13 - LOVELY SURPRISE

2.6K 307 10
                                    

"KarJo!!! Gue kangeeen!"

Karan terpaksa harus menjauhkan ponsel yang dia pegang saat teriakan Zola menyambutnya. Sejak menerima pesan Zola tadi pagi, Karan bergegas menuju kantor agar bisa menggunakan internet di sana. Pekikan Zola langsung didengarnya setelah dua kali nada dering. Karan mengakui, sudah cukup lama dirinya dan Zola tidak saling mendengar suara satu sama lain. Selama ini komunikasi mereka hanya melalui instant messenger. Maka dari itu, Karan tidak bisa menyembunyikan senyum lebarnya sekalipun harus meringis karena saking kerasnya suara Zola.

Karan berdeham. "Kamu lagi di mana? Nggak ada yang nutupin telinga mereka karena denger kamu teriak sekenceng itu, kan?"

"Emang gue pikirin? Masa bodo! Eh, apa kabarnya temen gue ini? Sejak terakhir kita ngobrol, udah ada calon buat lo bang belum?"

"Zola, kita ini Whatsapp-an nggak setahun sekali, ya? Kamu tahu aku baik-baik aja." Karan sengaja tidak menanggapi pertanyaan terakhir Zola karena sudah hafal dengan apa yang akan didapatnya. "Lagian, Maia pasti laporan ke kamu, kan?" lanjutnya.

"Maia kan laporan soal kerja lo KarJo, bukan soal kehidupan pribadi lo. So, jawab pertanyaan gue. Udah ada cowok yang jadi korban lo atau belum?"

Karan menggeleng sembari mengeluarkan laptopnya dari dalam tas dan mencari earphonet agar dirinya tidak perlu menempelkan ponsel ke telinga. Dia langsung menariknya begitu menemukannya di dasar tas. Dengan cekatan, Karan memasang kedua penyumbat telinga itu kemudian meletakkan ponselnya di atas meja.

"Kamu tahu aku nggak suka begitu—" jawab Karan begitu dia memutar kursi dan memandang langit biru dari balik jendela yang dia buka lebar-lebar.

Karan mendengar dengusan Zola, bahkan sebelum dia menuntaskan kalimatnya. "Itu karena di Bali lo masih jaga imej. Lo kan punya banyak temen di sini, apalagi temen-temen kerja lo, jadi gue paham kalau lo takut ketahuan. But you're in Portugal now, darling. Nggak bakal ada yang peduli kalau lo mau nge-bang berapa kali semalem atau ganti cowok tiap hari. Lo jadi orang alim banget sih? Atau perlu gue daftarin lo ke kelas khusus supaya lo jadi sedikit liar gitu?"

Sekarang Karan benar-benar tidak mengerti kenapa sahabatnya—yang sangat diyakininya mengenalnya dengan baik—begitu bertekad agar dia mengubah sesuatu hanya karena sudah tidak tinggal di Bali lagi.

"Aku tutup teleponnya kalau kamu cuma ngasih ceramah basi kayak gitu."

Karan mendengar decakan Zola. "Nggak cuma alim, lo sekarang jadi sensi gitu. Lo lagi dapet atau gimana sih? Sewot amat. Jangan bilang kalau lo masih mikirin cowok nggak tahu diri itu."

Zola memang tidak pernah menyebut nama Oscar lagi, tetapi selalu menggunakan sebutan lain yang sangat tidak enak didengar. Pagi ini sebutannya untuk Oscar jauh lebih beradab daripada biasanya. Yang tidak Zola tahu dan tidak ingin Karan beritahukan, dia sudah mematikan post notification akun Oscar di Instagram, hingga jika pria itu mengunggah sesuatu, dirinya tidak akan tergoda untuk langsung membuka Instagram.

"Zola ...."

"Okay, fine! Gue cuma mau ngabarin kalau gue jadi ke Porto. Visanya baru diurus dua hari lalu, jadi begitu dapet, gue bakal langsung pesen tiket. I'm coming to Porto, baby!"

Keterkejutan Karan yang langsung meloncat dari kursi yang didudukinya bisa saja menimbulkan panik bagi siapa pun yang melihatnya. Namun karena masih sendirian di kantor, dia bebas dari tatapan khawatir. Dia menyeret kakinya menuju jendela hingga bisa merasakan matahari pagi dan semilir angin menyentuh wajahnya. Sudah dua kali Zola menyebut Porto, tetapi tidak pernah ada kelanjutan atau kepastian hingga Karan pun tidak ingin terlalu berharap. Kabar yang baru didengarnya jelas membuat senyumnya mengembang lebar.

AS TIME GOES BYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang