8. Takdir Siren

2 1 0
                                    

Kemarin, patung itu masih ada di sini. Berdiri kokoh di atas karang besar di pinggir laut. Orang-orang selalu membicarakannya. Namun sekarang, patung itu menghilang tanpa meninggalkan jejak. Bahkan, tidak ada seorang pun yang mengingat sebuah patung fenomenal yang sering dibicarakan itu.

Aku menatap lurus karang besar tempat patung itu dulunya berada sampai kemarin. Ya, hanya sampai kemarin saja.

"Sekarang aku mengingat semuanya, tapi kenapa kamu malah menghilang?" 

Aku meninggalkan tempat itu dengan langkah berat. Seakan kaki tidak ingin beranjak dari sana. Namun, kupaksakan kaki ini terus melangkah hingga berhenti di depan sebuah kedai teh.

"Ah, jadi ini kedai teh yang dimaksud itu," gumamku seraya menatap plang nama kedai teh tersebut.

Aku mendorong pintu itu, bunyi lonceng menyambut kedatanganku. Seorang wanita terlihat duduk santai di samping jendela dengan angin sepoi yang menerbangkan rambutnya.

"Maaf, apakah saya mengganggu?" tanyaku pelan.

"Tidak sama sekali," jawabnya dengan seulas senyum.

Aku mengangguk pelan sebelum memperkecil jarak dengannya yang duduk dengan kaki tersilang di kursi berbahan rotan.

"Silakan duduk," ucapnya lagi.

Aku mendudukkan diri di depan wanita yang dikenal dengan nama Senja itu. Dia menuangkan teh lalu menyodorkan gelas itu padaku.

"Silakan diminum saat kamu siap memulai cerita," ucapnya lagi.

Aku mengangguk mengerti kemudian menyesap teh hijau itu. "Patung itu hilang," ucapku setelah meletakkan gelas itu kembali di atas piring.

"Patung apa?" tanyanya heran.

"Patung siren di tepi laut," jawabku seadanya.

Dia membalas pernyataanku dengan sebuah anggukan pelan. "Saya sepertinya tahu patung itu. Bagaimana dia bisa menghilang?"

"Saya juga tidak tahu, Nona Senja, tetapi saya akan ceritakan tentang patung siren itu."

***

Aku mulai bercerita tentang patung siren di pinggir laut itu berbekal dengan ingatanku di kehidupan yang lalu.

Awal mula, aku adalah seorang gadis miskin yang sering mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari keluarga angkatku. Kedua orang tua serta Kakakku telah meninggal karena kecelakaan. Aku terpaksa tinggal bersama Paman dan Bibi yang sejatinya hanya menjadikanku sebagai seorang pesuruh yang membersihkan rumah lengkap dengan pekerjaan lainnya.

Mereka kadang sering bertindak kasar dan semena-mena, tetapi aku tidak bisa melakukan banyak hal. Aku tidak memiliki tempat untuk bernaung selain di sana. Sebisa mungkin aku bertahan di tempat yang mungkin dapat disebut sebagai neraka. Hingga akhirnya, aku lelah dan putus asa juga.

Perlahan, aku menjejakkan kaki keluar dari rumah, mengikuti sebuah nyanyian merdu nan lembut yang membuatku tertarik. Langkahku terhenti di ujung tebing bersamaan dengan lagunya yang berhenti. Selang beberapa detik setelahnya, lagu itu kembali mengalun. Tanpa ragu aku menjatuhkan diri dari tebing itu.

Dinginnya air laut menusuk hingga ke tulang. Samar-samar aku dapat melihat seseorang mendekat. Dapat kurasakan dia merengkuh tubuhku yang jatuh semakin dalam ke lautan.

***

Pekerjaan hari ini selesai, aku melangkah cepat menuju laut dan menghiraukan langit yang menunjukkan semburat oranye. Ada seseorang yang harus kutemui di sana. Dia yang waktu itu menyelamatkanku saat jatuh dari tebing. Atau dia juga yang membuatku menjatuhkan diri dari tebing itu? Kemungkinan besar jawabannya, iya, sebab, dia adalah seorang siren.

Hari-hariku yang suram dan tidak menyenangkan sama sekali perlahan membaik karena dia. Aku sering berkunjung ke laut untuk menemuinya. Tanpa kusadari, aku jatuh hati dengan dia yang selalu baik dan perhatian padaku. Kabar baiknya, dia juga merasakan hal yang sama, bahkan sebelum aku menyadarinya. Katanya, perasaan itu muncul begitu saja setelah aku terjun dari tebing. Itu yang membuatnya mengurungkan niat untuk mencelakakanku dan memilih menyelamatkanku.

"Maaf, mungkin ini kali terakhir kita dapat bertemu satu sama lain."

Perkataannya membuatku memasang wajah bingung kemudian menggemakan tawa. Di pasti bercanda. Ya, sama seperti biasanya. Dia tidak akan mungkin meninggalkanku dengan alasan apa pun.

Kalimat terakhirnya itu hanya kuanggap sebagai candaan. Tidak terpikirkan meski hanya sedikit bahwa perkataannya serius. Apa yang dimaksudnya sebagai pertemuan terakhir adalah benar adanya.

Takdir seorang siren adalah mematahkan hati seorang manusia, bukan jatuh hati padanya. Dia tahu hal itu dilarang, tetapi dia tetap melakukannya. Akhirnya, sang penguasa lautan murka dan memberinya hukuman.

Aku tahu dia menderita, menjalani hukuman tanpa bisa melakukan apa pun selama seribu tahun. Bukan itu saja, dia juga harus menelan pil pahit saat melihat pasangan muda-mudi lalu lalang sambil berpegangan tangan di depan matanya.

***

"Sekarang, saat ingatanku tentangnya kembali, dia malah menghilang begitu saja"

"Sepertinya dia telah menyelesaikan hukumannya."

"Lalu, dia menghilang ke mana?"

"Ketika saatnya tiba, kamu akan mengetahui nanti."

Jawaban dari Nona Senja tidak membuat hatiku lega. Namun, aku berterima kasih karena dia mau mendengarkan ceritaku.

"Baiklah, saya pamit." Aku beranjak dan meninggalkan kedai teh Senja itu. "Semoga kamu terlahir kembali."

🍃Selesai🍃

Kedai Teh Senja [KumCer] ✓Donde viven las historias. Descúbrelo ahora