketemu lo."

Gue tau mungkin setelah ini dia bakalan membenci gue.

Dan gue merasa kalau gue emang pantas untuk itu.

Gue dan segala kebimbangan gue pantas dibenci.

"Gak mau," gue lupa Elang adalah Sagitarian. Dia dan sifat keras kepalanya adalah sejoli yang gak bisa dipisahkan.

"Gue bilang pulang, Lang," tapi gue juga bisa sama keras kepalanya kayak dia.

Maaf, Lang. Seenggaknya buat malam ini, gue mau menyalahkan diri gue sepuasnya sampai gue sadar gimana sebenarnya perasaan gue ini buat lo. Walaupun mungkin lo bakalan membenci gue setelah ini.

"Lo kenapa, sih, Dys? Gue ada salah?"

Enggak. Sama sekali enggak. Satu-satunya yang salah di sini adalah gue.

"Tolong... gue beneran lagi gak bisa ketemu lo sekarang."

Tatapan gak percayanya benar-benar melukai gue. Namun, dibanding gue, bukannya dia yang seharusnya lebih terluka? Dia pasti sekarang merasa dipermainkan dan itu jelas sesuatu yang patut membuatnya marah.

Gila lo, Dys. Udah merasa cantik kali lo narik ulur perasan orang seenak jidat?

"Ya kenapa?" suaranya terdengar putus asa. Raut kelelahannya gak bisa dia sembunyiin lagi.

"Ya gak bisa!" tapi gue sama putus asanya. Gue juga sama lelahnya. Lelah menghadapi kelabilan diri gue sendiri.

Maaf, Lang. Lo jelas pantes dapet yang jauh lebih baik dari gue.

"Tolong... gue beneran lagi gak bisa ketemu lo sekarang."

Dia menatap gue lamat-lamat. Sebisa mungkin gue mengalihkan pandangan gue agar gak bersitatap dengan bola matanya yang sarat akan kekecewaan di sana. Gue gak bisa. Gue udah cukup banyak menanggung rasa bersalah.

"Dys, kalau gue ada salah-"

"Gak. Lo gak ada salah apa-apa. Gue emang lagi gak bisa ketemu lo. Tolong ngerti."

Gue bisa dengar suara helaan napasnya yang terdengar berat. Dia membuka topinya, mengusak rambutnya yang mulai panjang kemudian kembali menatap gue dengan tatapan seolah hanya gue objek yang bisa dia lihat.

"Kabarin gue kalau ada apa-apa."

Badan gue seketika bergetar saat tangan besarnya menyentuh telapak tangan gue yang dingin. Gue mamandangi punggung lebarnya yang melangkah menjauhi lift dengan rasa bersalah yang memenuhi setiap rongga dada gue.

Napas gue tercekat saat langkahnya berhenti secara tiba-tiba. Dari tempat gue berdiri sekarang, gue bisa melihat dia yang tertawa saat menoleh ke arah sesuatu-atau bahkan seseorang-yang sedari tadi menghantui pikiran gue. Seseorang yang gue cemaskan diketahui keberadaannya oleh Elang.

Lutut gue melemas saat Elang menoleh ke arah gue. Masih dengan senyum yang terlihat sangat dipaksakan dan tatapan terluka. Jauh di dalam lubuk hati gue, gue ingin mengejarnya. Gue ingin menjelaskan padanya kalau dia cuma salah paham. Apa yang dia liat dan dia pikirkan gak sesuai dengan kenyataannya.

Namun, gue tetap bertahan pada posisi gue. Membiarkan punggung lebarnya melangkah menjauh, yang perlahan hilang karena sosoknya udah masuk ke dalam mobilnya.

Gue hanya bisa menghela napas panjang kemudian mengembuskanya dengan susah payah. Setelah bergelut dengan batin gue sendiri, gue melangkah mendekati Audi hitam yang di dalamnya udah ada sosok yang menunggu gue sedari tadi.

"Nanti aku yang bilang ke Elang," katanya to the point saat gue baru aja mendudukkan bokong gue pada passanger seat di sampingnya.

"Gak usah," kata gue. Ya, gue pikir buat apa? Belum tentu dia bakal percaya.

"Nanti dia salah paham, Dys."

"Salah paham atas dasar apa? Kita berdua gak ada hubungan apa-apa."

