DUA PULUH LIMA

28 3 0
                                    

Bagas masih setia memantau Azkia dan Arsen dari kejauhan. Ia benar-benar tidak bisa mendengar apapun. Bahkan, sekarang ia mulai bosan.

"Kemarin aku coba pelajari tentang ini, tapi sampai sekarang aku belum paham," kata Arsen disela-sela diskusinya bersama Azkia.

"Hmm ... coba kita pelajari bareng-bareng deh. Kayaknya lumayan butuh konsentrasi, nih, biar paham," balas Azkia seraya memandangi buku di hadapannya. "Eh, aku buatin minum dulu aja, ya, Sen." Azkia menawari.

"Oh, oke!"

Azkiapun bergegas untuk membuat 2 gelas kopi panas. Sepertinya itu akan cocok menemani belajarnya. Tak lama, Azkia kembali membawa nampan berisi 2 cangkir kopi dan juga cemilan ringan. Bagas masih memperhatikan. "Wah, gue curiga si Arsen lagi berusaha mengikis jarak sama Kia. Enaknya gue ngapain, ya?"

Cling!

Bak muncul sebuah lampu bohlam yang bersinar terang di atas kepalanya, membuat Bagas memunculkan ide cemerlangnya. "Mbak!" Teriak Bagas lumayan keras dan tentunya dengan suara yang dibuat-buat.

Azkia hanya bisa menelan ludahnya, kesal, mendengar orang yang satu itu. Maya yang mendengarnya pula, langsung menuju ke meja Bagas. "Iya, Mas."

"Saya mau pelayan yang tadi, bukan kamu," titah Bagas dengan suara lebih dibesar-besarkan lagi.

"Mbak Azkianya lagi belajar, Mas. Mungkin Mas bisa minta tolong saja aja, ya."

"Loh? Ini Restoran apa Sekolahan sih? Udah Restoran kecil, pelayannya cuma 2, galak-galak lagi. Cih! Bagus apanya?" kelihatannya Bagas malah mencari masalah.

Di sisi lain, Azkia masih berusaha menahan emosinya. "Siapa sih itu?" Tanya Arsen sembari memandang ke arah meja Bagas.

"Orang baru datang tadi pagi. Tapi kelakuannya, Sen! Astagfirullah."

Merasa belum digubris sasarannya, Bagas kembali melancarkan aksinya. "Saya gak terima, ya, sama pelayanan di sini! Masa yang sana diladenin, sampai ditemenin, behhh! Lah saya? Heleh! Boro-boro."

Kesabaran sudah tak bisa digunakan lagi, emosi Azkia melonjak. Ia berjalan dengan cepat ke arah Bagas dan diikuti oleh Arsen di belakangnya.

Brak!

Azkia memukul meja yang ada di hadapannya membuat semuanya terkejut. Maya langsung berusaha menenangkan Azkia. "Mas bisa gak sih gak membuat keributan? Kalau Mas mau pesan apa-apa, tinggal bilang, Mas. Kalau Mas gak suka sama pelayanan yang ada di sini, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya!" Azkia mengatupkan kedua telapak tangannya. "Ini memang bukan Restoran mewah, bahkan mungkin gak pantas disebut sebagai Restoran. Tapi kami selalu berusaha memberikan pelayanan terbaik."

Bagas terdiam. Kata apa yang harus ia ucapkan lagi? Jika sudah begini, besok dia tidak akan bisa datang lagi ke sini.

"Daritadi juga Mas sudah kami layani, sudah kami tawari, Mas mau pesan apa? Tapi coba Mas bercermin sana, udah sopan belum etikanya?" sambung Azkia lagi.

"Kia, udah-udah. Coba tenang, tarik napas dulu," ujar Maya berusaha menenangkan.

"Orang kayak gini tuh, perlu diingatkan, Mbak! Mentang-mentang dia orang kaya, dia bisa berlaku seenaknya gitu sama orang lain? Ingat! Bumi itu berputar. Kalau sekarang kamu di atas, suatu saat kamu bakal ngerasain di bawah."

Bagas berusaha menjawab sebisa mungkin. "Kok kamu jadi marah-marah sama saya?" Tanya Bagas terbata-bata.

"Saya itu memperingatkan, bukan marah. Jangan pikir perempuan itu gak bisa melawan, ya, Mas!"

"Ya ... ya udah, saya minta maaf deh."

