🔅#5🔅

2.4K 286 9
                                    

Senja dan Nafisha berjalan menuju kantin, namun di pertengahan jalan keduanya berpapasan dengan Jingga yang baru keluar dari toilet. Mata dan hidung gadis itu memerah, rambut dan pakaiannya pun tampak begitu berantakan.

"Ja." Jingga menghampiri Senja dengan isak tangis yang masih tersisa. Gadis itu butuh pelukan kembarannya sekarang.

Namun tampaknya Senja tak peduli, ia hanya menatap Jingga malas lalu melewatinya begitu saja.

"Ja, aku butuh kamu," ucap gadis itu terisak.

Senja berhenti, lalu berbalik menatap Jingga.

"Lo pikir gue peduli?" balas gadis itu dengan satu alis terangkat dan senyum miring. Lalu ia kembali melanjutkan langkahnya.

Nafisha menghampiri Jingga, menepuk bahu gadis itu memberi kesabaran. "Pas dia nangis sendirian dan butuh lo, lo kemana?"

"Sabar yah, baru kali ini lo disakitin. Itu gak seberapa sama sakitnya Senja selama ini," lanjutnya kemudian berjalan menyusul Senja.

"Maaf, Senja."

***

Kali ini, Senja berkumpul bersama anak-anak The Refive. Ia terlalu malas untuk sekedar pulang, padahal ini sudah pukul sepuluh malam.

"Ja, serius lo belum mau pulang?" tanya Rino sambil menyesap rokok di tangannya.

Senja menghentikan kegiatannya bermain game online, beralih menatap Rino tajam lalu berucap dengan nada datar.

"Lo gak suka gue disini?"

"Gak gitu, Ja. Tapi ini udah malem, dan lo cewek," balas Rino.

"Emang kenapa kalo gue ce—"

Belum sempat Senja menyelesaikan kalimatnya, seseorang terlebih dahulu menarik gadis itu.

"Ehh, apa-apaan?" kata Senja tak terima.

"Gue anter balik," ucap Regan, pemuda itu lah yang menarik tangan Senja.

"Gue belum mau balik." Senja menghempaskan tangan Regan.

Regan menatap Senja tajam, yang dibalas tatapan serupa oleh gadis itu. Ia kemudian menghela nafas, memukul kening Senja pelan dengan telunjuknya.

"Keras kepala," decak pemuda itu.

Senja tak membalas, gadis itu hanya diam dengan ekspresi datar. Lalu ia hendak berbalik, kembali ke tempat duduk semula. Namun Regan dengan cepat menggendong gadis itu selayaknya karung beras.

"Bangsat, turunin gue!" ucap Senja dengan memukul-mukul punggung Regan.

"MANTAP BOS, SEKALIAN AJA CULIK KE HOTEL," ucap Romeo keras sambil tertawa.

"Bacot lo anying! Turunin gue Regan!" murka Senja.

Namun Regan tak memperdulikan gadis itu, ia terus menggendong Senja walau punggungnya harus menjadi korban keganasan gadis itu. Anak-anak The Refive yang melihat ketuanya menggendong Senja semakin gencar menggoda dan menjodoh-jodohkan keduanya.

'Ini cewek apa kuli sih? Tenaganya kuat banget, lama-lama remuk nih badan gue,' batin Regan.

"Anjim lo, bangsat," marah Senja ketika Regan telah mendudukkannya diatas jok motor.

"Berisik." Regan mendorong dahi Senja ke belakang, hal itu semakin membuat Senja kesal dan menatap pemuda di depannya tajam.

Regan menaiki motornya, lalu menyerah sebuah helm kepada Senja. "Nih, pake!"

Dengan malas, Senja menerima helm tersebut lalu memakainya.

"Pegangan!" Regan menghidupkan mesin motornya.

"Ck... Serah deh" kesal pemuda itu ketika Senja tak menghiraukan perintahnya.

Keduanya pun kemudian melaju membelah jalan raya.

Sampai di depan rumah Senja, gadis itu langsung turun dan menyerahkan helmnya. Kemudian tanpa seucap kata pun ia berjalan memasuki pekarangan rumahnya meninggalkan Regan yang hanya tercengang.

"Gue pernah baik, tapi salah orang," ujar Regan dramatis dengan sebelah tangan yang berada tepat di dada.

Pemuda itu kemudian melajukan motornya kembali, meninggalkan komplek perumahan Senja.

Dengan malas, Senja memutar kenop pintu rumahnya.

'udh dua hari ini gue gak beliin Bunda kue,' batin gadis itu. Bisa-bisanya dia masih memikirkan hal itu, padahal kue itu bahkan tak pernah disentuh oleh Bundanya.

"Assalamualaikum," salam Senja memasuki rumah itu.

"Waalaikumsalam, kenapa pulang? Gak lanjut ngejalang kamu?" ucap Irgita membuat hari Senja terasa sakit.

"Bun, aku ini juga anak bunda. Kenapa bunda ngomong kayak gitu?" ujar Senja sendu.

"Saya tidak pernah mengharapkan kamu jadi anak saya." Irgita bangkit lalu berdiri di depan Senja.

Dan tanpa diduga, wanita itu menampar pipi Senja. "Itu hadiah untuk kamu."

"Salah Senja apa, Bun?" tanya Senja tak tahu menahu.

"Itu hadiah karena kamu tidak ada disaat Jingga butuh kamu. Sedari tadi dia menangis karena putus cinta dan ingin dipeluk kamu, tapi sepertinya kamu lebih senang menjadi jalang di luar."

"Senja bukan jalang, Bun. Dan untuk apa Senja peduli pada Jingga, sedangkan dia selalu merenggut kebahagiaan Senja," balas Senja. Mata gadis itu sudah berkaca-kaca, hati anak mana yang tidak terluka ketika dianggap jalang oleh orang tuanya sendiri?

Plak...

Sekali lagi, sebuah tamparan mendarat di pipi Senja. Membuat sudut bibir gadis itu sedikit robek dan mengeluarkan darah.

"Kamu kembarannya, seharusnya kamu peduli padanya. Dan apa yang membuatnya bahagia juga adalah kebahagiaan kamu." Irgita berbicara dengan nada yang naik turun menahan emosi.

"Itu menurut Bunda. Nyatanya, kebahagiaan Jingga adalah kehancuran untuk Senja." Setelah mengatakan hal itu Senja berjalan menjauhi Irgita, tak peduli dengan teriakan wanita itu yang memanggil namanya. Ia lebih baik menjauh daripada semakin sakit hati dan berujung menangis.

Senja tak mau dianggap lemah, tapi orang tuanya selalu berhasil menghancurkan pertahanannya dengan semua perlakuan dan perkataan mereka.

Sebenarnya Senja tak masalah jika Jingga bahagia, namun terkadang kebahagiaan Jingga berasal dari kebahagiaan Senja yang terenggut. Entah sadar atau tidak, gadis itu selalu merebut hal-hal yang membuat Senja bahagia. Dan karena itu, Senja membenci Jingga.

Gadis itu bahagia diatas kehancuran Senja, dan Senja harus kembali berduka dengan kesendiriannya.

Baru saja Senja ingin memasuki kamarnya, seseorang terlebih dahulu menahan tangannya.

"Ja, aku butuh teman cerita," ucap Jingga sendu.

Senja tak peduli, ia menghempaskan tangan kembarannya kasar.

"Jangan cengeng! Lo baru sakit hati karna cinta, belum karna keluarga dan hal lainnya," kata Senja dingin lalu membanting pintu kamar.

Senja Tanpa Jingga (End)Where stories live. Discover now