Munafik.

Padahal dari tadi sampai sekarang lo gelisah gara-gara merasa bersalah karena udah bikin dia salah paham, Dys.

Alden kelihatannya gak mau ambil pusing-seperti biasanya. Dia memutuskan untuk meraih paper bag yang ada di jok belakang mobilnya kemudian menyerahkan itu pada gue. Kening gue berkerut saat membaca tulisan yang tertera pada paper bag putih itu.

Brand perhiasan.

"Ini apa?"

"Birthday gift."

"Tapi ulang tahun aku udah lewat?"

"Iya. Maaf baru sempat ngasih sekarang."

Rasa bersalah dan menyesal gak bisa dia tutupi lagi. Semua itu tercetak jelas pada tatapan matanya yang sejak tadi menatap gue sendu. Gue merogoh isi paper bag itu dan mengeluarkan sebuah kotak kecil hitam beludru. Dengan degup jantung yang tiba-tiba aja jauh lebih cepat dari biasanya, gue membuka kotak itu.

Dan seketika tubuh gue membeku untuk sekian detik.

Kalung dengan liontin burung merpati.

"Kamu gak harus pakai kalau gak mau. Cukup simpen aja di laci, lemari, atau di manapun yang menurut kamu aman."

"Aku gak bisa nyimpen itu, apalagi ngasih ke orang lain. Ada nama kamu di sana."

Napas gue seketika tercekat. Dengan tangan yang sedikit bergetar, gue memberanikan diri buat membuka liontin itu. Dan benar, ada ukiran inisial nama gue di sana.

Gue ingat dulu, sewaktu gue nemenin Alden nyari kado ulang tahun buat nyokapnya-pulang tahun terakhirnya sebelum beliau pulang ke pangkuan Tuhan-gue sempat memandangi kalung ini beberapa menit. Gue benar-benar jatuh cinta pada pandangan pertama saat melihat kalung ini dipajang dengan indahnya di manekin. Keinginan untuk membelinya jelas ada, tapi begitu mengingat saldo ATM gue yang hanya tersisa buat makan seminggu membuat gue harus mengubur keinginan gue itu dengan berat hati.

Makanya saat melihat kalung ini bisa ada di genggaman gue, gue merasa takjub bukan main. Terlebih, saat mengingat siapa yang memberikannya.

Alden.

Rasanya masih sulit dipercaya kalau Alden yang memberikan ini untuk gue.

"Selamat ulang tahun, Dys. Semoga tahun ini banyak hal-hal baik yang menghampiri."

"Thank you, aku harap kamu juga."

Gue benar-benar kehabisan kata-kata. Seberapa keraspun gue berusaha mencerna situasi saat ini, semuanya masih sulit dipercaya. Bahkan, menatap Alden saat ini pun gue gak bisa, tepatnya gak berani. Karena lagi-lagi... gue merasa asing dengan sosok yang sekarang duduk di samping gue-yang gue tebak tengah memerhatikan gue.

Mungkin, jika perasaan gue untuknya masih sebesar dulu, gue udah menangis terharu sekarang. Mendapat hadiah dari orang yang paling berarti buat gue selain keluarga gue rasanya pasti sangat membahagiakan. Bukannya sekarang gue gak bahagia, gue bahagia kok, tapi cuma sebatas itu. Rasanya gak sespektakuler yang gue bayangkan sebelumnya.

Karena perasan gue untuk Alden... mungkin udah gak sebesar itu.

Atau mungkin udah gak ada.

"Coba hubungin Elang, aku yakin dia pasti salah paham."

"Biarin aja."

"Dys, please stop denial."

Kalimatnya itu berhasil membuat gue menoleh ke arahnya. Tepat seperti dugaan gue, sekarang dia tengah menatap gue dengan tatapan yang terlihat jauh lebih lembut dari biasanya. Alden punya tatapan mata yang tajam dan mengintimidasi, tapi saat ini tatapan itu seoalah hilang entah ke mana.

Denial katanya. Ya, gue ngaku kalau selama ini gue emang denial. Entah udah berapa kali gue menyangkal perasaan gue untuk Elang karena merasa gue gak pantas punya perasaan itu di saat gue sendiri belum selesai dengan masa lalu gue.

Gue tau ke-denialan gue ini pada akhirnya akan menjadi bumerang untuk diri gue sendiri.

"Selasa depan dia sidang bareng Raiden. Aku pikir dia butuh support kamu."

Gue terkejut mendengar perkataan Alden. Selasa depan? Artinya dua hari lagi? Jadi... dia ke sini mau ngabarin gue soal itu? Dan di saat dia butuh support kayak gitu, gue malah mengusirnya pulang?

Gladys, kebmana hati nurani lo?

Malam itu, gue berakhir dengan menelepon nomornya puluhan kali. Sampai jarum jam menunjuk angka dua dini hari, gue belum juga memejamkan mata dan terus mencoba menghubungi Elang. Namun, yang terdengar tetaplah suara operator yang mengatakan bahwa nomor Elang nggak aktif saat ini.

Entah udah berapa banyak makian yang gue keluarkan untuk diri gue sendiri, gue gak menghitungnya. Gue memeluk kedua lutut gue, menengalamkan seluruh wajah gue ke dalam sana kemudian menangis tanpa suara.

Gue benar-benar orang paling jahat sedunia.

***

Gue berlarian menysuri koridor fakultas yang sangat asing buat gue karena hampir gak pernah gue kunjungi meskipun Raiden adalah salah satu anak fakultas bermakara biru ini. Pandangan gue mengedar ke segala arah, mencari sosok yang dua harian ini gak gue temui. Gue hampir putus asa mencarinya kemana-mana. Gue udah mengunjungi semua tempat yang memumgkinkan untuk dia singgahi. Apartemennya, Geez, studio 519, bahkan rumah-rumah sahabatnya udah gue datangi. Namun, gue tatap gak bisa menemuinya di mana pun.

Untuk itu, hari ini gue rela bolos kelas demi menghadiri sidang skripsinya yang dikabarkan akan berlangsung kurang lebih satu jam lagi. Gue benar-benar gak kenal siapa-siapa di sini. Cuma bisa celingak-celinguk persis seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Gue gak berhenti merapalkan doa dalam hati supaya bisa menemukan sosoknya secepat mungkin. Supaya permintaan maaf ini segera gue utarakan.

"Gladys?"

Gue menoleh dengan antusias saat mendengar seseorang menyerukan nama gue, tapi sepersekian detik kemudian bahu gue melemas karena bukan sosoknya yang gue dapatkan.

"Lo Gladys 'kan?"

Gavin, teman baiknya Elang dan Raiden. Gue gak pernah berkenalan secara resmi sama dia, cuma sempat bertemu beberapa kali. Dia gak terlihat ramah dengan orang baru.

"Eh, iya, Kak," jawab gue canggung.

"Nyari siapa? Raiden? Atau... Elang?"

Dia kelihatan hati-hati saat menyebut nama Elang. Gue seratus persen yakin kalau dia tau di antara gue dan Elang baru aja terjadi sesuatu yang gak baik-baik aja.

Belum sempat gue menjawab, pengelihatan gue berhasil menangkap sosok cowok dengan balutan kemeja putih dan celana bahan hitam melangkah ke arah gue dan Gavin. Sebelah tangannya mencengkram tali ranselnya yang hanya disampirkan pada sebelah bahunya, sebelahnya lagi dia masukan ke dalam saku celananya.

Ekspresinya sama sekali gak kelihatan bersahabat. Ada kerutan di dahinya saat tatapan mata kami bertemu. Baru aja gue hendak menyapa, dia udah terlebih dulu berbelok menuju ruang sidang tanpa mengucapkan apa-apa.

Gue dicampakkan.

Dan gue merasa pantas untuk mendapatkannya.

"Lo nunggu di Kantek aja, Dys. Elang masih lama banget pasti. Atau lo mau gue anterin ke fakultas lo? Ayok lewat Teksas aja biar cepet," Gavin melihat jelas gimana Elang melengos begitu aja saat bersitatap sama gue. Dan gue yakin dia pasti lagi mengasihani gue sekarang.

"Gak usah, Kak, gue bisa sendiri kok. Tolong kabarin gue kalau Elang udah selesai, ya, Kak. DM IG aja, gue on terus kok," kata gue sebelum akhirnya melangkah menjauh.

