Part 1

342 40 40
                                    

Ranu sadewa gelisah. Ia iri melihat teman sekelasnya yang bisa menikmati masa remajanya. Mereka bisa bebas berbuat apa saja, bercanda, dan berbicara dengan santai seakan tanpa beban. Di tatapnya satu persatu kawannya yang tengah mengunyah pisang goreng, tempe dan tahu dengan lahap.

"Ah, alangkah senangnya jadi mereka," desahnya dalam hati. Hari itu Ranu merasa tak bersemangat, getir, lelah, dan sedih. Hingga ia lebih suka menyendiri di pojok kantin sekolah.

Setiap melihat kebebasan dan kegembiraan mereka perasaan ingin kabur dari rumah slalu membayangi benaknya. Berkali kali Ranu meminta izin untuk pindah sekolah di luar Jakarta. Namun berkali kali pula bapaknya menolak dengan tegas. Padahal sebenarnya apa yang di inginkannya tidak terlalu muluk dan berlebihan.

Ranu Sadewa mengakui dirinya bukanlah anak idealis atau agamis. Ia hanya ingin kawan dan orang orang di sekitarnya mengakui jati dirinya sebagai manusia biasa seperti yang lainnya, tanpa harus di kaitkan dengan kebesaran bapaknya. Ranu Sadewa hanya ingin orang melihat dirinya secara utuh, selama ini setiap prestasi apapun yang di capainya yang tampak di mata orang lain hanya bayangan kedua orang tuanya, kata kata pantes anaknya anu bapaknya bisa anu, lama kelamaan buntutnya sangat menyakitkan.

Itulah sebabnya sejak SMP, Ranu Sadewa tidak mau mencantumkan nama bapaknya di balik namanya. Ia sadar penghapusan itu tidak ringan resikonya. Namun, merupakan kebahagiaan tersendiri apabila orang tidak mengait ngaitkan dirinya dengan kebesaran bapaknya. Dan apa yang di perkirakan tidak meleset sedikitpun, bapaknya langsung menamparnya hingga terjembab saat melihat ijazah tidak tercantum nama Letjen. Abdul Syukur. Tidak hanya itu saja berbagai umpatan dan hinaan pun di muntahkan semua.

"Sombong kamu !! Memangnya kamu lahir dari batu ?!," teriak ayah Ranu geram.

Ranu yang kala itu tidak bisa meredakan amarah bapaknya hanya diam, si usapnya pipi yang merah dan perih akibat tamparan bapaknya.

Bagi Ranu Sadewa tamparan dan damratan itu bukan masalah, Ranu tak gentar jika hidup tanpa fasilitas dari bapaknya. Ia siap untuk melakukan pekerjaan apapun asal orang melihat dirinya secara utuh tanpa di kaitkan dengan keluarga.

Sayangnya usaha itu sia sia belaka. Kebesaran bapaknya seakan slalu menutupi dan membayangi dirinya dimanapun ia berada. Ranu benar benar jengkel, mereka selalu menuduh dirinya nepotisme. Orang tidak mau melihat bagaimana ia harus berusaha mati matian supaya berhasil. Bahkan teman dekatnya slalu berbisik bisik, saat dirinya meraih sebuah prestasi.

Ranu merasa gerah, hatinya geram dan marah melihat tidak ada keadilan sama sekali. Satu satunya cara untuk lepas dari itu semua adalah harus pindah sekolah, di luar kota atau ke mana saja yang penting ia di akui keberadaannya.

"Pasti mikir pindah iya, iya kan ?," tebak Syafira yang tiba tiba muncul menyadarkan Ranu.

Ranu hanya tersenyum. Cowok tanggung ganteng yang dingin itu agak kikuk dan malu di tebak terang-terangan cewek cantuk adik kelasnya itu.

"Ah, sok tahu aja kamu!," sanggahnya sambil mengangkat es teh ke bibirnya.

"Mau bakso, Mas ?,"

"Makasih deh, tapi lagi gak selera nih!,"

"Aku yang bayarin ya ?,"

"Makasih, kalau kamu mau, makanlah biae aku yang bayar!,"

Syafira mengangguk, kemudian duduk di depan Ranu.

"Bakso,Pak!" teriak Syafira "Mas ikut LKIR lagi yuk ?" ajak Syafira mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Malas lagian kalau menang di kira bapakku nyogok lagi!,"

"Sudahlah, Mas, mereka itu hanya iri. Kalau Mas mau ikut kelompokku, kami tanggung beres. Habis kami belum pengalaman tulis menulis. Mau ya, Mas ?," bujuk Syafira.

Sabuk Kyai [SEGERA DI FILMKAN]Where stories live. Discover now