Before the Big Day

980 174 4
                                    

Dua minggu menjelang hari pernikahan. Aku dan Keynan nggak lagi meributkan soal Talitha ataupun Bian. The storms are still there. Aku masih melihat berita mengenai Talitha yang masih terus berputar dengan kegiatan pekerjaan Keynan. Bian entah kenapa sepulang dari Bali lebih sering mengirimkan sinyal-sinyal aneh buatku. Aku pernah menerima sekotak coklat berbentuk hari pada hari Valentine darinya. Dengan alasan itu adalah produk yang ia kirimkan kepada seluruh pelanggan setia restorannya, Keynan masih bisa memaklumi walaupun aku tahu dari wajahnya, Keynan kelihatan sangat siap mencekik Bian. Nggak hanya itu, hubungan Dhafa dan Bian semakin akrab. Mereka sering main game bersama, sampai Keynan berkata, "Aku nyesel ngirim Dhafa ke Bali karena sekarang dia justru jadi makin akrab dengan Bian." Aku nggak bisa menahan tawaku waktu melihat wajah ngambek Keynan.

Secara resmi, aku sudah mengirimkan pengunduran diriku ke kantor. Pekan ini adalah pekan terakhir aku akan bekerja sebagai bawahan Pak Wisnu. Meski mukanya kelihatan sebal setengah mati. Menerima surat pengunduran diriku, Pak Wisnu tetap menyetujui pada akhirnya—tentu dia nggak mau kalau sampai Keynan harus ikut turun tangan. Sekarang aku tinggal membereskan seluruh laporan yang perlu kuselesaikan serta membuat catatan pekerjaan untuk orang yang akan menggantikan posisiku. Selain itu, aku mulai mencicil membawa barang-barang di mejaku pulang. Gab langsung nangis Bombay waktu tahu aku akan segera angkat kaki dari kantor ini.

Nggak seperti biasanya, hari ini Keynan sampai lebih cepat waktu menjemputku pulang. Ia sudah menungguku di lobi sejak setengah jam sebelum jam kerjaku berakhir. Lobi kantorku mendadak jadi ramai. Aku tersenyum waktu tahu karena itu semua disebabkan oleh kehadiran Keynan. Beberapa perempuan sengaja mondar-mandir, bahkan terang-terangan duduk di depan Keynan. Tunanganku itu tetap dengan tenang menuggu sambil membaca majalah. Keynan melambai dengan semangat ke arahku waktu aku datang dan langsung mendaratkan kecupan singkat di pipiku.

"Hei. Gimana kerjaan kamu hari ini?"

Ia mengambil alih barang-barang bawaan hasil merapikan meja kerjaku hari ini dari tanganku. Satu tangannya yang lain menggandeng tanganku menuju mobil.

"Ya... oke. Gab masih merengek supaya aku memikirkan kembali usulan pengunduran diri di kanor. Tapi waktu aku bilang dia harus minta izin ke kamu, nyalinya langsung ciut."

Keynan tersenyum. "Maaf, aku nggak bisa kompromi lagi soal itu."

Kami pulang. Malam ini ada kesibukan yang harus kami urus: merapikan perabotan yang baru dikirim hari Minggu kemarin di rumah Keynan. Keynan berkeras ingin membeli lemari baru karena lemari pakaiannya saat ini nggak akan cukup menampung pakaian kami berdua. Sekarang lemari itu sudah ada di kamar Keynan. Sebagai gantinya, kami harus mulai menata kembali pakaian-pakaian Keynan dan pakaian-pakaianku yang akan di taruh di dalamnya.

Selain lemari, masih ada beberapa perabotan lain yang harus disusun. Pada dasarnya, Keynan seperti hampir merenovasi seluruh isi rumah hanya untuk mengakomodasi keinginanku. Kebanyakan bukan karena tuntutanku, tapi karena Keynan sendiri ingin ada sentuhanku di rumah kami nanti. Dia benar-benar ingin aku merasa nyaman di sana. Walaupun menurutku, itu ngga perlu. Rumah Keynan sudah sangat nyaman dan terlalu besar kalau untuk ditinggali oleh kami berdua saja.

"Kamu mau ke rumah jam berapa?" tanya Keynan waktu kami sampai di depan rumahku. Sekarang Keynan mulai membiasakan menyebut rumahnya sebagai "rumah" saja di depanku. Katanya, biar aku nggak lupa belok nanti kalau sudah nikah, berhubung rumah orangtuaku bersebelahan dengan Keynan.

"Kamu makan malam di rumah dulu, kan?" tanyaku. Dia mengangguk. "Ini aku parkir maobil dulu di garasi rumah, habis itu langsung ke rumah kamu."

"Rumah Mama dan Papa," ralatku. Keynan nyengir. "Iya, rumah Mama dan Papa. Sekalian angkutin buku-buku kamu yang masih ada di perpustakaan."

"Oke," jawabku. "Nanti setelah makan malam kita bisa mulai beres-beres lagi. Papa juga katanya mau ikut."

Aku masuk ke rumah sementara Keynan masih memarkirkan mobil di garasi rumahnya.

Kulihat mobil Papa belum ada di garasi. Pertanda Papa masih belum kembali dari rumah sakit. Mama di rumah sedang menata makanan ke meja makan waktu aku sampai.

"Papa di mana, Ma?"

"Ada panggilan dari rumah sakit mendadak tadi sore. Kayaknya pulang malam. Kamu mau pindahan barang lagi, kan?"

Aku mengangguk. "Nanti Mama bantu. Sekalian, Mama mau nyobain kursi pijat yang ada di rumah Keynan itu. Siapa tahu Papa kamu mau beliin."

"Ya udah, nanti habis makan malam Mama ikut aja. Ini masakan udah selesai? Ada yang perlu Fey bantuin lagi?"

"Nggak ada. Udah, kamu bersih-bersih dulu. Keynan makan malam di sini, kan?" tanya Mama lalu sibuk kembali menata gelas di atas meja makan.

"Iya dong, Ma. Nanti kalau Dafeeya lagi nggak masak di rumah, Keynan numpang makan di sini nggak apa-apa, ya?" Aku memutar tubuhku dan mendapati Keynan sedang berjalan mendekatiku dan Mama. Ia mengecup pipi Mama begitu sampai.

"Oh, tentu aja. Mama sih seneng banget kalau suasana makan malam ramai dengan anggota keluarga. Apalagi kalau ketambahan anggota keluarga baru... hehe..."

Aku menyenggol lengan Mama. "Ma... bahas itu nanti aja setelah nikah, ya. Udah ah, aku mandi dulu."

Mama dan Keynantersenyum-senyum saling tatap, senang menggodaku. Semakin mendekati hari pernikahan, Keynan, Mama, Papa, bahkan Dhafa semakin gencar menggodaku dengan omonga-omongan soal "Papa dan Mama mau segera gendong cucu" atau "Dhafa mau punya keponakan yang bisa diajak main". Keynan sendiri nggak mengatakan apapun sih, tapi aku tahu dia senang dalam hatinya. Aku meninggalkan Mama dan Keynan mengobrol di meja makan. Sementara menungguku mandi, Keynan mengambil beberapa karuds buku yang sudah kupisahkan di perpustakaan.

***

"PAPA NGGAK KETINGGALAN SESUATU, KAN? HAL SERU APA YANG LAGI KALIAN OBROLIN?"

Di tengah-tengah perdebatanku dengan Keynan mengenai ke mana sofa berwarna krem yang akan kami letakkan di ruang keluarga ini harus menghadap, Papa tiba-tiba saja berjalan menerobos pintu masuk rumah Keynan. Mama yang sedang menikmati kursi pijat langsung berdiri tegak.

"Pa, udah makan belum?" tanya Mama menghampiri Papa.

"Pantes di rumah kosong. Ternyata pada di sini semua," keluh Papa. "Papa makan malam sendirian."

"Kan Dhafa udah pulang kuliah?" kataku sambil masih berkacak pinggang.

"Nggak ada. Anak itu pergi pacaran. Yang penting jangan balapan aja kayak waktu itu," omel Papa.

Setelah Papa dan Mama sibu berebutan kursi pijat, perdebatanku dan Keynan kembali berlanjut.

"Nanti kan foto pernikahan kita bakal digantung di sebelah sana," aku menunjuk tembok di belakang Keynan, "kayaknya lebih bagus kalau sofanya menghadap ke sini," aku menunjuk ke tembok sisi kananku.

Keynan menggeleng. "Kalau menghadap ke sana, nanti waktu kita menonton akan terdistraksi oleh orang-orang yang sedang bolak-balik di tangga. Gimana nanti kalau kita lagi seru nonton Netflix, terus anak-anak kita sibuk lari-larian di tangga?" tanya Keynan.

Keningku mengernyit mendengar alasan Keynan. "Kalau anak-anak kita nanti lari-larian di tangga, ya seharusnya kita jagain mereka dong, Keynan, bukan asyik nonton Netflix!"

Aku dan Keynan sama-sama terdiam. Memikirkan seberapa jauh obrolan kami telah berlangsung. Belum apa-apa, kita sudah melompat jauh ke depan. Aku dan Keynan seketika terbahak.

"Oke, fine. Sampai sebelum kita punya anak, sofa ini akan menghadap ke dinding tangga. Gimana?" tawar Keynan.

Aku mengangguk. "Setuju."

Sekarang, tinggal mendebatkan letak beberapa perabotan lainnya. Selama mengatur rumah ini, aku sudah beberapa kali berdebat dengan Keynan. Kurasa ini seperti latihan kecil sebelum memasuki kehidupan rumah tangga sebenarnya. Sejauh ini, kami nggak pernah berdebat terlalu panjang. Entah Keynan atau aku akan saling mengalah karena hubungan kami lebih penting daripada ego kami masing-masing. Itu pelajaran yang kami petik dari permasalahan Talitha dan Bian. Aku dan Keynan jadi lebih bisa mengendalikan ego kami masing-masing.

****

The Great Teacher My FiancéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang