DUA PULUH SEMBILAN

38 4 1
                                    

Sesuai yang dibayangkan Ryan, akhirnya Azkia memberikan alamat rumahnya. Tanpa basa-basi lagi, seketika ia mematikan teleponnya dan langsung menuju ke rumah Azkia untuk menjemputnya. Biarkan saja Azkia berpikir keras dulu tentang orang yang tiba-tiba menghubunginya lalu mematikannya begitu saja. Dan pada kenyataannya, itulah yang terjadi. Azkia spontan mengangkat sebelah alisnya, bingung sendiri dengan laki-laki ini.

"Semoga cowok tadi gak ada maksud buruk," kata Azkia pelan kepada dirinya sendiri.

*****

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Ryan langsung melancarkan niatnya untuk menuju ke rumah sang pujaan hati. Ia bertekad, mulai hari ini akan selalu mengantar-jemputnya kemanapun ia akan pergi. Sembari menyetir, Ryan mengecek ponselnya sebentar, melihat alamat rumah Azkia yang tadi ia katakan pada dirinya. Rupanya memang benar, jarak antara Restoran dan rumah baru Azkia saat ini, tidak terlalu jauh. Tapi memang lumayan memakan sedikit waktu. Bagi Ryan, tak apa! Jika memang ingin mendapatkan sesuatu yang istimewa bak mutiara di dalam kerang lautan terdalam, maka ia harus mau berusaha. Walaupun nantinya, ia harus sedikit telat untuk sampai ke Kantor.

Sebenarnya, suatu hal yang mengherankan. Beberapa hari ini, Danang tak pernah menanyainya perihal pekerjaan yang diembannya saat ini di Kantor Cabang. Entah karena ia memang sibuk atau sudah mempercayai Ryan untuk pekerjaan ini. Atau mungkin, karena alasan lain. Ya, itu tidak penting, bukan? Seharusnya, Ryan bersyukur karena sang Ayah kini tidak terlalu sering bertanya padanya. Sebagai hadiahnya, Ryan akan menghadirkan sosok bidadari cantik nantinya. Namun bukan untuknya, melainkan untuk dirinya sendiri. Yakni, seorang istri untuk Ryan dan menantu untuk Danang. Bukankah Azkia memang terlihat seperti bidadari? Ah, memikirkan ini membuat Ryan tak henti-hentinya menertawakan dirinya sendiri.

Di lain tempat, Azkia tengah membantu sang Ibu di dapur. Yang dibantunya memang bukanlah pekerjaan yang berat, sampai harus mengeluarkan keringat. Azkia hanya membantu pekerjaan yang ringan-ringan saja. Berhubung dirinya sudah bersiap untuk berangkat ke Restoran nanti, hanya tinggal menunggu Rizki untuk menjemputnya.

Beberapa kali, Azkia menatap Fathimah, Ibunya, dalam jangka waktu singkat. Ia ingin menanyakan sesuatu, yang tentunya berhubungan dengan Kakaknya, Andre. Akan tetapi, Azkia takut ini adalah masalah pribadi antara Ibu dan anak lelakinya, yang Azkia sendiri tidak tahu-menahu masalah apa sampai bisa membuat jarak tak kasat mata antara keduanya.

"Ma," Azkia mencoba memberanikan diri untuk memulai.

"Iya, kenapa?" balas Fathimah dengan lembut sembari memotong-motong sayuran.

"Mama sayang Kia?" baiklah! Ini adalah pertanyaan basa-basi, karena tidak mungkin jika ia langsung menanyakan hal inti. Azkia ingin sedikit melatih perkataannya.

"Kamu itu nanya atau gimana?" jawab Fathimah lagi dengan pertanyaan.

"Tanyalah, Ma. Sayang atau gak?"

"Ya, sayang dong. Masa sama anak sendiri gak sayang," Fathimah menyematkan senyuman manis di bibirnya setelah mengatakan kalimat tadi.

"Kalau sama Bang Andre, berarti sayang juga dong?"

Senyuman perlahan menghilang dari bibir cantik Fathimah dan Azkia melihatnya sendiri. Senyuman sang Ibu memudar. "Kenapa, Ma? Kok diam?"

"Kia, tolong ambilin wortel di kulkas, ya," Fathimah mengalihkan pembahasan yang sangat kentara oleh Azkia.

Azkia menuruti perintah sang Ibu dan langsung mengambilkannya. Tetapi, bukan berarti ia melupakan pertanyaan tadi. "Ini, Ma." Azkia meletakkan plastik berisi wortel di depan Fathimah. "Sayang, kan, Ma?" Sambungnya lagi.

Fathimah membisu, gelagatnya terlihat bingung. Azkia bisa melihat itu dari wajah sang Ibu sendiri. Belum sempat Azkia kembali meluncurkan pertanyaan, suara klakson mobil terdengar dari luar.

"Nah, itu Rizki udah datang. Sana gih, berangkat. Terima kasih udah bantuin Mama, ya, Sayang," Fathimah mengecup manja sang anak di keningnya.

Azkia hanya bisa menghela napas penat, mungkin lain kali ia bisa bertanya kembali. "Ya udah, Ma. Aku berangkat, ya?" Azkia menyalimi Fathimah dan mencium punggung tangannya, lalu mengucapkan salam. "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Setelahnya, Azkia melangkahkan kaki keluar. Melirik arloji yang melingkar cantik di pergelangan tangannya, ternyata ini lebih awal dari biasanya Rizki menjemput. Sesampainya di luar, Azkia tak mendapati keberadaan mobil Rizki. Melainkan sebuah mobil sport berwarna putih yang ada di depan rumahnya.

'Ini mobil siapa?' tanya Azkia di dalam batinnya.

Dari luar kaca mobil, Azkia sama sekali tak bisa melihat orang yang ada di dalamnya. Namun beberapa detik kemudian, pintunya terbuka menampakkan seorang laki-laki berpakaian rapi dengan jas hitamnya, sepatu hitamnya terlihat begitu mengkilat seperti baru saja disemir. Jika bertanya bagaimana wajahnya? Tentu saja begitu tampan, ditambah dengan perawakannya yang tinggi dan tegap membuatnya nampak semakin gagah dan terlihat lebih dewasa. Dan jangan melupakan hidungnya bak perosotan dengan warna kulit bersih. Siapa lagi dia kalau bukan pangeran berkudanya dulu? Dia adalah Ryan Putra Aditama. Jika dulu dia adalah Pangeran, sekarang ia nampak seperti Raja. Lantas, bagaimana ia bisa sampai di sini?

Ryan berjalan memutar ke samping berniat membukakan pintu untuk Azkia masuk. "Ayo, Tuan Putri! Kita berangkat sekarang," Ryan membukakan pintu mobil dan mempersilakan Azkia bak seorang Pangeran kepada Putri.

Azkia bergeming. Ia tetap di tempatnya. Mengapa laki-laki ini bisa sampai di sini? Ah, pertanyaan konyol! Bukankah dia bisa melakukan apapun yang diinginkan. Rasanya tak perlu heran lagi, tetapi Azkia masih sulit menetralkan rasanya yang bergejolak dengan tiba-tiba.

*****

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 11, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hijrah Cinta [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang