🔅#21🔅

1.8K 221 19
                                    

Senja telah redup.

Bukan Senja dalam arti yang sebenarnya, namun Asiah Senja Buana. Gadis itu telah kehilangan cahaya nya sepenuhnya, menjadikan kegelapan semakin mengisi pekat di hatinya.

Walau belum benar-benar menyerah, namun tembok yang ia jadikan tempat bersandar kini telah runtuh sebagian.

Senja masih terdiam, menatap kosong ke depan. Wajah gadis itu pucat, wajahnya tampak kacau. Seorang pemuda sedari tadi duduk di sampingnya, merangkul dan memberikan dekapan hangat kepada Senja. Namun itu semua tak berefek apa-apa untuk Senja.

"Lo serius gak mau ke rumah sakit?" tanya Regan, pemuda yang sedari tadi mendekap Senja. Ia menyodorkan segelas teh hangat pada Senja, yang diterima gadis itu lalu menyesapnya pelan.

Senja hanya menggeleng, ia tak perlu semua itu. Yang Senja butuhkan saat ini hanya ketenangan, ia ingin beristirahat dari segala penderitaan ini. Kali ini, ia tak menyalahkan Jingga. Walau ia berkelahi karena membela Jingga hingga membuatnya masuk ruang BK dan dimarahi Bundanya, ia tak menyesali itu sama sekali. Toh Jingga tak pernah meminta padanya untuk di bela, Senja melakukan semua itu secara sadar dan tanpa paksaan.

"Seenggaknya luka lo harus diobatin, Ja. Tadi gue liat kayaknya punggung lo berdarah," ucap Reno. Anak-anak The Refive sangat mengkhawatirkan kondisi Jingga, gadis itu terlihat begitu menyedihkan sekarang.

"Gue gapapa." Perkataan demikian selalu Senja lontarkan, namun mereka yang berada disana tak satu pun yang percaya. Dari raut wajah Senja sudah menjelaskan jika gadis itu tak sedang baik-baik saja.

Raja berjalan mendekati Senja, lalu berjongkok di depan gadis itu. "Lo mau mukul gue gak? Lo mau marahin gue gak? Gapapa, sini Ja. Gue ikhlas kalo lo mau lampiasin semuanya ke gue."

"Gak perlu."

"Ja, lebih baik lo teriak dan mukul kita semua disini. Daripada lo harus terus bilang bahwa lo baik-baik aja, tapi dada lo sesak, hati lo sakit," ujar Roy yang diangguki semua orang.

Perkataan Roy membuat Senja kembali menangis, ia sebetulnya sangat lelah. Ia tak tahu harus berbuat seperti apa, rasanya hidup Senja sudah semakin hancur.

"I just wanna be happy." Isakan Senja kini terdengar begitu memilukan. Dengan cepat, Regan mendekap gadis itu. Gadis yang diam-diam ia cintai tanpa mampu ia utarakan.

Regan berusaha menenangkan Senja, membisikkan kata-kata motivasi di telinga gadis itu sambil mendekapnya hangat. Tetes air mata perlahan juga ikut mengalir di pipi Regan, begitu juga dengan beberapa anggota The Refive lainnya.

Bagi The Refive, Senja adalah adik mereka yang harus dijaga. Walau gadis itu dingin dan kasar, namun The Refive tetap menyayangi Senja selayaknya keluarga mereka.

"G-gue ... cu ... cuma mau bahagia, g-gue gak ... gak mau tersakiti lagi." Senja terisak, membalas pelukan Regan lebih kuat. "Apa gue gak berhak dapat kasih sayang orang tua gue sendiri? Apa gue gak berhak bahagia?"

"Lo berhak, lo sangat-sangat berhak," ucap Regan sambil mengelus rambut Senja lembut. Hatinya begitu sakit melihat Senja yang seperti ini, Senja yang begitu rapuh dan lemah.

