16. Revita - Everything Has Changed

5.2K 286 8
                                    

Selamat malam. Selamat membaca. Dan semoga semua suka =))

#PeaceUp

---------

Terdengar jelas suara keributan dari kamarku. Aku yakin suara ribut itu berasal dari pintu masuk rumah ini. Tepat saat aku akan keluar untuk melihat apa yang terjadi di luar sana, tiba-tiba saja Alvaro masuk ke kemarku dengan penampilan yang berantakan. Kemejanya yang tadinya masih licin berubah kusut, di pipinya juga ada bekas kemerahan karena memar, dan terlihat jelas dari wajahnya kalau ia sedang menahan amarah.

Aku yang terkejut, langsung bisa kembali menguasai diriku. Ku dekati Alvaro yang dadanya masih terlihat naik-turun. Sejak pertama kali mengenalnya, aku paling benci saat-saat dimana ia sedang marah dan sangat emosi. Bukannya apa-apa, justru aku tidak ingin melihat Alvaro menyakiti dirinya sendiri. Entah sudah berapa kali aku melihat ia kalap karena emosi dan melampiaskannya pada tubuhnya.

Apa sebegitu marahnya kah ia karena aku tidak menceritakan masalah paket misterius itu? Jujur saja, bukan maksudku untuk menyembunyikan semua itu dari Alvaro. Aku hanya tidak ingin membuatnya khawatir karena masalah sepele seperti ini. Oke, memang tidak bisa dianggap sepele juga, karna pada dasarnya paket itu sangat menakutiku. Tapi—

“Tadi Jovan ke sini.” Eh? Aku langsung menghentikan kegiatanku mencari sapu tangan di lemari. Sebagai gantinya, aku mengalihkan perhatianku pada Alvaro yang sedang duduk di tepi ranjang sembari menatapku lurus-lurus.

“Jangan bilang kalo dia yang bikin pipi kamu memar gitu?” Tebakku langsung. Dan sepertinya tebakkanku tidak meleset sama sekali. Aku langsung meraih sapu tangan dan berlari ke dapur untuk mengambil tiga buah es batu lalu membungkusnya dengan sapu tanganku. Tak lama kemudian aku pun kembali ke kamar.

Alvaro merintih, entah terkejut atau kesakitan, saat aku menempelkan sapu tangan yang sudah terisi es batu ke pipinya yang mulai membengkak itu. Ia mengambil alih bungkusan es batu yang ada di tanganku dan memeganginya sendiri. Aku pun duduk di sebelahnya.

“Ngapain dia ke sini?” Tanyaku akhirnya. Aku ingat sekali, setelah acara di bazar yang berakhir bencana itu, aku tidak pernah ada janji untuk menemui Jovan lagi. Bagiku, semua yang berhubungan dengan Jovan sudah berakhir saat itu. Aku sudah berdamai dengan Jovan. Aku sudah tidak menaruh dendam, sakit hati apalagi harapan lagi padanya. Ketika aku sudah bisa menerima Jovan sebagai temanku, saat itu juga semua kuanggap selesai. Meskipun rasa itu mungkin masih ada sampai detik ini.

“Mau ketemu kamu. Tapi aku larang.” Kata Alvaro yang membuatku melebarkan kedua kelopak mataku. “Maaf.” Cicitnya merasa bersalah. Mungkin ia mengira aku akan marah karena ia sudah seenaknya saja melarang Jovan untuk menemuiku. Tapi bukan itu yang membuatku terkejut. Jovan mau menemuiku? Untuk apa?

“Kamu ngapain minta maaf?” Tanyaku tak mengerti.

“Karna aku udah usir Jovan?” Sahut Alvaro dengan tak yakin. Mau tak mau sudut bibirku tertarik ke atas mendengar ucapannya.

“Nggak kok. Yang kamu lakuin udah bener, Va.” Sekarang giliran Alvaro yang membelalakan mata. “Yaaah, aku rasa udah nggak ada alasan lagi buat ketemu Jovan. Terakhir kali aku setuju buat ketemu dia juga karna aku pengen damai dan hidup tenang. Aku nggak mau lagi dihantui masa lalu, apalagi tentang Jovan. Aku coba ikhlas dan mulai dari awal; dengan jadi temannya misalnya.”

“Tapi Ta, kamu pernah bilang kalo kamu masih cinta sama dia?” Tanya Alvaro yang semakin tak mengerti.

“Emang bener, sih..” Ujarku menyetujui. “Tapi, ya udah lah. Masalah hati, dipikir entaran aja.” Tambahku sembari mengendikan bahu.

“Apa kamu nggak pengen balikan sama Jovan?” Ingin sekali aku menjedotkan kepala Alvaro ke tembok kamar ini. Bisa-bisanya ia mempunyai pemikiran seperti itu.

The Same FeelingsWhere stories live. Discover now