05 - Avoidance

Start bij het begin
                                    

Hal ini yang di khawatirkan oleh keluargaku, sebab unit apartemenku berada di lantai 26 yang dengan pastinya setiap aku menuju unitku berada mau tidak mau aku akan naik lift karena tidak mungkin kalau aku naik tangga sampai ke lantai 26.

"Nggak baik kalau terus-terusan minum anti-depresan, Naz." Ucap Papa lagi mengingatkan.

"Pah, I really fine. Aku juga kan nggak setiap hari pulang ke apart bahkan seminggu bisa cuma 2 kali aku pulang ke sana, selebihnya ya di rumah sakit terus. Kalau weekend aku selalu nginap di sini, kan? Dan juga lift di sana nggak pernah penuh sama orang kok karena lift di sana ada limit maximum-nya." Ucapku menatap Papa dan Mama.

Mereka berdua diam tidak menjawab lalu aku melanjutkan ucapanku. "Obat anti-depresan dari dokter Satria juga udah dikurangi dosisnya karena gangguan kecemasanku udah jarang datang. Setiap kali aku naik lift juga udah biasa aja. Jadi kalian berdua jangan khawatir ya?" Kataku tersenyum meyakinkan.

Aku menghela napas pelan lalu melanjutkan ucapanku ketika mereka berdua masih terdiam. "Pah, Mah, kalau-kalau kalian lupa we agreed since the beginning perihal aku tinggal di apartemen, lho?"

"Okay, we lose. Tapi ingat kalau ada apa-apa kabarin kami." Ucap Papa pasrah dan aku langsung mengangguk mengiyakan.

***




ALVINO

Jarang sekali aku bisa menghabiskan waktu weekend-ku di luar rumah sakit seperti ini. Aku memutuskan untuk pergi ke Pondok Indah Mall 2 untuk membeli hadiah untuk keponakanku yang minggu depan akan pulang ke Indonesia.

Namun, langkahku terhenti ketika mataku menangkap keberadaan seseorang yang berada tak jauh dari tempatku berdiri. Aku hampiri dia lalu menepuk pundaknya pelan.

"Naz." Panggilku seraya menepuk pundaknya.

Dia membalikkan tubuhnya dan seketika terkejut melihatku.

"Lho, Vin lo kok ada di sini?" Tanyanya yang masih terkejut.

Aku tertawa geli mendengarnya, "Nggak boleh emang kalau gue di sini?"

"Eh? No... I mean, tiba-tiba aja gue ketemu lo di sini. Mengingat lo anak Sudirman banget. Kaget aja lihat lo di Pondok Indah kayak begini." Ucapnya meringis geli. "Sendiri?"

Aku mengangguk. "Abis beli hadiah buat keponakan gue dan kebetulan store-nya emang cuma ada di sini. Mumpung gue juga nggak ada calling-an." Kataku seraya menunjukkan paper bag yang sedang kubawa. "Lo sendiri juga?" Lanjutku lagi.

"Iya abis dari Charles & Keith."

Aku mengangguk-anggukkan kepala. "Lo langsung balik atau gimana?"

"Actually, gue belum lama sampai sih. Paling mau muter-muter dulu. Lo sendiri?"

"Same here. By the way, Naz, lo udah makan siang? " Tanyaku melirik jam di pergelangan tangan kiriku yang menunjukkan pukul dua belas kurang lima menit.

Sheenaz menggelengkan kepalanya. "Should we?" Tanyaku mengajaknya kemudian.

"Sure. Mau di mana?" Tanyanya tersenyum mengiyakan.

"Bakerzin? Atau mau Shaburi?" Tanyaku meminta rekomendasinya.

"Bakerzin oke sih. Kalau Shaburi jam segini suka waiting list."

CITO. [COMPLETED]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu