2 - KARAN'S AVIOPHOBIA

9K 558 54
                                    


Dua puluh tiga bulan yang lalu ...

Seorang pria bertopi kep biru tua memiringkan tubuhnya untuk berjalan di lorong pesawat sambil menenteng weekender Brics berwarna cokelat muda. Menghindari beberapa penumpang yang masih sibuk mengatur barang bawaan, matanya tidak beralih dari nomor-nomor yang tertera di atas kursi. Begitu menemukan nomor yang dicari, dia memastikan sekali lagi bahwa angka yang sedang ada di hadapannya sesuai dengan yang tertera di boarding pass. Setelah memasukkan lembaran kertas ke dalam saku kemeja, dia segera meletakkan tas ke dalam overhead compartment.

"Excuse me."

Karan mengangkat wajahnya yang tertekur. Jemarinya sedang memilih playlist yang akan dia dengarkan selama penerbangan saat telinganya menangkap permintaan singkat dari pria yang berdiri di sebelah tempat duduknya.

"My seat is over there," tunjuknya ke kursi yang berada di dekat jendela sambil tersenyum ramah.

Karan hanya mengangguk sebelum bangkit dari kursi yang berdekatan dengan lorong. Hampir seluruh penumpang sudah menempati tempat duduk masing-masing, terlepas dari beberapa orang yang masih sibuk mengambil atau mengembalikan sesuatu ke dalam tas yang mereka letakkan di overhead compartment. Setelah pria yang menginterupsinya menemukan posisi duduk yang nyaman, Karan kembali duduk.

Dia bertanya dalam hati bagaimana tubuh jangkung pria di sebelahnya bisa tahan duduk tanpa mampu menggerakkan kaki dengan leluasa. Jarak antara seat di pesawat ini tidak bisa dibilang luas. Penerbangan dari Kuala Lumpur menuju Denpasar memang tidak lebih dari tiga jam, tapi jika badan Karan lima belas sentimeter lebih tinggi, dia tidak akan sabar menanti pesawat mendarat atau memilih tempat duduk dengan leg room yang lebih luas.

Karan memasang kembali sabuk pengaman sebelum dilanjutkannya memilih playlist yang sempat tertunda saat mendengar sebuah gumaman pelan. Dari sudut matanya, dia menangkap pria di dekat jendela menopang dagu, sementara pandangannya tidak lepas dari gumpalan awan pekat yang menggantung di langit Kuala Lumpur sejak pagi tadi. Bahkan gerimis sempat mewarnai perjalanan Karan menuju bandara dari hostelnya di daerah Bukit Bintang. Begitu selesai check-in, dia segera membuka aplikasi prakiraan cuaca di ponsel dan desah khawatir lolos dari mulutnya. Dengan panik yang makin bertambah, Karan memberanikan diri bertanya kepada petugas maskapai tentang kemungkinan ditundanya penerbangan akibat cuaca buruk. Kepastian yang didapatnya—pesawat akan tetap berangkat sesuai jadwal—membuat Karan semakin resah.

Announcement yang dikumandangkan kapten pesawat, kemudian safety demo yang diperlihatkan lewat video tetap tidak mempan mengalihkan pikiran Karan. Jantungnya berdegup tidak beraturan ketika dirasakannya pesawat mulai bergerak pelan. Dengan cepat Karan memasang earphone lalu menekan tombol play. Suara Paul Simon yang tidak pernah gagal menentramkan gelisahnya, kali ini dikalahkan oleh rasa takut. Karan menarik napas dalam dan mulai menghitung berbarengan dengan embusannya, teknik yang dipercaya banyak orang mampu mengurangi gugup serta panik. Memejamkan mata, jemari Karan mencengkeram sandaran lengan dengan erat. Saat dirasakannya pesawat bersiap take off, Karan menguatkan pejaman mata. Pikirannya mulai dipenuhi kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bisa menimpa pesawat ini. Aku harusnya nggak menuruti saran Alya untuk pergi ke KL, sesal Karan dalam hati. Keringat mulai mengaliri lengan dan punggungnya, terlepas dari suhu di dalam pesawat yang cukup dingin.

Dengan satu helaan napas panjang, Karan membuka mata setelah dirasanya pesawat berada dalam posisi stabil. Dibasahinya tenggorokan begitu melihat lampu tanda sabuk pengaman padam, tapi dibiarkannya benda itu terpasang di pinggang. Karan menjadikan celana hitamnya sasaran untuk mengeringkan telapak tangan yang basah oleh keringat, serta meredakan sedikit nyeri akibat memegang lengan kursi terlalu kencang.

AS TIME GOES BYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang