11 - THE SIGNS

3.3K 344 31
                                    

Mata Karan tidak lelah memandang sungai Douro yang membelah Porto dengan anggunnya. Bangunan-bangunan di kedua sisi sungai yang semarak dengan warna, bentuk, serta fungsi, menjadikannya pemandangan favorit Karan sejak Deniz menunjukkannya pada awal kedatangannya di Porto. Jardim Do Morro menjadi taman yang selalu ditujunya setiap akhir pekan—jika cuaca cerah tentu saja—dan dia bisa menghabiskan seharian dengan menulis serta mencari ide. Keriuhan di sekelilingnya atau pun deru suara metro yang memang memiliki stasiun tepat di dekat taman ini, tidak cukup kuat untuk meredam suara-suara di pikirannya.

Selepas makan siang, Karan memutuskan ke Jardim do Morro karena langit tiba-tiba cerah setelah sepagian mendung. Cuaca yang mulai menghangat membuat Karan tidak melewatkan kesempatan untuk menikmatinya. Sudah hampir dua jam duduk di bawah satu pohon yang selalu menjadi tujuannya dan notebook-nya sudah penuh dengan coretan-coretan ide yang mendesak untuk dituangkan. Lacunae—cerita yang ditulisnya beberapa bulan sejak hubungannya dan Oscar berakhir masih rajin di-update-nya, meski niat untuk mengabaikannya begitu kuat. Ada banyak ide yang menghampiri, tetapi meramunya hingga menjadi sebuah cerita, Karan menemui kesulitan. Karan akui, hubungan singkatnya dengan Oscar adalah masa-masa dia menjadi sangat produktif karena obrolan mereka selalu bisa menstimulasi sisi kreatifnya. Semua pengalaman yang didapatnya sejak meninggalkan Bali masih belum punya kekuatan yang sama seperti yang dimiliki Oscar.

Karan mengembuskan napas sebelum menutup notebook. Dengan lembut, diusapnya kutipan Hellen Keller serta inisial nama penanya yang tertera di bagian depan buku bersampul kulit itu. Hubungan yang berlangsung singkat ternyata bukan jaminan melupakannya akan jadi hal mudah.

Ponsel yang diletakkannya di dalam tas bergetar hingga menimbulkan suara yang menginterupsi lamunannya. Kening Karan mengerut melihat nama yang tertera di layar sebelum senyumnya mengembang.

"Egil."

"Hey, Karan, how are you doing today? Such a beautiful day, isn't it?"

Karan mengangguk. "It is. And I'm enjoying the sun at the moment," balasnya. "Kamu baru bangun tidur?" tanyanya sambil melirik jam tangan di pergelangan tangan kirinya. Setengah empat sore. Karan tidak mampu menahan gelak saat terdengar erangan Egil. Sejak mereka bertukar kontak tiga hari setelah pertemuan pertama di apartemen Egil, pria itu tidak pernah absen menanyakan tentang kabar Karan dan pertanyaan-pertanyaan sederhana lainnya.

"Kamu punya telepati atau semacamnya? Bagaimana kamu tahu aku baru bangun?"

"Suara kamu kedengeran jelas seperti orang yang males buat ngomong tapi dipaksain."

Didengarnya gelak Egil sebelum dia berkata, "Kamu memangnya bangun pukul berapa?"

"Sekitar setengah delapan."

Egil mendengus keras. "Apakah semua orang Indonesia bangun sepagi itu di akhir pekan atau cuma kamu?"

Karan tidak mampu menahan senyum lebarnya. "Kamu tidur larut, ya?"

"I went to bed at 4 and then got up at 9. Because I need my beauty sleep, I went back to bed."

Karan berdecak. "Jadi kamu nggak sarapan dan makan siang?"

"I really don't know you can be this attentive, Karan, I'm touched. For your information, my stomach has been screaming in agony. Where are you? I heard noises."

Karan menghela napas sembari menyandarkan punggung ke pohon di belakangnya. "Lagi di Jardim do Morro."

"Baru kali ini aku mengenal seseorang yang mengunjungi taman dan menjadikannya tujuan utama setiap akhir pekan. Apa kamu tidak bosan?"

Karan menggeleng, tetapi sadar kalau Egil tidak bisa melihatnya. "Nope."

Ada decakan yang didengar Karan hingga membuatnya kembali tidak mampu menahan senyum tipisnya. "Kamu masih lama di sana?"

AS TIME GOES BYWhere stories live. Discover now