Part 2

194 38 18
                                    

Suatu malam, hujan turun deras disertai badai dan petir. Bus berjalan lambat. Sebentar bentar bus meliuk-liuk menghindari kubangan air. Sang sopir sepertinya sudah hafal pada lubang menganga yang siap mengguncang isi perut penumpang, tangannya terampil memutar kemudi. Dalam bus malam kelas ekonomi itu, Ranu Sadewa sebentar-bentar meraba saku celananya. Ada perasaan was-was, kalau-kalau uang hasil penjualan motor di sakunya hilang.

Begitu uang penjualan motor di terima, Ranu langsung membaginya menjadi empat bagian. Sebagian di simpan di dalam tas, saku celana, saku baju, dan saku jaket. Tetapi perasaan was-was akan kecopetan masih menghantui perasaannya. Entah karena apa tiba-tiba ia menjadi khawatir dan takut. Mungkin karena uang itu merupakan uang terakhir yang di minta dari orang tuanya. Jika sampai hilang, tentu semua rencananya bakal berantakan.

Secara sepintas, siapapun yang melihat gaya Ranu pasti bisa menebak ia anak muda yang seenaknya. Tidak memikirkan masa depan, suka mabuk-mabukan, dan pemalas. Kesan itu timbul dari gaya yang cuek, pakaian semrawut apa adanya, celana jeans dan kaus lusuh di padu dengan jaket kulih kumal agak panjang. Rambut kritingnya tidak pernah tersapu sisir berjuntai menutup leher jenjangnya. Bulu alisnya tebal disekat oleh hidung mancung dan bibirnya tipis kemerahan seperti teroles gincu. Di balik kecuekannya itu, tersimpan tekad dan semangat yang membara untuk mencapai masa depan yang gemilang dengan kekuatan sendiri.

Malam itu Ranu Sadewa tidak bisa tidur. Sekalipun matanya terpejam rapat fikirannya terus berputar-putar. Antara biaya hidup, masa depan, kedua orang tua juga Syafira. Ahh Ranu rindu dengan gadis itu. Semua muncul silih berganti seperti iklan di TV. Padahal sebelum pergi meninggalkan rumah, ada tiga pilihan pesantren yang di idam-idamkannya. Dengan pertimbangan cermat dan matang ia menentukan pilihan yang terbaik juga aman untuk menyembunyikan dirinya.

Pertama pesantren di daerah Padang Panjang, Sumatra Barat. Daerah itu terkenal banyak melahirkan orang orang besar dan para intelektual plus kaliber nasional. Selain itu, daerah Padang Panjang di nilai sangat ketat dalam pelaksaan hukum adat istiadat agama, dengan dasar filosofinya 'Adat bersendikan syarak dan syarak bersendikan Kitabullah' .Sayangnya, orang tuanya pernah bertugas sebagai Danrem di sana, sehingga ia yakin banyak orang yang masih kenal orang tuanya. Para buya di Padang Panjang banyak yang akrab dengan bapaknya. Dengan demikian, niatnya menjauhi bayang bayang bapaknya tidak akan ada artinya, bila mereka mengenali sebagai anak Pak Abdul Syukur.

Pilihan kedua di Pondok Pesantren Gontor, Jawa Timur. Pondok itu pun tak aman dan nyaman buatnya. Karena ada beberapa anak sahabat bapaknya yang mondok di sana. Selain itu, saudaranya juga menyebar di beberapa pesantren di Jawa Timur. Pilihan terakhir jatuh pada sebuah pesantren di pantai utara, tepatnya di Desa Soko, kabupaten Pati. Pondok itu memang belum memiliki nama yang tersohor seperti kedua pesantren sebelumnya. Namun, menurut cerita kakeknya, pesantren ini didirikan oleh seorang ulama sufi. Kyai itu, kata kakeknya bernama K.H Misbah, seorang kyai sepuh yang mempunyai segudang ilmu dan kharomah.

Cerita kakeknya di masa kecil seakan terngiang kembali. Ketika Ranu Sadewa menimbang-nimbang pilihannya. Menurut kakeknya, Kyai Misbah adalah adik kelasnya di pesantren dan masih saudara satu buyut. Sejak menjadi santri, sebelum tentara Jepang menguasai Indonesia, Kyai Misbah termasuk salah satu santri yang sangat loyal terhadap perjuangan kemerdekaan. Tugasnya adalah menjadi mata mata musuh, suatu tugas yang paling berat karena taruhannya nyawa. Bahkan menurut cerita kakeknya, berkali-kali Kyai Misbah menjadi sasaran peluru Belanda. Namun, istimewanya tidak satu pun peluru berhasil menyentuh kulitnya. Oleh karena itu, tugas mata mata paling sesuai dengan santri muda yang brilian itu. Dalam penyerangan terhadap kamp-kamp tentara Belanda, ia keluar masuk kota dan hutan untuk memberikan informasi kepada para pejuang.

Saat Jepang datang pada tahun 1942, Kyai Misbah baru membuka pondok pesantren di Desa Sokopuluhan. Bersamaan dengan itu Jepang mewajibkan semua orang untuk menyembah matahari setiap pagi. Namun pesantren Kyai Misbah yang masih kecil itu, menolak dan menentang aturan tersebut. Kyai muda yang membenci Jepang itu dengan penuh semangat menyerukan penduduk agar berani menolak kewajiban yang menyalahi ajaran agama. Kyai Misbah di ancam dengan hukuman mati. Tentara Nippon langsung berniat menangkap dan membakar pondok pesantrennya.

Sabuk Kyai [SEGERA DI FILMKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang