37 - THE VISIT/REVISITING

1.2K 112 7
                                    

Bali

Suara ketukan kaki Karan di atas lantai tenggelam di antara pekikan, seruan, serta obrolan manusia yang menyesaki terminal kedatangan internasional Bandar Udara Ngurah Rai. Dia bahkan tidak mampu mendengar degup jantungnya sendiri. Kepalanya berkali-kali menatap FIDS (1)—memastikan pesawat yang ditunggunya mendarat sesuai estimasi—sebelum kembali memusatkan perhatian pada pintu keluar dan memastikan pria yang dia tunggu bisa menemukannya dengan mudah.

Karan tidak bisa menggambarkan perasaannya sekarang. Meski dua tahun sudah berlalu sejak pertemuan terakhir mereka, semua yang dilakukannya bersama Egil di Porto masih terlalu kuat untuk dilupakan. Setelah menemui pria itu di bandara Francisco Sá Carneiro sebelum kepulangannya ke Oslo, hubungan mereka tidak pernah mengalami kendala. Keduanya sama-sama sadar, komunikasi adalah hal yang terpenting sekalipun ada perbedaan waktu antara Oslo dan Bali. Walaupun sejak Egil bekerja intensitas percakapan dan video call mereka berkurang, bukan berarti Karan maupun Egil lupa untuk saling mengabari.

Saat Egil memberitahu akan ke Bali sebulan lalu, Karan tidak sabar menanti hari ini. Setelah berulang-ulang membahas siapa yang harus mengunjungi pertama kali, ternyata Egil yang lebih mampu datang ke Indonesia. Karan tentu saja bersumpah akan menjadikan liburan Egil tidak terlupakan, seperti yang sudah dilakukan pria itu selama dia tinggal di Porto.

Karan semakin keras mengetukkan kaki saat mendengar pengumuman bahwa pesawat Egil baru saja mendarat. Semoga dia nggak tertahan lama di imigrasi, harapnya. Detik ini, rasa gugupnya terlalu besar hingga tangannya pun gemetar. Terlepas dari banyaknya yang sudah berubah dalam hidup mereka, tak sedikit yang bergeming meski waktu bukan hanya berjalan, tetapi berlari kilat. Yang dimilikinya bersama Egil adalah contoh nyata dari apa yang bisa diperbuat oleh waktu.

Senyum Karan berubah menjadi sebuah cengiran lebar saat matanya memperhatikan Egil melewati pintu otomatis. Dengan cepat, dia mengangkat lengan tinggi-tinggi, melambaikan tangan supaya Egil melihatnya. Mengenakan kemeja kuning pucat dengan garis vertikal biru, celana hitam, serta jaket yang disampirkannya di pergelangan tangan, tidak ada perubahan mencolok dalam diri Egil. Melihat wajahnya lewat layar laptop tetap tidak mampu mewakili bahagia yang menjejali benak Karan saat ini. Senyum yang tersungging di bibir pria itu seperti ingin memberitahu bahwa dia merasakan kebahagiaan yang sama. Karan segera menunjuk pintu keluar sebelum memisahkan diri dari kerumunan.

Begitu sampai di pintu keluar, Karan menunggu di antara sopir taksi yang berkumpul dan siap siaga dengan tawaran "Taxi, Mister. Transport!" yang begitu dikenalnya. Saat Egil melewati lorong yang menghubungkan area kedatangan dan pintu keluar, Karan menelan ludah. Dengan tolakan halus yang keluar dari mulut Egil saat sopir-sopir taksi menawarkan jasa mereka, langkahnya tidak berhenti sejengkal pun demi menghampiri Karan.

"Karan, I can't believe I'm here!"

Karan menggeleng pelan, tetapi senyum lebarnya belum juga memudar. "I'm glad you've come. I really am."

"Give me a hug!"

Dengan itu, Egil melepaskan tangannya dari pegangan koper yang sedari tadi diseretnya dan segera menarik tubuh Karan. Menghapus jarak di antara mereka.

"Apa kabar, Karan?" tanya Egil sambil mendekap Karan begitu erat.

Jawaban "I'm fine," yang diberikan Karan terdengar seperti gumaman karena selain keramaian yang mengelilingi mereka, debaran jantungnya tidak kalah keras menenggelamkan suaranya sendiri. Dia mengeratkan pelukan, menghidu dalam-dalam aroma tubuh Egil. Untuk sesaat, Karan memejamkan mata, menikmati kontak fisik mereka setelah dua tahun. Selepas pelukan terakhir mereka di bandara, Karan merindukan ini dari Egil. Lengan pria itu masih sekokoh dulu saat memeluknya.

AS TIME GOES BYWhere stories live. Discover now