24. TITAH ERLANGGA

Start from the beginning
                                    

Beberapa teman sudah masuk kelas, aku dan Erlangga pun mengikuti. Kami memilih kursi baris keempat tanpa berdebat. Karena biasanya kami suit dulu untuk menentukan duduk di baris keempat, tempat favorit Erlangga atau duduk di baris kedua andalanku. Bukan tanpa alasan aku langsung memilih kursi pada baris keempat. Aku memilih duduk di sini karena samping kiri kanan dan belakang sebagian besar cowok-cowok yang enggak peduli dengan perbincangan orang lain. Berbeda dengan lokasi duduk di barisan depan yang sering didominasi cewek-cewek. Kebanyakan dari mereka kepo, ada yang menguping dan ada juga yang terang-terangan ikut dalam obrolan. Nyebelin banget, kan?

“Aku jadi bingung nih kasih saran apa,” celetuk Erlangga sesaat aku mengakhiri cerita.

“Kamu mau berbagi telinga aja aku udah terima kasih banget loh, Ngga,” sahutku jujur.

“Aduh, ya jangan dong! Kalau telinga kananku kamu ambil, mau diganti apa? Batang pohon?”

“Iya, lumayan bisa dipakai buat nyantolin tas,” ujarku setuju, kami pun tertawa bersama.

“Banyakin istighfar kalau lagi marah, sedih, atau dapat perlakuan enggak enak. Selalu libatkan Allah, Mai. Terutama kalau mau ambil keputusan. Jangan gegabah, jangan sampai sikap atau pilihan yang kamu ambil cuma menguntungkan buat kamu tapi merugikan orang lain.”

“Semua orang punya hak bahagia. Kamu juga, tapi jangan sampai kebahagianmu itu bikin orang lain tersiksa. Kalau dulu kamu diperlakukan enggak baik sama orang, bukan berarti sekarang kamu balas berbuat buruk juga ke orang itu. Udah biarin aja, biar Allah yang membalas. Kamu cukup duduk manis dan tetap berbuat baik. Kalau kamu beruntung nih, Allah sendiri yang tunjukkin gimana hancurnya orang yang udah bikin kamu terluka.”

Kedua mataku berkaca-kaca mendengar perkataan Erlangga. Benar-benar enggak disangka kalau dia bisa bijak begini. Aku terdiam meresapi kembali tiap kata yang diucapkan cowok jangkung ini. Terlebih kerkataannya yang mengenai kebahagiaan. Kuulang dalam hati perkataan Erlangga itu. Jangan sampai kebahagiaanmu membuat orang lain tersiksa, begitu kan? Aku jadi berpikir arti kebahagiaan menurut Papa. Apa keberadaanku? Atau justru adanya Evalia dan Mama Ambar yang menjadi sumber kebahagiaan Papa?

***

Motor Erlangga sudah melaju menjauhi rumah. Segera kututup pintu pagar lalu menguncinya kembali. Aku kaget saat mendapati mobil Papa yang bersanding dengan city car Mama Ambar. Kok tumben Papa sudah pulang. Sambil berjalan cepat kumasuki rumah lalu berjalan menuju ruang tengah. Tempat favorit Papa saat di rumah. Kudapati Papa yang sedang berbincang di telepon. Dengan sabar aku menunggu Papa selesai menelepon. Setelah selesai, aku berjalan berjinjit lalu mengagetinya dari belakang.

“Door!” seruku agak berteriak

“Pintu!” sahut Papa tanpa rasa kaget sedikitpun.

“Kok enggak kaget sih, Pa?”

“Kan Papa sudah tahu kalau kamu pulang.”

“Papa tumben sudah pulang?” tanyaku lalu duduk di samping Papa.

“Nanti malam mau ke Bali,” jawab Papa sambil menaruh ponsel ke atas meja.

“Bali?!” tanyaku kaget. Maksud Papa kita semua ke Bali atau cuma Papa nih.

“Enggak usah ge-er, Papa enggak ajak kamu. Ada urusan kantor di sana.”

“Oh, aku kira ikut.” Aku pura-pura menyesal.

“Maira seneng ya ke pantai kemarin?”

“Kalau Papa?” kulempar pertanyaan kembali kepada Papa.

“Seneng. Seneng banget malah. Lain kali kita pergi lagi, ya.”

Binar  mata Papa cerah sekali saat mengatakannya. Efeknya membuat dadaku terasa sakit. Jangan-jangan benar, bukan keberadaanku yang Papa inginkan. Aku berpamitan sebelum ke kamar. Baru saja kuletakkan tas di atas meja belajar, tiba-tiba ponselku berdering. Ada foto Mama memenuhi layar.

“Halo, iya, Ma?”

“Kemarin ke mana saja? Susah sekali menelepon kamu,” protes Mama dari seberang.

“Memangnya pukul berapa Mama menelepon?”

“Gimana kelanjutan misi kita? Sudah sampai mana? Kamu dari pantai kan kemarin? Jadi begitu, ya. Giliran senang-senang kamu lupa sama Mama dan misi kita.”

Mama tahu soal pantai pasti dari melihat Instagram Evalia.

“Kamu jangan enak-enakan dan terlena dengan perlakuan mereka. Ingat Maira, mereka yang membuat hidup kita merana. Mereka yang membuatmu jauh dari Papa.”

Mama kembali berucap dengan nada marah. Aku hanya terdiam terlebih lagi saat Mama mengatakan bila seharusnya yang menikmati hari kemarin seharusnya kami berdua bersama Papa. Bukan Evalia dan Mama Ambar.

“Jangan goyah lagi, Mai. Fokus saja menghancurkan keluarga Papa.”

Aku menarik napas panjang, lalu duduk di sisi tempat tidur. Wajah bahagia Papa di ruang tengah tadi terlintas di pikiran, bersama perasaan bingung harus berbuat apa.






BRAINWASH (COMPLETED)Where stories live. Discover now