Gue memutuskan untuk ke perpusat dan menghabiskan waktu dengan merenung di tengah-tengah rak buku yang menjulang tinggi. Gue memilih spot paling pojok yang syukurnya gak ada yang isi saat itu. Entah udah berapa kali gue memandangi layar ponsel gue yang kini menampilkan room chat gue dengan seseorang yang sejak semalam belum juga membaca pesan yang gue kirimkan. Gue tau gue gak berhak untuk marah dan merasa kecewa mengingat apa yang udah gue lakuin ke dia.

Dua jam berlalu, dan gue belum juga dapet chat masuk dari Elang ataupun Kak Gavin. Baterai ponsel gue tinggap sepuluh persen, dalam hitungan menit juga mati. Gue sedikit menyesal minjemin power bank gue ke Sion buat dia bawa ke Lembang kemarin, anaknya belum pulang padahal janjinya pulang pagi ini. Gue merogoh tas gue untuk mengambil charger, tapi ternyata benda itu gak ada di dalam sana.

"Ahhh, sialan!"

Kenapa gue anaknya pikunan banget, sih?

Gue menelungkupkan kepala gue pada meja dengan menjadinkan tiga tumpuk novel yang gak gue baca sama sekali sebagai alasnya. Duduk di bawah AC dan spot paling pojok yang jauh dari lalu lalang orang membuat gue diserang oleh rasa kantuk. Gue mencoba untuk tetap terjaga, takut tau-tau ada telepon masuk dari Elang atau DM Kak Gavin, tapi sialnya mata gue berkhianat.

Akhirnya gue beneran tertidur dengan posisi memegang ponsel yang saat itu menampilkan sebuah direct message dari orang yang gue tunggu-tunggu.

gavinobaskara: Dys, lo dimana? Elang udah selesai

Sayangnya gue udah keburu berkelana di alam mimpi.

***

Elang



Gue melangkah menelusuri koridor fakultas gue untuk mencari sosok yang sejujurnya masih ingin gue hindari. Namun, mendengar cerita Gavin yang mengatakan kalau dia nunggu gue selama dua jam lebih seorang diri, dan mengingat gimana rasa bersalah itu tersorot dari tatapan matanya saat kami bertemu di koridor tadi, gue yang pada dasarnya emang lemah kalau udah berurusan sama dia gak bisa apa-apa lagi selain menghampirinya.

Gue udah mencarinya ke mana-mana, tapi sosoknya gak berhasil gue temukan. Teleponnya gak aktif dan itu berhasil membuat gue semakin gelisah.

"Lah, gue kira dia nyamperin lo? Dia bolos kelas hari ini karena mau nemuin lo katanya. Gue baru kelar kelas, belum ketemu dia."

Seketika bahu gue melemas saat mendengar penjelasan Keisha. Ada setitik rasa bersalah yang menyelinap masuk ke dada gue. Rasa bersalah itu kian membesar saat gue gak berhasil menemukan sosoknya dimanapun.

Gue pikir dia udah pulang ke apartemennya. Gue memutuskan untuk melangkah ke parkiran sebelum akhirnya satu pesan masuk dari seseorang yang berhasil membuat gue bernapas lega.

Brian

Gladys di perpusat

Lagi tidur anaknya

Tanpa membuang waktu lagi gue langsung memutar langkah menuju gedung perpusat tempat di mana sosok yang gue cari-cari itu berada. Sesampainya di sana, gue berpapasan dengan Brian di pintu masuk.

"Di pojok, di bawah AC," katanya saat kami udah berdiri berhadapan.

Setelah menepuk bahunya dan mengucapkan makasih, gue langsung melangkah menghampiri meja paling pojok yang diduduki sesosok perempuan yang sedari tadi gue cari-cari. Benar, dia ada di sana. Duduk sambil menelungkupkan kepalanya di atas meja perpustakaan yang dingin. Rasa bersalah itu kian menguak saat raut lelahnya berhasil gue lihat dari dekat.

Perlahan, tangan gue bergerak untuk menepikan helaian rambut yang menutupi separuh wajahnya. Begitu helaian napasnya menerpa tangan gue, ada sengatan aneh yang membuat gue seperti tersetrum. Kelopak matanya bergerak, dia menggeliat kecil, sebelum akhirnya mata yang selalu terbentuk seperti bulan sabit saat tersenyum itu prrlahan terbuka.

"Lang?"

Kenapa buat sekedar menyahut aja rasanya susah banget?

Dia mengangkat kepalanya dari atas meja. Merapihkan helaian rambutnya yang sedikit berantakan sambil bercermin pada layar ponselnya yang gelap. Setelah itu, pandangannya teralih ke arah gue. Menatap lamat-lamat bola mata gue dengan sorot penuh rasa bersalah yang entah kenapa gue gak suka melihatnya. Padahal sejak pertemuan terakhir kami, gue merasa sangat kesal dengan dia yang tiba-tiba menyuruh gue pulang hanya karena dia mau ketemu sama mamtannya itu.

Gue marah. Gue sempat merasa kecewa. Namun, kalau diingat-ingat lagi, apa gue punya hak untuk merasa kayak gitu?

Gue bukan siapa-siapa.

"Maaf."

Cuma satu kata. Satu kata yang sejak kemarin ingin gue dengar keluar dari mulutnya. Karena sekuat apapun gue mengelak, gue tetap merasa kalau tindakannya kemarin salah.

"Gue tau mungkin gue gak berhak buat dimaafiin, tapi, Lang, gue tulus mau minta maaf."

"Buat apa?"

Ada hening untuk persekian menit di antara kami berdua. Gue bisa liat dia meremas ujung kemejanya yang mulai lecak, tanda kalau dia lagi cemas dan kebingungan.

"Kalau lo minta maaf buat tindakan lo yang ngusir gue tiba-tiba kemarin, gue maafin, tapi kalau lo minta maaf karena lo ketemu mantan lo lagi, gue rasa itu gak perlu. Itu hak lo buat ketemu siapa aja, gue gak punya kuasa buat ngatur-ngatur."

"Alden kemarin cuma mau ngasih barang. Kita bener-bener udah selesai, Lang. Maaf kalau menurut lo gue lagi mempermainkan lo, tapi demi Tuhan gue gak pernah bermaksud begitu."

Harusnya dia gak perlu menjelaskan apa-apa. Dia gak punya kewajiban untuk menjelaskan apapun pada orang asing kayak gue. Melihat dia yang seolah benar-benar menyesal akan apa yang terjadi beberapa hari lalu di apartemennya, dan dia yang mencoba meyakinkan gue kalau dia dan mantannya benar-benar udah berakhir, bohong kalau gue bilang gue gak senang.

Gue anaknya gampamg ge-er, dan tindakannya berhasil membuat gue ge-er.

"Ayok pulang. Udah sore banget," gue bangkit dari duduk gue dan membantunya membereskan buku-buku yang ada di hadapannya. Dia masih diam di tempatnya, memandangi gue yang lagi sibuk ngebalikin buku-buku ke dalam rak.

"Mau bengong sampe magrib?"

"Gue balik sendiri aja."

Lantas kening gue berkerut.

"Bukannya lo ke sini nyari gue? Kenapa jadi balik sendiri?"

"Gue ke sini mau ngejelasin soal yang kemarin sama lo, bukan mau minta anterin balik."

Gue menghela napas karena tiba-tiba aja gue merasa lelah. Gak tiba-tiba, sih, emang dari tadi gue capek. Cuma ngeliat dia yang kayak gini—masih dihinggapi oleh rasa bersalahnya—membuat seolah ada beban juga yang bertengger di bahu gue.

Gue tau kalau dia masih merasa bersalah. Karena itu tersorot jelas dari sorot matanya.

"Ya udah anggap aja gue yang mau nganterin lo balik."

"Gue merasa bersalah banget, Lang, sama lo."

Ya udah buat nebus rasa bersalah gimana kalau lo jadi cewek gue?

Karena emang pada dasarnya gue pengecut, jadi jelas permintaan itu gak pernah gue lontarkan.

Emang cupu.

"Kan lo udah minta maaf, Dys. Gue juga udah maafin. Lo gak perlu merasa bersalah."

"Ya, tapi 'kan-"

"Ya udah buat nebus rasa bersalah lo, balik sama gue."

Mendengar jawaban gue, dia hanya diam. Kepalanya mendongak untuk menatap gue. Sepersekian detik kemudian ada embusan napas berat yang dia ciptakan lalu akhirnya angkit dari kursi yang udah dia duduki selama berjam-jam itu.

