🔅#8🔅

2.1K 247 2
                                    

Senja berjalan memasuki pekarangan rumahnya, seperti biasa, sekantong kresek berisikan kue cokelat ditentengnya.

"Assalamualaikum," salam Senja ceria. Tidak ada jawaban, dan memang dari dulu seperti itu.

"Bunda ... Ini kue cokelat kesukaan Bunda, di makan ya," ucap Senja ceria lalu mencium pipi Irgita yang sama sekali tak memperdulikannya.

Senja tersenyum, lalu menarik sebuah kursi disana dan duduk. "Bunda, Senja alergi," adu Senja berusaha menarik simpati Irgita.

"Tadi Senja gak sengaja makan cokelat kacang, tapi untungnya udah dikasih salep," sambungnya.

"Bund—"

"Mandi, setelah itu bantu saya!" sela Irgita cepat.

"Oke, deh Bunda. Senja ke atas dulu." Senja bangkit dari duduknya lalu berjalan menjauh.

Ia berhenti sejenak, lalu berbalik menatap Bundanya yang hendak membuang kue tersebut. "Bunda, boleh gak sekali aja makan kue pemberian Senja?" ucap Senja membuat Irgita menghentikan pergerakan.

"Gak," balas Irgita datar lalu dengan sekali gerakan, kue itu telah jatuh kedalam tong sampah.

Senja hanya bisa tersenyum pedih, lalu kembali melanjutkan langkah.

"Lo kuat, Ja."

***

Jingga berjalan bolak balik di kamarnya sambil menggigit ujung kuku. Ia ingin menemui Senja dan meminta maaf, tapi takut jika kembarannya itu kembali menolak.

Bertahun-tahun ia mencoba untuk mendekati Senja, namun gadis itu tetap mempertahankan teritorinya.

Senja begitu membenci dirinya, walau Jingga tak tau apa salahnya. Ia tak pernah meminta untuk diperlakukan spesial hingga Senja terlantar, ia juga ingin adiknya itu mendapat perlakuan serupa dengannya.

Jingga menyayangi Senja, ia selalu berusaha untuk menunjukkan rasa sayang dan pedulinya. Namun semuanya selalu tak berjalan normal, seperti tadi misalnya. Jingga hanya ingin berbagi cokelat kesukaan Senja, tapi ternyata cokelat itu justru mengandung kacang. Jingga tak berniat seperti itu, namun Senja selalu berpikir negatif padanya. Sehingga apapun yang dilakukan Jingga selalu salah dimata Senja.

"Gue harus gimana biar Senja maafin gue?" monolog Jingga lalu mendaratkan pantatnya ke atas kasur.

"Seharusnya gue aja yang jadi lo, Ja. Andai gue bisa gantiin posisi lo."

Gadis itu kemudian bangkit, lalu meyakinkan diri untuk menemui Senja. Ia tak peduli jika Senja akan memakinya atau justru menendangnya seperti di angkot tadi, yang terpenting sekarang dia harus meminta maaf.

Jingga keluar dari kamarnya, lalu dengan menarik nafas panjang ia mengetuk daun pintu di depannya.

Untuk percobaan pertama, tak ada sahutan dari dalam sana.

Percobaan kedua dan ketiga pun sama. Jingga berpikir apakah Senja tak ada di kamarnya, lalu dengan sedikit ragu ia memutar kenop pintu. Ternyata pintu itu tak terkunci, dan dengan perlahan Jingga masuk ke dalam.

Dengan mengendap-endap layaknya pencuri, Jingga menyusuri kamar itu. Terdengar suara percikan air dari kamar mandi, yang menandakan Senja sedang membersihkan diri disana.

Masih mengamati kamar itu, mata Jingga tertarik pada sebuah buku kecil bertuliskan "Harapan yang tak pernah bisa aku dapatkan."

Seketika rasanya jantung Jingga berhenti berdetak, sakit sekali. Hanya dengan membaca sebait kata itu, Jingga merasa begitu tertohok. Adiknya tak pernah bisa mewujudkan harapannya, bahkan untuk sekedar merasakan bahagia.

Jingga mencoba untuk membuka lembaran buku itu, namun baru saja ia hendak menggapainya, seseorang terlebih dahulu menepis tangannya kasar.

"Pergi!" Suara Senja begitu menusuk, dingin layaknya es di kutub utara.

"Ja, ak—"

"Pergi dari kamar gue sekarang!" Senja menatap Jingga tajam, tampak begitu marah dan menyeramkan.

"Aku cuma mau minta maaf, Ja."

"Gue gak butuh maaf lo," balas Senja dingin.

"Ja, aku bener-bener gak sengaja. Aku gak tau kalo itu cokelat kacang," jelas Jingga.

"PERGI GUE BILANG! Siapa yang izinin lo masuk ke kamar gue?" marah Senja. Mata gadis itu begitu menyiratkan kebencian.

"Ja, maaf aku lancang. Aku cuma mau min—"

"Lo emang selalu lancang. Lo munafik, gue benci sama lo. Dan sekarang gue minta lo pergi! Sebelum gue seret lo dari sini," potong Senja.

"Aku bukan koper, Ja. Masa di seret," balas Jingga berusaha tak takut.

"Lo lebih gak berarti daripada koper." Lalu dengan sekali hentak, Senja mendorong Jingga keluar dari kamarnya.

"Ja, buka dong! Aku belum selesai bicara," ucap Jingga menggedor-gedor pintu kamar Senja dari luar.

"Pergi!" bentak Senja.

"Gak bisa, orang ini rumah aku juga," balas Jingga, dan itu terdengar memuakkan untuk Senja.

"Ja, Maafin aku ya. Masa kembarannya yang cans ini gak dimaafin. Allah aja maha pemaaf loh Ja, masa kamu yang cuma hambanya gak maafin aku," kekeh Jingga.

Prang ...

Terdengar suara pecahan kaca dari dalam kamar Senja, hal itu membuat Jingga panik seketika.

"Ja, lo kenapa? Itu suara apa?" tanya Jingga panik sambil menggedor-gedor pintu kamar itu kencang.

"Pergi, Brengsek!"

"Jawab dulu kamu kenapa ja?"

"Lo gak pergi, gue sayat nadi gue," ancam Senja.

"Gak, jangan Ja. Oke, aku pergi. Kamu jangan lukain diri sendiri ya!" peringat Jingga.

"PERGI!" bentak Senja, lalu dengan terbirit-birit Jingga berlari memasuki kamarnya.

"Semoga Senja gapapa," monolog Jingga.

Sementara Senja kini berjalan menuju pintu kamar, memungut pecahan vas bunga yang tadi ia lempar didekat sana.

"Sayangnya gue baru mandi, kalo gak kayaknya seru bikin sayatan pake pecahan ni vas," ujar Senja tersenyum miring.

"Gue simpen aja lah pecahan vas nya. Ntar malem baru ngegambar di tangan," kekeh Senja.

Senja Tanpa Jingga (End)Where stories live. Discover now