AM I ASKING FOR YOUR HELP?

1.9K 327 16
                                    

Setelah berhasil mengatasi rasa terkejutnya, Adhara meminta Canis membereskan pakaian dalam dan kotak yang tercecer.

"Apa Ibu mau saya melaporkan kejadian ini ke pihak berwajib?" Canis menatap kardus berisi celana dalam di genggamannya. "Ini meresahkan."

Adhara menggeleng. "Tolong, simpan saja kotak itu, dan jangan biarkan ada yang tau," pintanya.

Canis mengangguk mengiyakan, meski otaknya bertanya-tanya tentang siapa pelaku yang berani melakukan ini kepada bosnya. Dilihatnya Adhara, wajah wanita itu tidak lagi sepucat tadi.

"Uhm, apa bisa bantu aku mengecek CCTV? Aku ingin tau siapa yang meletakkan kotak ini di ruanganku." Adhara menatap Canis, lalu berjalan menuju kursi kerjanya setelah mengatakan permintaan barusan.

"Baik, Bu. Akan saya coba cari tau." Canis menyahut. Namun, ketika dilihatnya Adhara mematung di kursi kerjanya, Canis merasa yakin kalau kejadian ini pasti sedikit banyak membuat wanita itu merasa terguncang. "Saya akan berada di meja saya kalau-kalau Ibu membutuhkan saya," kata Canis lagi, yang tidak direspon sama sekali oleh Adhara.

Pemuda itu pun keluar dari ruangan dan bergegas ke mejanya. Dibukanya laci terbawah dari deretan laci di kolong meja, dan menjejalkan kotak laknat itu di sana.

Setelahnya, sesuai dengan instruksi dari Adhara, dia menelepon ke kepala security gedung kantornya. Permintaannya sudah pasti adalah rekaman CCTV ruang kerja Adhara mulai pukul 6 sampai dengan 8:30 pagi ini.

Setelah mendapatkan kepastian kalau rekaman tersebut itu akan di kirim segera ke emailnya, Canis menatap kembali ruangan yang sudah tertutup rapat di hadapannya. Bertanya-tanya tentang apa yang akan dilakukan Adhara setelah ini.

Sementara di dalam ruangan Adhara terlihat sedang berpikir keras. Coba direka-rekanya siapa yang mungkin melakukan hal mengesalkan ini padanya. Dan pikirannya jatuh pada Steve. Bukankah pria itu semalam meneleponnya dalam keadaan mabuk, dan mengancam akan menyebarkan kelakuan buruknya? Apakah celana dalam berbercak darah tadi, adalah awal mula dari bagaimana Steve membuktikan ancaman?

Sial sekali!

Cepat Adhara meraih tas dan mengambil ponselnya dari sana. Dipanggilnya nomor Steve, begitu ditemukannya nomor itu di urutan daftar telepon.

Beberapa kali terdengar dering, kemudian mati tanpa diangkat. Tetapi, Adhara tidak mundur. Sekali lagi diteleponnya nomor Steve. Hampir putus asa karena tidak juga diangkat, tiba-tiba saja suara serak terdengar di ujung sana.

"Pagi, Sayang ...."

Ponsel yang nyaris digeletakkannya ke meja, kembali direkatkan ke telinga.

"Adhara?"

Adhara menghela napas berat, bermaksud mengusir segala rasa yang seakan memenuhi dada sedari tadi. Sebelum akhirnya wanita itu menyahut, "Kenapa kamu ngelakuin hal itu, Steve?"

Sempat hening sejenak sebelum Steve berkata, "Apa kamu kesal karena aku menelepon semalam? Aku mabuk, maaf. Tapi aku benar-benar mau kita baik—"

"Steve!" Adhara meninggikan suara. Kesal rasanya mendengar pria di seberang telepon ini, berpura-pura bodoh. Jelas ini bukan mengenai teleponnya.

"Kenapa kamu begitu kesal? Aku bahkan belum sadar sepenuhnya dari mabuk semalam. Aku benar-benar mau minta maaf dan—" Steve sepertinya benar-benar hendak meminta maaf, tapi Adhara kembali memotong ucapannya.

"Bukan itu!" sentak Adhara lagi, membuat Steve kembali bungkam. Adhara benar-benar sedang tidak peduli dengan kata maaf, mabuk, dan baikan. "Kenapa kamu mengirimkan kotak sialan berisi benda menjijikkan itu? Apa kamu sedang membuktikan ancamanmu semalam?"

Sparkling AdharaWhere stories live. Discover now