3 - SERENDIPITY

5.5K 500 50
                                    


Jam dinding di kantor Front Office baru saja melewati pukul satu dini hari. Kesunyian malam itu hanya dipecahkan oleh suara ketukan pulpen Karan di atas meja. Lembar demi lembar laporan night audit untuk setiap departemen di Wuluh Tirta baru saja selesai dia cetak dan Karan sudah menyusunnya dengan rapi. Sudah lebih dari lima menit matanya membaca jadwal kerja untuk bulan Agustus serta menghitung berapa shift malam yang diberikan Alya—team leader Front Office—untuknya. Mendapatkan graveyard shift—istilah yang populer digunakan bagi mereka yang bekerja di malam hari—justru sangat disukai Karan. Bahkan tidak jarang, Karan meminta Alya agar memberikannya lebih banyak shift malam dibanding staf lain karena dirinya bisa dengan tenang menulis. Tidur pukul tujuh malam dan bangun tiga jam kemudian adalah kebiasaan yang dilakukan Karan setiap mendapat jadwal malam agar tidak mengantuk atau parahnya, tertidur saat bekerja.

Suara Made—security Wuluh Tirta—terdengar di radio dua arah, memberitahukan ada tamu yang akan segera menuju lobi. Karan langsung membalasnya singkat lalu beranjak dari kursi dan bergegas menuju lobi. Hanya dalam hitungan detik, Karan sudah berada di balik meja resepsionis sementara lampu depan mobil yang menyorot ke arah lobi secara otomatis membuat senyumnya terpasang. Mengenakan kemeja berwarna putih telur dengan kerah mandarin, udeng, serta celana panjang hitam—yang hanya bisa dipakainya setiap dia masuk malam—Karan menyiapkan kunci vila nomor 14 yang sengaja dititipkan di lobi di atas meja.

Menyembunyikan keterkejutannya di balik senyum yang semakin melebar, Karan menatap seorang wanita yang berjalan menuju tempatnya berdiri. Diperhatikannya pria yang berjalan bersama tamu hotel tanpa sekalipun menunjukkan debaran jantung yang semakin tidak teratur.

Tanpa diminta, Karan mengulurkan kunci dengan gantungan ukiran kayu kepada Angelyn, wanita yang menempati vila nomor 14.

"Bli, bisa tolong besok saya dibangunin pukul tujuh? Saya tadi udah bilang sama Mbak Alya, tapi saya mau mastiin lagi aja supaya nggak lupa," pinta wanita bergaun hitam semata kaki dengan rambut yang digerai bebas sambil menerima kunci dari Karan.

"Sudah dicatat Alya di log book, Mbak, tapi saya pastikan wake-up call Mbak Angie tidak akan terlewat."

"Should I take you to your room?" tanya Oscar sambil memandang wanita di sebelahnya. Jelas sekali Oscar mengulum senyum.

Angelyn menggeleng. "It's okay. Thank you for the lovely dinner, though. See you tomorrow?"

Oscar mengangguk kemudian mencondongkan tubuhnya untuk memberikan kecupan di kedua pipi Angelyn. "Have a good rest, beautiful."

"Hati-hati pulangnya," pesan Angelyn setelah membalas kecupan Oscar. "Malam, Bli."

"Malam, Mbak Angie."

Begitu suara sepatu berhak tinggi yang dikenakan Angelyn terdengar semakin jauh, Oscar meluapkan apa yang sedari tadi ditahannya. Senyumnya. Dengan satu gerakan pelan, Oscar meletakkan satu tangannya dia atas meja sementara membiarkan tangan yang lainnya tersimpan di balik saku celananya.

"What a coincidence!"

Sulit bagi Karan untuk tidak ikut tersenyum melihat pria yang ditemuinya hampir dua bulan lalu berdiri di depannya. "Apa kabar, Oscar?"

"Jadi film-filmnya udah dilihat belum?"

Karan tergelak pelan mendapati Oscar menepati janjinya untuk tidak mengajukan bagaimana kabarnya jika mereka bertemu lagi. "Saya masih belum sempat."

Oscar mengetukkan jarinya pelan di atas meja jati sambil menggelengkan kepala. "Satu film?"

Karan menggeleng. "Belum satu film pun yang kamu rekomendasikan saya tonton," jawab Karan sambil menggunakan ujung sepatu untuk mengukur betisnya yang tiba-tiba terasa gatal.

AS TIME GOES BYWhere stories live. Discover now