"Kenapa, sih, soal pulang aja dibikin ribet?"

Dia gak menyahut dan terus melangkah mendahului gue. Gue bisa aja menyusulnya dan menyamai tempo langkahnya, tapi gue memutuskan untuk tetap berjalan di belakangnya. Memandangi punggung kecilnya yang entah perasaan gue aja, entah emang benar terlihat jauh lebih kecil dari sebelumnya.

Sesampainya di mobil dia masih bungkam dan sibuk dengan isi kepalanya sendiri. Gue hendak menyalakan tape mobil, tapi gak jadi karena takut dia merasa keberisikan. Akhirnya selama tiga puluh menit perjalanan kami berdua hanya diselimuti oleh keheningan.

"Udah sampe. Gak mau turun?"

Mobil gue udah berhenti di lobby apartemennya, tapi dia belum kelihatan ada tanda-tanda untuk turun. Gue yakin pasti masih ada yang mau di sampaikan.

"Gue mau nanya."

Ternyata benar 'kan?

"Iya gue jawab."

Butuh waktu sekitar tiga menit untuk dia benar-benar melontarkan pertanyaannya. Pertanyaan yang sebetulnya udah gue prediksikan dari lama kalau suatu saat akan keluar dari mulutnya.

Dan ternyata suatu saat itu adalah sekarang.

"Lo sama Alden di masa lalu.... ada masalah apa?"

Masa lalu gue dan Alden. Emang dari banyaknya cerita yang gue bagi sama dia, cuma itu yang belum gue ceritakan padanya. Bukan karena gue gak mau dan gak percaya sama dia, melainkan karena gue merasa itu bukan sesuatu yang perlu gue ungkit lagi. Dan lagi pula gue pikir Alden udah cerita sama dia, tapi melihat dia yang clueless begini, kayaknya belum.

"Bukan masalah besar kok."

"Tapi intinya ada masalah 'kan?"

"Iya. Sebenernya gak bisa disebut masalah gue juga. Ini masalah Alden sama perempuan di masa lalunya."

Dia menatap mata gue intens. Tatapannya seolah menuntut agar gue segera melanjutkan cerita gue.

"Alden temen SMP gue, Dys."

Reaksinya benar-benar sesuai dugaan. Mulutnya menganga, matanya melotot. Namun, hanya untuk sekian detik, ekspresi itu langsung berubah menjadi serius seperti semula.

"Waktu SMP ada cewek yang suka sama dia. Lo tau 'kan suka-sukaan anak SMP gimana? Masih masa-masa awal pubertas, masih menggebu-gebu deh."

"Cewek ini selalu ngintilin Alden. Lo tau sendiri cowok lo gimana, dia jelas risih diintilin kayak gitu. Tapi, cewek ini gak nyerah. Dia berusaha buat narik perhatian Alden sampe mereka bisa deket."

"Tapi sayang, sebelum mereka deket... si cewek udah keburu nyerah duluan. Dia udah terlalu lelah buat ngejar, tepatnya... dia udah terlalu lelah buat lari sepanjang hidupnya."

"Maksud lo..."

"Yes. She's gone."

Gue gak pernah suka menceritakan ini karena gue gak suka akan sensasi menyakitkan yang menyerang dada gue setiap kali gue mengingat atau membahas soal ini lagi. Bukan gue belum ikhlas, tapi lukanya emang belum sembuh benar.

"Namanya Kalula. Adik sepupu gue."

Lahir sebagai anak bungsu, seringkali gue berangan-angan buat bisa punya adik-tepatnya adik perempuan. Di antara adik sepupu gue yang lain, yang paling dekat dengan gue selain Windy ya Lula. Lula dua tahun di bawah Windy, tapi seringkali terlihat jauh lebih dewasa dari Windy.

Menjadi saksi gimana tergila-gilanya dia sama Alden dulu dan sama sekali gak pernah ditanggapin sama tuh cowok, jujur gue sempat berada di tahap muak. Kayak... anjir? Sok ganteng banget nih orang?

Gue udah sering banget nyuruh Lula move on, tapi gak pernah digubris.

"Dari kecil Lula emang udah sakit-sakitan. Dia punya kardiomiopati, tapi sama sekali gue gak pernah ngeliat dia ngeluh atau meringis kesakitan di depan gue, Dys. Dia anaknya kuat banget. Siapapun yang ngeliat dia pasti gak sadar kalau dia lagi sakit."

"Sayangnya gue lupa kalau setiap manusia punya batas kemampuannya masing-masing. Dan Lula udah berada di ambang batas itu. Dia udah terlalu lelah. Dia akhirnya menyerah."

"Lang..."

"Gue udah gak pa-pa. Waktu itu juga gue nyoba buat ngelepas dia dengan ikhlas. Alden malah yang kelihatan terpuruk banget sama kepergian Lula waktu itu."

Gue ingat saat pemakaman udah sepi, Alden masih berjongkok di samping pusara Lula dengan sebuket mawar putih di genggamannya. Menangis tersedu-sedu seolah sesuatu yang berharga untuknya telah direnggut dan dia merasa menyesal akan itu.

Gue yang saat itu hanya bisa memandanginya dari jauh mengepalkan tangan kuat-kuat. Jujur gue paling gak suka melihat orang menangisi penyesalan mereka. Ada rasa emosional tersendiri saat gue melihat itu. Dan melihat Alden menangis seolah dunianya hancur saat itu, gue seolah ikut merasakan sakitnya.

Dan saat itu gue sadar kalau Alden gak pernah benar-benar membenci Lula.

Dia hanya gak bisa mengekspresikan perasaannya dengan benar.

Karena dia gak terbiasa dengan kasih sayang yang diberikan orang lain untuknya.

Alden gak pernah mendapat kasih sayang utuh dari kedua orang tuanya. Itulah yang membuat dia kesulitan buat mencerna setiap kasih sayang yang orang lain berikan untuk dia.

Dan gue pikir... Gladys berhasil mengubahnya sedikit demi sedikit.

Meski pada akhirnya dia tetap menyia-nyiakannya.

"Kapan-kapan... gue boleh ngunjungin makam Kalula, nggak?"

"Tiba-tiba?"

"Gak tau, sih. Gue kepengen aja. Dari cerita lo, gue yakin dia pasti orang baik dan disayang sama banyak orang semasa hidupnya. Dia juga kayaknya berharga banget buat lo-dan Alden, mungkin."

"Boleh. Mau kapan?"

Matanya langsung berbinar begitu gue mendengar jawaban gue. Binar mata yang selalu berhasil menyejukkan gue.

"Weekend ini?"

"Okey. Nanti gue kosongin jadwal. Masuk, gih, istirahat."

Dia mengangguk kemudian bergerak untuk melepas seatbeltnya. Namun, sebelum tangannya meraih handle pintu, tatapan matanya kembali tertuju pada gue.

"Sekali lagi gue minta maaf ya, Lang. Gue bener-bener nyesel dan merasa bersalah sama lo. Sebenernya kalau lo mau marah sama gue, gue maklum kok. Cuma emang pada dasarnya aja gue egois. Gue takut lo jauhin gue padahal kayaknya gue pantes-pantes aja dijauhin lo karena kesalahan gue. Sekali lagi maaf. Maaf karena udah nyakitin lo. Maaf karena udah egois."

Iya benar.

Benar. Gue harusnya bisa aja marah karena merasa dipermainkan. Merasa dia terlalu egois. Merasa semua effort yang gue kasih selama ini sia-sia karena nyatanya sampai detik ini dia seolah masih menarik ulur gue. Gue emang gak mau memaksanya, tapi rasanya gue udah gak sanggup menunggu terlalu lama lagi.

"Let me to be yours then."

Anggap aja gue gila, karena sepertinya emang benar begitu.

Ekspresinya jelas kaget, tapi dengan cepat dia menyembunyikan raut keterkejutannya itu dan memusatkan pandangannya pada bola mata gue tanpa adanya rasa gentar sedikitpun di sana.

"Dengan begitu lo gak akan merasa egois karena sangat wajar kalau lo merasa takut kehilangan sesuatu atau seseorang yang emang milik lo."

Dan gue juga nggak akan ninggalin lo.

"You can push me if you don't wanna let me in."

