Memutus Jerat Pesugihan #6

Start from the beginning
                                    

"Hey, Kong! Mau kemana kamu?"

"Aku mau tidur!" sahutnya.

"Terus ini gimana?"

"Biar Si Belang yang urus semuanya."

Mataku langsung tertuju pada Si Belang, yang mulai berjalan perlahan ke luar rumah. Setiap satu langkah, tubuhnya menjadi bertambah besar. Sampai di depan rumah, ukurannya sudah berkali-kali lipat. Gerombolan Pocong dan Kuntilanak itu pun akhirnya mundur, agak menjaga jarak.

Bukannya mengusir para pendatang itu. Si Belang malah berbaring, sambil menjilat-jilat bulu halus di perutnya.

"Pamer!" teriak Si Kingkong dari dalam kamar.

Tiba-tiba, Si Belang bangkit. Matanya terus menyorot ke arah depan. Seperti tau ada sesuatu yang akan datang.

*

"Lumayan juga kamu anak kecil." Terdengar suara seseorang berbicara.

"Siapa kamu?" Aku celingak-celinguk mencari sumber suaranya.

Sosok itu perlahan muncul dari balik kerumuman Kuntilanak. Dia adalah bentuk astral dari salah satu dukun. Tepatnya pemimpin dari beberapa dukun yang merencanakan penyerangan.

"Ya Allah, udah tua bukannya tobat," celetukku.

"Berani-beraninya menghina saya!" Dukun itu marah.

"Itu kenyataan, bukannya Kakek sudah tua?"

"Kurang ajar!"

Dukun itu memanggil sesosok makhluk. Sebut saja Genderawi alias versi wanita dari Genderuwo. Perawakannya sangat berbeda dengan Genderuwo.

Genderawi ini terlihat lebih kurus dan berbulu hitam. Jemari dan kuku tangannya panjang. Tentu dengan wajah yang cukup menyeramkan. Aku malah fokus dengan dagu dan hidungnya.

"Ya ampun, itu dagu sama idung lancip amat," tanyaku tersenyum pada si Genderawi.

"Saya cekik kamu!" Genderawi itu marah.

"Ah elah, makhluk kaya kamu. Lawan Dani pas masih TK aja keok. Dah mending pergi sana! Daripada nanti saya kepang tuh rambut."

Genderawi itu menggeram. Dia memerintahkan puluhan Kuntilanak yang merupakan anak buahnya untuk menyerang. Mereka mendekat sambil tertawa cekikikan. Si Belang sama sekali tidak bereaksi, dia masih menatap tajam Dukun itu.

"Dibilang saya mau tidur! Berisik sekali." Si Kingkong ke luar dari kamar. Lalu menangkap salah satu Kuntilanak.

"Ini anak buahmu?" tanya si Kingkong pada Genderawi.

"Lihat ini!" Si Kingkong meremas tubuh Kuntilanak itu, hingga menjerit kesakitan. Kemudian dia melahapnya bulat-bulat. Kontan Kuntilanak lainnya langsung berhamburan.

"Sudah lah Kakek Tua, jangan ganggu kami," ucap Si Kingkong. Dukun itu tertawa agak meledek.

"Wah minta dikerjain. Mir, sana ikut sama Si Belang," perintah Si Kingkong.

"Ikut kemana?"

"Sudah ikut saja, Amir," balas Si Belang.

Aku duduk di kursi. Kemudian berkonsentrasi untuk melepas sukma. Si Belang memintaku untuk menaiki punggungnya.

"Tutup matamu!"

"Siap!" Aku menutup mata. Ada angin kencang berhembus, ditambah suara riuh yang saling berbenturan.

"Buka matamu!"

Aku sudah berdiri di depan sebuah rumah. Si Belang sudah berjalan masuk, sedangkan aku membuntutinya dari belakang. Dia mengarah ke sebuah kamar di pojok belakang. Tanpa permisi, kami berdua masuk ke kamar itu.

