Azkia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, dan ia mendapati seorang memakai jaket hitam, dengan topi hitam di atasnya, dan juga kacamata hitam yang menutupi indra penglihatannya. Hal itu membuat Azkia menanyakan kehadiran laki-laki itu pada Maya. "Mbak May." Azkia memanggil Maya dengan suara berbisik.

"Hmm," Maya menghiraukan namun tanpa menengok sedikitpun, ia fokus dengan kerjaannya.

"Itu siapa, sih?"

Maya berjalan lebih dekat pada Azkia lalu berkata. "Gak tau. Tuh orang udah datang dari sebelum Mbak buka Restorannya."

"Mau ngapain?"

"Ya, mau makanlah, Kia. Dia bilang, teman-temannya pada cerita kalau makanan di sini itu enak-enak, tempatnya juga nyaman. Nah, dia mau buktiin sendiri deh tuh katanya."

"Udah bilang mau pesan apa?"

"Belumlah, Kia. Orang Restorannya baru dibuka. Tadi Mbak udah nyuruh pulang dulu, nanti sekitar jam setengah 8, balik lagi ke sini. Eh, dia ngotot gak mau."

"Gak mencurigakan, Mbak, orangnya?"

"Enggak kok, biasa aja. Tadi loh orangnya ngomong sama Mbak kacamatanya dilepas, ya biasa aja raut wajahnya itu. Gak ada tampang-tampang kriminal."

"Yah, Mbak. Namanya pelaku kriminal sekarang mah gak kenal bentuk muka, yang ganteng juga bisa jadi pelaku kriminal."

"Tuhkan! Udah ghibahin orang pagi-pagi, malah ditambah su'udzon!"

"Astagfirullahal'adzim. Maaf, Mbak, gak maksud kayak gitu."

"Ya udah, itu mau dilayanin dulu atau gimana?"

"Dilayanin dulu deh, Mba, biar cepet pergi."

"Ya udah, kamu aja gih sana. Biar gak su'udzon sama orangnya."

"Iya."

Azkia menghampiri laki-laki yang duduk sembari membaca koran yang tentunya menutupi wajahnya. "Permisi, Mas."

Lelaki itu tertegun, ia seperti mengenal suaranya. Sedikit mengintip dari balik koran, akhirnya terlihat pula wajah dari wanita yang menyapanya barusan. "Hmm." Jawab lelaki itu singkat. Jika kalian menebaknya adalah Bagas, maka jawabannya adalah benar.

"Mau pesan apa, Mas?" tanya Azkia lagi menawari.

Dengan suara lebih dibulatkan, Bagas menjawab. "Saya belum lapar."

Azkia membulatkan matanya, dalam hatinya ingin sekali ia berkata bahwa laki-laki di depannya ini adalah orang aneh. Namun Azkia berusaha mengontrol dirinya. "Kalau begitu, Masnya pulang dulu, terus nanti sekitar jam setengah 8 atau jam 8, Mas balik lagi ke sini. Pasti jam segitu udah lapar."

"Loh? Hak saya dong kalau mau di sini. Saya mau pesan air mineral."

"Astagfirullah! Harusnya kalau mau beli air mineral doang, kan, bisa di warung. Masih pagi udah buat kesel aja," batin Azkia.

"Iya, Mas, sebentar."

Azkia berjalan ke belakang dengan tampang cemberut. Begitu malas rasanya ia melayani orang seperti itu. "Mbak, ambilin botol air mineral satu." Kata Azkia seperti mendengus kesal.

"Eh, jangan disiram orangnya, Kia!"

"Siapa yang mau nyiram sih, Mbak? Itu orangnya minta air mineral doang. Kasih aja deh, gratis. Mbak aja yang kasih, ya? Kia males ngeladenin orang kayak gitu."

Maya hampir meledakkan tawanya kalau saja ia tidak mengatur dirinya sendiri. "Ya Allah, Kia. Serba salah, ya, kamu itu. Ada konsumen yang baik, yang ramah, yang kayaknya itu rata-rata pada naksir kamu, kamu geli sendiri. Nah ini, ada yang cuek, gak sopan, kamu juga gak suka. Kamu maunya itu yang seperti apa?"

Azkia hanya bisa menggaruk kepalanya yang tak gatal seraya tersenyum kikuk.

"Namanya pelanggan di Restoran begini itu udah pasti beda-beda. Kita itu harus sabar ngadepinnya. Kalau modelnya kayak kamu gini, nanti yang ada Restorannya sepi."

"Hehe, maaf, Mbak."

"Ya udah, Mbak ke sana dulu."

Maya pun mengantarkan minum pada lelaki itu yang tak lain adalah Bagas. Sementara Bagas menolaknya dengan cara berdiri dari kursinya. "Kok kamu yang antar? Pelayan yang tadi mana? Bisa-bisanya dia gak ngelayanin saya sampai selesai." Kata Bagas dengan suara sengaja dibesarkan.

Azkia yang mendengar itu sendiri, sukses membelalakkan matanya, geram. "Maunya apa, sih, orang itu?" Tanya Azkia lebih kepada dirinya sendiri.

*****

To Be Continued!

Hijrah Cinta [Hiatus]Where stories live. Discover now