The Missing Guy

3K 508 23
                                    

"Bisakah kamu berhenti tersenyum? Aku sedang ingin marah sama kamu, Keynan."

-Dafeeya Raihandoko

****

Sepagi ini kepalaku sudah terasa cukup pening mendengar rentetan revisi pekerjaan dari Pak Wisnu. Belum lagi urusan makan malam semalam masih membuat suasana hatiku tak kunjung membaik. Senin pagiku benar-benar terasa berat.

Sungguh. Berat.

Setidaknya, hari ini datang tepat waktu dan lolos dari omelan Pak Wisnu, tidak seperti Gab.

Gab datang dari arah pintu masuk dengan setelan blazer dan celana biru terang yang dipadukan dengna bandana berwarna kuning neon. Cara berjalannya berjinjit seperti sedang mengumpat-umpat, takut ketahuan Pak Wisnu. Padahal, seperti yang kita tahu bersama, bos kami itu paling hobi mengecek cctv. Jadi, percuma saja berusaha bersembunyi seperti itu. Akhir bulan nanti, Pak Wisnu pasti tak akan absen membahas rekapitulasi keterlambatan datang pegawai.

"Doi sudah datang?" tanya Gab begitu sampai di kubikelnya seraya menunjuk-nunjuk ruangan Pak Wisnu.

Aku memutar bola mataku. "Menurut, lo? Mana pernah dia datang telat?"

"Sialan. Gue dikerjain Adel! Dia bilang hari ini Pak Wisnu cuti," omel Gab menyebut salah satu nama pegawai divisi HRD yang juga akrab dengan kami.

"Kecuali ada angin puting beliung yang nerbangin rumahnya, gue rasa Pak Wisnu nggak akan cuti di hari Senin. Btw, lipstik lo agak belepotan, tuh."

Gab buru-buru meraih kaca di dalam tas dan memeriksa wajahnya. Dia merepet berkali-kali sambil mengaduk-aduk isi tasnya yang nyaris tumpah. Sayang sekali. Isi tas Gab itu kalau ditotal mungkin sebanding dengan dua kali gaji bulananku.

"Kusut banget muka, lo. Nggak ada meeting hari ini?" Gab memperhatikan wajahku yang mungkin tampak seperti habis bangun tidur baginya.

"Another crazy Monday, baby," sahutku kemudian kembali menghadap layar komputerku untuk memperbaiki 5 laporan yang dikembalikan oleh Pak Wisnu.

"Lo udah baca berita tentang laki lo sama si Talita?" tanya Gab dengan santainya yang membuatku mengembuskan napas bagai banteng siap menyeruduk.

"Nggak usah dibahas," balasku ketus.

"Gila, ya, media zaman sekarang. Apa aja diberitain biar jadi duit--"

"Gab..."

"Padahal kalau mereka tau aslinya Keynan kaya apa, duh mana ada yang bakal percaya sih? Boro-boro ngelirik Talita, yang kaya gue aja nggak dilirik sama laki lo--"

Aku menggaruk kepalaku frustrasi. Kuraih sebuah combro di meja kerjaku yang merupakan sisa sarapanku dan kumasukan kue tersebut ke mulut Gab sehingga ia berhenti berbicara.

"Hop!" sahutku. "Jangan dibahas, oke?"

Gab mengangguk mengerti dan melahap combroku utuh-utuh.

"Makasih, ya. Tahu aja lo gue lapar. Tapi mana nyambung sih combro pake Starbucks?"

Aku hanya memutar bola mataku dan tak lagi memedulikan ocehan Gaby. Kukerahkan pikiranku pada pekerjaan hingga pesan dari Kara masuk.

Kara Mega Adikusuma: Nanti malam diajak dinner sama Deon dan Bian di restonya.

Kara Mega Adikusuma: Mereka mau lo dan gue jadi orang yang pertama nyoba proyek menu baru kolaborasi mereka.

Kara Mega Adikusuma: Lo bisa, kan?

Dafeeya Raihandoko: Sori, kayaknya gue pass dulu kali ini.

The Great Teacher My FiancéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang