"Kau mau lulus atau tidak ?"

"Mau, Om. Tetapi bukan karna nama bapak saya !"

"Jadi selama ini kau belum pernah pulang juga ?" tanya Letkol. Mashur melenceng dari materi wawancara.

"Begitulah keadaannya, Om"

"Boleh Om tahu ?"

"Tarpaksa, Om. Tetapi saya mohon jangan telfone Bapak, sebelum saya berhasil. Saya tidak mau seandainya sata lulus nanti dituduh orang ada unsur KKN. Apabila hal itu muncul, sekalipun saya sudah menjadi Taruna saya akan keluar!" tekad Ranu. Kemudian ia menceritakan panjang lebar hal yang sebenarnya terjadi.

Letkol. Mashur menggeleng-geleng kepala mengetahui kenekatan Ranu, persis seperti ketika ingin melihat hantu. Merasa mengenal pribadinya yang keras, Letkol. Mashur pun memenuhi permintaan Ranu.

"Ranu, Om tahu penderitaanmu. Ketika kau membuat penasaran semua tim penguji aku jadi penasaran. Tapi yakinlah, nilai ini tetap akan murni. Sudah, kau boleh keluar. Berdoalah Ran, semoga kita selalu bersama lagi di sini seperti ketika kita di Padang, Sumatra Barat."

Saat hari terakhir pengumuman, semua calon taruna berbaris menjadi dua bagian dan dipanggil satu per satu masuk sesuai barisan yang di tentukan. Setelah menempati kelompok masing-masing beberapa sambutan dan pengarahan diberikan oleh beberapa orang instruktur. Tidak ada yang tahu, jika pembagian menjadi dua kelompok itu, terdiri dari kelompok yang lulus dam tidak lulus. Sebab dalam pengumuman itu mereka hanya diperintah untuk mengemasi dan membawa semua barang bawaannya ke dalam ransel. Dengan menggendong ransel yang berat, mereka tetap terdiri tegap mendengarkan semua sambutan.

Kira-kira satu setengah jam, acara selesai. Satu kelompok barisan diperintahkan berjalan menuju gapura. Barisan itu diperintah berhenti sesampainya di luar gapura. Sementara itu kelompok satunya dibiarkan berdiri di tengah lapangan. Para calon taruna yang berada di kelompok tersebut menjadi penasaran ketika melihat kelompok lainnya pergi, sementara mereka diabaikan begitu saja.

Dengan menyanyikan lagu Halo-halo Bandung , barisan pertama terus bergerak melewati pintu gerbang. Begitu semua anggota berisan melintasi pintu gerbang di bawah gapura, mereka dihentikan dan berbalik kanan menghadap pintu gerbang. Pintu gerbang langsung ditarik, ditutup, dan di gembok. Sementara para instruktur masih di dalam.

"Adik-adik tercinta. Pulanglah kalian, ke rumah orang tua Anda masing-masing ! Pintu gerbang sudah tertutup untuk kalian. Namun, jika kalian ingin mengabdikan diri di TNI, kaliam akan di terima di Bintara. Selamat jalan, semoga keselamatan selalu menyertai langkah kalian."

Semua baru sadar, bahwa mereka ternyata gagal masuk Taruna Akabri. Seketika jerit tangis kesedihan pun meledak. Sesaat kemudian, para instruktur berbalik meninggalkan gapura pintu gerbang.

Ranu masih kebingungan berdiri di tengah lapangan, dari kejauhan ia mendengar jerit tangis bersahut-sahutan. Setelah itu, para instruktur kembalin ke barisan yang tertinggal dan memberi ucapan selamat. Kini mereka telah menjadi anggota keluarga besar Taruna Akabri. Ranu langsung bersujud syukur di tengah lapangan itu. Sementara kawan-kawannya ada yang menjerit histeris karena gembira. Akhirnya suara teriak kegembiraan dan tangis kesedihan bersahut-sahutan dari luar dan dalam pintu gerbang.

Malam harinya ketika pendidikan belum di mulai, seorang sersan satu memanggiil Ranu. "Saudara Ranu di panggil menghadap Kolonel Mashur!"

"Siap. Saya segera menghadap!" jawab Ranu tegas.

Sesampainya di dalam rumah, Kolonel itu langsung memeluknya. "Ran, sejak kemarin aku ingin memelukmu."

"Terimakasih, Kolonel. Kolonel ingat saya ?"

"Dalam rumah ini hubunganku dan kamu tidak boleh begitu. Di dalam rumah ini, aku ingin kau tetap memanggil Om,"

"Siap, Om !"

"Nah, bagaimana, ada waktu senggang dua minggu. Apa kamu tidak ingin pulang bertemu dengan Bapak ?" tanya Kolonel Mashur.

Lagi-lagi Ranu tercenggang. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Terbayang-bayang wajag Kyai Misbah, Haji Mujid, dan Kang Nursalim yang telah berhari-hari menanti kelulusannya. Memang, hati kecilnya juga sudah meronta-ronta untuk segera bertemu dengan orang tuanya. Namun, apakah itu sudah pantas di banggakan kepada bapaknya yang sekarang menjabat orang nomor satu TNI itu ? Ranu merasa gamang.

"Om, untuk sementara jangan dulu!"

"Begitu bencikah kamu kepada Bapak ..?"

"Sama sekali tidak, Om. Justru semua ini saya lakukan untuk dan hanya demi Bapak, Om. Siang malam saya menangis menahan rindu kepada mereka. Tapi sampai sekarang saya meresa belum pantas. Saya belum berhasil dan belum ada yang patut mereka banggakan. Ini yang membuat saya tidak berani menemui mereka."

"Kau tahu Bapak pernah menangis di kantor, setelah bercerita tentang dirimu, Ran...? Sekarang Bapak sudah yakin kamu meninggal. Kira-kira dua tahun yang lalu bayanganmu sering datang ke rumah dan ke kantornya. Bapak yakin kau telah meninggal, sehingga di kantor secara diam-diam diadakan tahlil bersama selama tujuh, empat puluh, dan seratus hari. Kalau sampai kamu tidak muncul juga, Om yakin. Bapak juga akan mengadakan acara seribu hari. Hal ini semua dirahasiakan kepada Ibu."

"Maaf, Om. Untuk sementara ini biarlah saya pikirkan dulu. Saya mohon seandainya Om bertemu dengan Bapak sekalipun, jangan ceritakan pertemuan kita ini ! Agar tidak menimbulkan kecurigaan dan iri dari beberapa kawan, saya tidak akan berdekat-dekat dengan Om."

"Baiklah kalau begitu, tetapi apabila pikiranmu berubah, tolong bilang sama Om!" pesan Kolonel Mashur sambil menggelengkan kepala. Keduanya pun kemudian menyatu di ruang TV, Ranu di kenalkan kepada anak dan istri Kolonel Mashur.

Sementara itu di Jakarta, di rumah Syafira sedang diadakan syukuran atas karunia Allah yang telah mengabulkan hajatnya. Syafira berhasil masuk Fakuktas Kedokteran. Selesai acara syukuran, Syafira menelepon kakaknya yang di kampung.

Kebetulan waktu itu Ranu baru datang dari Magelang. Setalah mampir pesantren bertemu dengan Kyai Misbah,sorenya langsung ke rumah Haji Mujid. Tanpa disangka berita gembira itu datang bersamaan. Setalah Ranu menceritakan keberhasilannya, Syafira juga menelepon dengan berita yang sama.

"Yang, berkat doa restu Eyang Kakung Fira diterima di Kedokteran UI," cerita Syafira dari sebrang.

"Allhamdulillah, Nduk, Masmu Ranu juga ada di sini. Ia diterima di Akabri. Ia memang bintangnya para santri."

"Boleh Fira bicara sama Mas Ranu, Yang ?"

"Boleh saja boleh. Asal jangan lama-lama. Sebab Eyang juga belum sembuh kangennya sama Ranu.."

"Ih, Eyang bisa saja!"

Haji Mujid menyerahkan gagang telfone kepada Ranu. Walaupun ada kerinduan yang amat dalam, Ranu tidak berani bicara macam macam. Haji Mujid dan Nursalim hanya tersenyum melihat tingkah Ranu. ∆∆

Sabuk Kyai [SEGERA DI FILMKAN]Where stories live. Discover now