Part 6

160 28 6
                                    

Seminggu sebelum masuk sekolah, Kang Nursalim menepati janji. Ranu Sadewa benar-benar merasa surprise ikut ke kampung Kang Nursalim. Sekalipun tempatinya pelosok, orang tua Kang Nursalim termasuk konglomerat desa. Tambak udang dan bandengnya terbentang puluhan hektar luasnya.

Kang Nursalim anak bungsu dari tiga bersaudara. Dua kakaknya sudah menikah. Kakak lelakinya yang menjadi pengusaha sukses di Jakarta anaknya sudah SMU. Kakak perempuannya, guru SMU di kecamatan bersuamikan guru SMU juga. Selain sebagai guru mereka juga memiliki tambak yang luas.

Selama tinggal di desa Kang Nursalim yang paling menyenangkan Ranu adalah saat diajak tidur di gubuk tengah tambak. Pagi setelah subuh, mereka memancing. Setiap mata pancingnya yang dimakan bandeng membuat Ranu slalu berteriak lepas kegirangan.

"Hiyakkk, dapat lagi aku, Kang!" sorak Ranu. Baru kali ini Ranu merasakan enaknya memancing ikan. Hanya dengan umpan cacing tanah yang dicari di pematang tambak, sudah dapat bandeng banyak.

Kang Nursalim melihat wajah Ranu berseri-seri gembira.

"Waduuuh.. Banyak sekali, Kang ?"

"Yaa, sudah. Nanti kamu belum kenyang, menangis pun aku tidak mau bakar lagi!" ancam Kang Nursalim.

"Memangnya aku ini kucing, bisa menghabiskan ikan sebanyak ini ?"

"Eh, belum tahu rasanya, sih. Kalau kamu sudah merasakan, pasti habis kau sikat sendiri. Di pondok saja beras satu kilo kau makan sekali!"

"Aduh, jangan terlalu membesar-besarkan masalah, Kang"

"Jangan berkomentar terus, nyalakan kayu itu biar aku yang memberi bumbu!" perintah Nursalim.

Ranu tidak berkomentar lagi. Tangannya sibuk menyalakan korek api. Lima bulan di pesantren sering memasak dengan menggunakan kayu, membuat Ranu tidak kesulitan lagi menyalakan kayu. Kang Nursalim sendiri sudah asyik melumpuri bandeng dengan lumpur tambak.

"Apa-apaan ini, Kang ? Masak dibungkus lumpur seperti ini ?" tegur Ranu keheranan katika melihat bandeng dibungkus tanah lumpur dari dasar tambak.

"Ini justru bumbu yang paling lezat. Koki mana pun tidak akan ada yang menandingi. Ini bumbu alam, sehat, dan alami. Kakaku yang di Jakarta sendiri mengakui kelezatannya. Bila pulang kampung, inilah makanan yang disenanginya," sambung Nursalim. Tangannya cekatan membakar bandeng.

Bandeng yang dilumpuri lumpur do masukkan dalam api. Beberapa menit kemudian Nursalim menyodorkan bandemg bakar pada Ranu. "Makan !" desaknya melihat Ranu bengong di belakangnya.

"Caranya, Kang ?"

"Makan kok tanya caranya. Di pondok engkau menjadi buah bibir karena kau seorang laduni. Di tengah tambak bodohmu melebihi kerbau. Kucing saja bisa makan ikan, kamu mau makan ikan saja tanya caranya."

Diomeli seperti itu, Ranu langsung mengigit bandeng tanpa mengupas tanahnya. Karuan saja ia belingsatan karena makan lumpur kering.

"He, kamu ini bagaimana ? Kupas dulu tanahnya, baru dimakan !"

"Oh.. Kirain ini bumbunya," sambung Ranu seperti orang tolol.

Ranu langsung mengelupas lumpur kering pembungkus bandeng. Begitu tangan mengupas tanah, kulit bandeng terkelupas tanpa sisik. Daging bandeng tampak putih bersih dan bau harum membuatnya semakin berselera. Begitu merasakan enaknya bandeng bakar berbumbu tanah. Tidak ada lima menit tiga ekor bandeng sudah disikatnya habis. Bakaran bandeng berbalut lumpur itu, sungguh makanan yang lezat yang pernah Ranu selama hidupnya. Akhirnya setiap bandeng yang diletakkan Nursalim. Langsung dikupas dan dihabiskan.

Ketika Nursalim menoleh mau makan, ia terkejut. Lima ekor yang sudah matang, tidak seekor pun tersisa.

"Hah, benar kan, tebakanku ? Aku hanya jadi juru bakar saja ?" keluh Nursalim kemudian tertawa cekikikan.

Sabuk Kyai [SEGERA DI FILMKAN]Where stories live. Discover now