"Mbak Nila boleh ngomong apa saja tentang saya. Mbak juga boleh memfitnah saya sesuka Mbak, tapi jangan pernah berani menghina anak-anak saya," kata mama Ambar dengan suara tegas meskipun suarany bergetar. Dari tatapannya, jelas menggambarkn kemarahan yang setinggi gunung.

"Gila kamu, Nil. Benar-benar hilang akal kamu," kata papa setelah menarik mundur mama Ambar untuk meredam emosinya. "Kamu bukan orang bodoh, Nil. Jangan menyumbat otakmu dengan kedengkian di hati. Kehamilan bisa terjadi meski pernikahan baeu seumur jagung. Kamu enggak lupa cara menghitung usia kandungan, kan? Kamu juga enggak lupa, kan, kalau setiap wanita itu kesuburannya beda-beda. Jangan hanya karena kamu butuh waktu satu tahun untuk mendapatkan Maira, lantas semua wanita harus sama sepertimu."

Mama menggeleng kesal. "Bohong!" teriak mama. Dia juga meraih vas bunga yang ada di dekatnya, kemudian melemparnya hingg nyaris mengenai mama Ambar.

"Hanya karena Mbak berselingkuh, lantas semua orang Mbak nilai sama seperti kelakuan Mbak," kata mama Ambar.

Ucapan mama Ambar kembali menyulut api amarah mama jauh lebih besar dari sebelumnya. Mama bersiap menerjang mama Ambar. Dengan cepat aku berlari ke arah mama Ambar. Aku berdiri tepat menghalangi mama Ambar hingga pukulan mama mengenai bahuku. Enggak ada satu orang pun yang enggak terkejut dengan kehadiranku.

Mama Ambar langsung memelukku sambil mengusap bahuku yang kena hajar mama. "Kamu enggak apa-apa, Mai? Lengannya sakit enggak?" tanya mama Ambar. Dari wajahnya terlihat betul ia panik bercampur khawatir.

Aku baru akan menyahuti mama Ambar saat lenganku yang lainnya di tarik menjauh dari mama Ambar.

"Jangan sok baik sama anakku!" hardik mama.

Aku melepaskan pegangan mama. Kutatap matanya dengan lekat. Mamq teelihat bingung dengan sikapku. "Apa benar yang papa omongin, Ma?" tanyaku sambil menahan sesak di dada. Mama menggeleng, tapi enggak bisa berkata-kata. "Jawab aku, Ma. Apa klian cerai karena mama selingkuh?" desakku lagi.

Mama enggak bisa menjawab. Bibirnya hanya bergerak-gerak tanpa mengeluarkn sepatah katapun.

Tuhan, jadi benar selama ini mamalah penyebab kehancuran keluarga ini? Jadi selama ini aku hanya diperalat dan mama berhasil mencuci otakku dengan hasutan jahatnya?

"Maira sayang. Dengar mama dulu, Nak." Mama mencoba membelai rambutku, tapi dengan cepat aku menjauh dari gapaian mama. "Mama memang salah, Nak, tapi mama yakin seratus persen kalau saja perempuan oni enggak datang di kehidupan kami, papamu pasti akan kembali pada mama, Nak."

Hah? Apa katanya kembali?

Aku menggeleng. Kupejamkan mata merasakan setiap kekecewaan dan getir yang menyerang jiwaku. "Maira kecewa sama mama." Akhirnya hany kalimat itu yang mampu kuucapkan. "Lebih baik sekarang mama pulang."

"Enggak," tolak mama. "Mama emggak bakal pulang sebelum ngasih pelajaran sama pelakor ini."

"Cukup, Ma. Tante Ambar bukan pelakor. Enggak ada yang ngerebut papa, yang ada hanya mama yang menyia-nyiakan papa. Sekarang lebih baik mama pulang," kataku mencoba membangunkan mma dari kehaluannya.

"Enggak. Mama enggak bakal pulang. Kita hampir berhasil, Mai."

"Pulang atau aku telepon polisi? Mama sudah bikin keributan di sini. Apa mama mau nama mama masuk ke kolom berita? Mencoreng nama mama karena berurusan dengan penegak hukum?" ancamkh yng bukan sekadar isapan jempol. Kali ini mama enggak melawan. Karir dan citranya adalah hal utama bagi mama.

Aku membawa keluar mama sambil menelepon taxi. Enggak kubiarkan mma berlama-lama di dalam rumah. Aku enggak ingin mama semkin membuat kekacauan. Waktu lagi menunggu taxi, ponselku berbunyi. Nama Erlangga muncul dj layarnya.

BRAINWASH (COMPLETED)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن