CALL MY NAME

1.4K 330 37
                                    

"I-itu pi-pisau." Adhara gemetar. "I-itu pisau, Canis!" Ditutupnya monitor dengan kasar. Jantungnya berdebar hebat, tidak menyangka dengan apa yang dilihatnya di monitor. Bukan hanya ancaman? Apa kali ini dirinya akan dibunuh?

"Kenapa Ibu belum juga lapor polisi? Kenapa Ibu tidak pernah mendengarkan saya sekali saja. Kenapa, Adhara!" Canis benar-benar geram. Dengan sengaja dipanggilnya bos-nya itu dengan sebutan nama. Membuat Adhara yang meski masih ketakutan, tergelitik egonya.

"Kamu panggil aku apa?" tanya wanita cantik itu dengan kening berkerut.

"A-Adhara ...." Canis bergumam, kikuk ditanya seperti itu oleh wanita yang selalu membuatnya kagum. Tetapi, sejurus kemudian kepalanya kembali tegak, wajahnya dibuat seserius mungkin. "Adha---"

"Berani sekali kam---"

"Adhara, Adhara, Adhara! Memangnya kenapa kalau aku manggil wanita yang aku sukai dengan namanya?!" Dipandangnya Adhara dengan tegas, berusaha menguatkan hati agar tidak rontok dan jantung tidak berpindah tempat. Sial! Mengapa perasaannya minta diakui dalam situasi seperti ini?

Adhara menganga, tidak menyangka harus mendengarkan omongan segamblang barusan sekarang. Tetapi dirinya tidak bisa berbohong, ada yang menari-nari lincah di hatinya.

"Ma-maaf. Apa saya mengganggu?" Sebuah suara dari arah pintu, yang ternyata sejak tadi tak tertutup, terdengar. Keduanya menoleh ke sana dengan terkejut. Devi---HR bertubuh tambun---terlihat berdiri dengan dokumen dalam pelukan, senyumnya terlihat aneh. Senyum serba salah, tetapi penuh arti.

Adhara menatap tajam ke arah Devi, sementara Canis menarik napas panjang penuh rasa pasrah. Pemuda itu yakin, Devi si mulut besar, pasti mendengar apa yang tadi dikatakannya. Seketika drinya merasa bodoh karena bisa lupa menutup pintu.

"Saya butuh approval Ibu untuk beberapa kandidat karyawan baru." Devi mengulum senyum, tatapannya penuh arti sekilas pada Canis.

Pemuda itu tentu saja segera membuang pandangan ke arah lain. Dia mengutuk dirinya sendiri lebih banyak dari yang sudah-sudah.

"Kalau begitu mendekat. Kenapa masih berdiri di depan pintu?" Adhara terlihat santai.

Devi segera berjalan mendekati Adhara, senyumnya terkulum tidak jelas. Bahkan suara tawa sekilas lepas dari bibirnya, tapi berhasil ditahan hingga terdengar seperti batuk yang gagal keluar dari kerongkongan.

Adhara membuka salah satu dokumen yang diletakkan Devi dengan sopan di meja. Matanya mengamati resume kandidat pada kertas yang ter-print rapi.

Tanpa melepas pandangan dari atad kertas, wanita itu bertanya, "Kamu mendengar sesuatu tadi?"

Devi yang berdiri di sisi meja terhenyak. "Ti-tidak, Bu."

"Bagus." Adhara mengangguk. "Karena kalau kamu mendengar sesuatu tadi, dan rumor-rumor aneh terdengar di luar pintu ruang kerjaku setelah ini, artinya ada yang harus segera angkat kaki dari kantorku."

Devi membeku. Dia tahu kalau ancaman itu ditujukan untuknya. Keringat dingin mulai membasahi keningnya.

"Tetapi ...," Adhara melanjutkan, "kalau semuanya baik-baik saja seperti biasa, aku bisa mempertimbangan kenaikan gaji pada penilaian tahunan nanti." Wanita itu mendongakkan kepala dan menyodorkan kembali dokumen yang belum ditandatangani.

Devi cepat-cepat meraih dokumen dari bos-nya. "Saya tidak mendengar apa-apa, Bu," katanya.

"Aku tahu." Adhara tersenyum manis. "Dan tolong agar user-user dari calon kandidat itu memberikan approval dulu, sebelum kamu serahkan dokumennya padaku."

Sparkling AdharaWhere stories live. Discover now