"Lain kali, Mas harus belajar beretika yang baik."

"Iya, saya salah. Udahlah Mbaknya jangan marah-marah terus, nanti pacarnya takut tuh," Bagas berusaha memancing.

"Pacar? Pacar yang mana maksud kamu?"

"Lah itu," Bagas menunjuk ke arah Arsen.

Arsen yang ditunjuk hanya terdiam, sedangkan Azkia menyanggahnya. "Saya gak punya pacar, Mas. Dia itu teman saya."

"Oh, gitu," Bagas mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Ya udah, Mas kalau memang mau pesan, silakan! Saya permisi," Azkia mengajak Arsen ke tempat awal mereka duduk tadi.

Sementara Bagaspun, kembali duduk lalu memesan makanan dan minum pada Maya. Rupanya berpura-pura juga menguras tenaga. Tak lama setelahnya, beberapa orang mulai berdatangan ke Restoran. Untunglah, sudah tidak ada keributan di sini. Kalau tidak, mungkin mereka akan mengurungkan niatnya untuk makan di sini.

Bagas memperhatikan setiap pengunjung yang datang adalah seorang laki-laki muda, bisa dibilang seumuran dengannya ataupun sedikit lebih tua. Sampai ia tersadar, Arsen mulai melangkah keluar dari Restoran dan Azkia sudah tidak ada lagi di meja tadi. Kemana perginya Azkia?

Bagas segera menyelesaikan makannya, lalu berjalan menuju Maya. Di sana ia membayar lebih makanan yang ia pesan, tentu saja ia tidak akan melakukan hal itu bila Ryan tidak memberi uang lebih padanya. Setelahnya, ia bertanya perihal Azkia masih dengan lagak sok sombongnya. Jujur saja, sedikit sulit untuk bersikap seperti itu, karena aslinya ia lebih ke sifat yang mudah bergaul dengan banyak orang. "Mbak."

"Iya, Mas. Ada yang bisa saya bantu lagi?" tanya Maya menanggapi.

"Hmm ... ini biasanya emang ramai sama cowok gini? Ya, ada ceweknya juga sih, tapi kan dominan cowoknya gitu," Bagas mulai berbasa-basi.

Maya tersenyum manis sebelum menjawab. "Ya, begitulah, Mas. Maklum, Mbak Azkia kan cantik, ramah, cerdas juga, jadi banyak yang naksir."

"Ah, masa sih ramah? Tadi marah-marah sama saya?"

"Ya, itu karena Masnya juga gak bisa sopan sama dia, Mas. Azkia itu anaknya lemah lembut, tapi bisa keras juga."

"Emang yang punya Restoran ini Azkia?"

"Iya, Mas," Maya menjawab setiap pertanyaan laki-laki di hadapannya sambil mencatat sesuatu di sebuah buku jurnal.

"Emang orang tuanya gak bisa biayain apa?"

"Bukan begitu, Mas. Orang tua sudah pasti insya Allah menyanggupi biaya anak-anaknya, tapi ya gitu, sebagai anak juga kan, kadang pasti berpikir gimana caranya biar gak perlu ngerepotin orang tuanya lagi. Apalagi orang tuanya Azkia dulu pernah mengalami kebangkrutan."

"Oh, bangkrut," Bagas menjawab dalam hati.

"Aduh, Mas, saya jadi banyak bicara, ya? Maaf, Mas," Maya tersenyum kikuk sendiri.

"Eh, gak apa-apa, Mbak. Kan saya juga yang nanya. Terus Azkianya kemana, Mbak?"

"Dia di ruangannya, Mas, kalau udah jam segini."

"Loh? Kenapa? Emang Mbak gak kewalahan ngeladenin sendiri?"

"Mau gimana lagi, Mas? Kalau Azkia keluar, yang ada ini orang-orang pada modus semua. Kebetulan juga, kemarin Azkia udah dapat 1 karyawan baru buat bantu-bantu."

"Oh, gitu. Ya udah, Mbak, terima kasih infonya. Besok saya datang lagi. Permisi!" Bagas berjalan ke arah luar pintu Restoran tanpa memberikan jeda bagi Maya untuk menjawab.

"Kok dia itu aneh, ya? Apa lagi mata-matain Azkia? Astagfirullah, gak boleh su'udzon, May!" Maya melanjutkan kembali pekerjaannya.

******

To Be Continued!

Hijrah Cinta [Hiatus]Where stories live. Discover now