"Mau apa kalian?" Dukun itu terkejut melihat kehadiran kami di depannya.

"Jangan sentuh, ibunya. Atau kamu akan tau akibatnya," ancam Si Belang.

"Loh? Tadi dia mau nyerang mamah?" tanyaku.

"Iya ... sebenarnya saya malas meladeni orang macam ini. Hanya saja dia berniat mencelakai ibumu."

"Wah ... cari gara-gara. Hajar Belang!"

"Am-pun ... saya tidak tau. Maafkan saya."

Dengan cepat Si Belang mengambil satu inti sukmanya.

"Ini peringatan bagimu. Jika sekali lagi datang ke sana. Aku akan menghabisimu."

"Bagus Belang." Aku hanya bisa menonton dan memberi semangat. Setelah itu, kami kembali ke rumah.

Di depan rumah, suasana sudah agak sepi. Satu persatu pasukan itu ditarik mundur, termasuk Si Genderawi tadi.

"Sudahkan? Sekarang aku mau tidur." Si Kingkong kembali terbang melayang ke dalam kamar. Si Belang juga begitu, sudah mulai merebahkan tubuhnya di teras.

*

Daritadi aku tidak melihat si Canih dan Hitam. Kemana mereka berdua pergi? Tidak mungkin kan mereka berdua salah masuk rumah. Aku berusaha memanggilnya.

"Apa, Mir?" Si Hitam muncul.

"Ke mana saja kamu?"

"Si Kingkong menyuruhku mengerjai salah satu Dukun itu."

"Sama si Canih?"

"Iya."

"Terus Dukunnya gimana."

"Ini." Si Hitam membawa satu inti sukma milik Dukun.

"Wuih, mantap."

Aku pun masuk ke rumah. Dani dan Ibu sudah tidur di kamarnya. Tentu saja, sekarang sudah hampir pukul dua pagi. Bergegas masuk ke kamar. Mulai membaringkan tubuh di atas kasur.

Aneh, setiap kali memejamkan mata. Aku selalu melihat sosok hitam besar di depan rumah. Tidak jelas itu apa, tapi aku sedang malas mengeceknya. Sosok itu berkali-kali terbayang di pikiranku, sampai akhirnya tertidur.

Subuh, Dani sudah bangun duluan. Dia sedang duduk di ruang tengah, sambil menonton TV.

"Semalem panas gak, Mir?" tanya Dani.

"Gak kok, kamar Amir adem," balasku.

"Gak tau dah, semalem panas banget, padahal AC nyala. Jadi kebangun jam setengah tiga pagi."

"Emang ada kejadian aneh?" tanyaku curiga.

"Pas mau tidur lagi. Di atas plafon ada suara orang menggeram gitu. Suaranya gede plus berat."

"Hmm ... jangan-jangan itu dari sosok item gede yang Amir liat semalem."

"Dari mana lagi sih itu?"

"Itu, Kak. Dari anak didiknya Dukun pesugihan. Semalem emang rame, mau bales dendam. Malahan mamah mau ditarget juga."

"Terus? Gimana?"

"Ya gak gimana-gimana. Kirain udah kelar, eh ternyata masih ada yang mau masuk ke kamar Kakak kayanya. Berarti Kakak juga diincer."

"Ya pasti sih. Emang berapa orang semalem?"

"Kayanya bertiga. Yang dua udah disamperin, sampe minta maaf. Satu lagi kayanya yang nyoba masuk ke rumah."

Sejak malam itu, rumahku sering kedatangan 'kiriman'. Biasanya setiap malam senin dan jumat. Kini jumlah mereka semakin banyak. Targetnya bukan padaku saja, tapi pada Dani dan Ibu.

Sejauh ini aku masih bersikap santai. Terlebih kebanyakan sosok yang datang tidak terlalu kuat. Namun, semuanya berubah ketika mereka berhasil masuk ke dalam rumah. Dan mengancam nyawa ibu dan Dani.

BERSAMBUNG

CERITA AMIRWhere stories live. Discover now