Gue udah terlanjur kehilangan kewarasan gue, jadi mending sekalian aja lanjutin kegilaan lainnya. Kalimat terakhirnya benar-benar seperti mantera sihir bagi gue. Mantra yang berhasil memporak-porandakan perasaan dan akal sehat gue.

Dia seolah menginginkan gue. Meskipun dia masih diperdaya oleh keraguaan yang ada di benaknya.

Semenjak putus dari Rosela, gue merasa gak ada satupun orang di dunia ini yang menginginkan gue. Bahkan, gue pun gak menginginkan diri gue sendiri. Gue gak ingin hidup sebagai Erlangga Jevander. Gue merasa gak ada satu bagian dari dalam diri gue yang membuat seseorang betah untuk berada di dekat gue.

Karena kalau ada, Rosela gak akan pernah meninggalkan gue.

Kalau dia benar-benar menginginkan gue untuk menjadi bagian hidupnya, dia gak akan mengkhianati gue.

Ucapan Gladys berhasil menyentuh sisi paling sensitif dalam diri gue. Dan dampaknya adalah gue yang saat ini kehilangan kendali untuk mengontrol rasa emosional gue.

Tangan gue bergerak melepas seat belt yang masih mengikat tubuhnya. Mendorong pelan bahu keclnya sampai bersentuhan dengan pintu mobil. Menghimpitnya dengan deru napas yang udah gak beraturan.

Gak ada perlawanan apapun. Dia tetap pada tempatnya. Dia gak mencoba untuk mendorong gue yang kini udah meraih rahangnya dan mendekatkan wajah kami berdua.

Gue tegaskan sekali lagi, dia gak mendorong gue.

Bahkan saat kedua bibir kami bersentuhan, saat gue melumat bibirnya dengan sedikit brutal karena luapan emosi yang memenuhi setiap rongga dada gue dan sedang gue salurkan lewat ciuman penuh frustasi ini, dia gak mendorong gue sama sekali.

Di luar dugaan, dia malah memejamkan kedua matanya. Dia mengalungkan kedua tangannya pada leher gue yang sukses membuat dada gue ingin meledak.

Dan begitu bibir mungil itu terbuka, saat itulah gue tau kalau dia benar-benar menginginkan gue. Sama besarnya dengan keinginan gue untuk memilikinya yang kian hari kian membesar dan membuat gue kewalahan.

Malam ini gue benar-benar merasa menjadi manusia paling bahagia sedunia. Gak ada kata yang tepat untuk mendeskprisikan segimana bahagianya gue malam ini.

Sama seperti dia yang gak ingin gue meninggalkannya, gue juga berharap dia gak akan pernah meninggalkan gue.

Gue harap gue gak akan merasakan kehilangan lagi.

Terutama kehilangan seorang Gladysa Tasanee.

***

Aduh deg degkan nulisnya jujur.....

Makasih banyak buat yang masih mau baca cerita iniii. Akhir-akhir aku beneran lg ga bisa nulis long way home karena idenya suka kabur-kaburan dan ga tau knp ga mood buat lanjutin huhuuu maaaaf.

Tp liat notif viewers dan vote nambah aku jd merasa harus bertanggung jawab buat ngelanjutin sampe akhir selain itu juga aku kangen chanyeol seulgiiiiii HUHUUU.

Sekali lagi makasih banyak ya buat yang masih mau baca cerita iniii. Maaf kalau ceritanya makin lama makin ga jelas😭😭

- dee





Continue Reading

You'll Also Like

27.2K 3.8K 102
[Cerita Lengkap] ✔ Maaf kalau agak berantakan, sedang dalam tahap revisi 🐣 Kalau mau baca FOLLOW dulu dong 😗 . . _______ Apakah jodohmu itu adalah...
80.4K 9.1K 25
Ahn hye young harus mengurusi awal kandungannya seorang diri tanpa kekasihnya, ia tak pernah memaki hidupnya meski sesulit apapun. Meski banyak orang...
179 108 16
Ini bukan hanya tentang perjalanan kisah cinta yang penuh drama melainkan kisah para remaja yang ambis untuk menjadi seorang juara. Viola Nora Arasya...
33.3K 3.3K 27
[Longlist Wattys 2018] Ini bukanlah cerita cowok cuek tingkat kubik bertemu dengan cewek periang lalu si cowok meleleh dan akhirnya mereka bersama. B...