"Gue gak minta dilahirin, gue gak minta di besarin. G-gue ... " Senja tak bisa melanjutkan kalimatnya, ini begitu menyakitkan. Sesak di dadanya semakin menjadi, rasanya untuk sekedar menarik napas pun ia tak sanggup.

"Udah, gak usah diterusin." Regan melonggarkan pelukannya, menghapus air mata yang mengalir deras di pipi Senja. Ia lalu mengambil gelas teh yang tergeletak di atas meja, menyuruh Senja untuk meminumnya agar lebih tenang.

"SENJA." Sebuah teriakan yang menggema di tempat tersebut mengalihkan perhatian mereka. Disana Nafisha datang dengan sebuah tas terselempang di bahunya dan sebelah tangannya yang membawa kotak P3K.

Gadis itu berlari tergesa menghampiri Senja dan langsung memeluknya. "Ja, lo gapapa? Yang sakit dimana? Luka lo mana? Gue bawa P3K buat obatin lo, karena gue tau lo pasti gak mau dibawa ke RS atau UKS."

"Senja malah tambah sakit kalo lu nyerocos kek gitu," cibir Reno. Nafisha mencebikkan bibirnya, lalu menggenggam tangan Senja.

"Gue obatin ya, maafin gue karna tadi gak bantuin lo." Suara Nafisha sekarang begitu lembut, mata gadis itu bahkan berkaca-kaca.

"Lo gak salah."

"Kalo gue gak kasih tau soal Jingga, lo mungkin gak bakal kayak gini. Maaf, Ja." Nafisha menyesal sekarang, awalnya ia pikir jika Senja dan Jingga akur, Senja bisa sedikit bahagia. Namun ternyata karena itu, Senja malah semakin menderita. Nafisha menarik ucapannya sekarang, ia tak akan berusaha membuat si kembar itu akur.

"Gak ada yang salah disini."

"Udah lah, mending sekarang lo obatin Senja. Tuh di dalem kosong, cuma ada si mbok," ucap Romeo.

Nafisha mengangguk, membawa Senja masuk semakin ke dalam di warung tersebut. Setelah meminta izin kepada pemilik warung, keduanya diperbolehkan menggunakan satu ruangan tertutup disana. Ruangan itu berisi peralatan warung dan untungnya disana terdapat kursi panjang yang bisa mereka duduki.

"Astaga, Ja. Luka lo parah banget, kayaknya lo harus ke RS deh," ucap Nafisha setelah melihat luka di punggung Senja.

"Gak perlu, lo kasih obat merah aja."

"Ngeyel banget sih lo. Ini tuh parah Ja, dan kayaknya lo juga pernah dapet luka di punggung ya?" kata Nafisha. Pasalnya di punggung Senja terdapat luka yang sepertinya sudah hampir sembuh.

Senja hanya mengangguk sebagai jawaban dan Nafisha yang mulai mengobati luka gadis itu. Senja sama sekali tak meringis, justru Nafisha lah meringis ngeri.

"Lo nginep di rumah gue aja ya, gue khawatir lo bakal diapa-apain sama nyokap lo. Kita juga harus ke rumah sakit, lo juga perlu ke psikiater."

Senja menggeleng, ia tak membutuhkan itu semua. Sekalipun orang tua Senja akan melakukan kekerasan, ia tetap akan pulang.

"Gak usah," balas Senja lalu membenarkan pakaiannya. Kedua gadis itu lalu keluar ruangan, Nafisha tak lagi memaksa Senja. Ia pikir, Senja pasti sudah tahu apa yang dia lakukan dan konsekuensinya.

🔅🔅🔅

Assalamu'alaikum

Apa kabar kalian?

Ayo, ayo
Aku mau tau, apa harapan kalian buat cerita ini?

Seperti biasa, jan lupa votement dan share cerita ini biar yang baca lebih banyak😁

See you

Senja Tanpa Jingga (End)Where stories live. Discover now