🔅#25🔅

1.9K 208 18
                                    

Senja menatap langit-langit ruangan putih itu, pikiran Senja membawanya pada beberapa kejadian yang baru saja menghantam fisik dan hatinya. Jika boleh jujur, Senja ingin memeluk Jingga. Ingin menumpahkan segala kesakitan yang selama ini ia sembunyikan. Tapi kembali lagi, ego gadis itu terlalu besar untuk melakukannya. Hingga akhirnya ia hanya bisa bersembunyi dibalik wajah datar dan kata ‘aku baik-baik saja.’

Ia kini sendirian, Jingga tengah pergi ke kantin untuk membeli makanan. Senja tak mempermasalahkan kesendiriannya, ia sudah biasa. Sunyi adalah teman terbaiknya, namun tetap saja. Ia mengakui, jika itu sangat menyedihkan.

Retina matanya kini beralih menatap ke luar jendela, sudah hampir gelap ternyata. Hujan pun sudah reda, namun suramnya masih sama. Kembali mengingat masa lalu, ia berusaha mencari letak kebahagiaan yang pernah ia alami. Tapi semakin ia mencari dan mengingat, hatinya pun semakin sakit. Senja pernah tertawa bersama Jingga disaat ia belum mengenal rasa dan kata benci, disaat dirinya masih terlalu polos untuk menghujat dan menilai kembarannya itu telah merusak hidupnya.

“Agh ... Sial.” Senja mengusap setetes air mata yang turun tanpa sempat ia cegah, lalu menutup mata untuk menghalau bulir air mata lain yang hendak tumpah. Senja tak suka mengingat segala kesakitan yang pernah ia rasakan, namun bodohnya memori itu selalu terputar otomatis setiap kali ia merenung.

Suara pintu yang terdorong membuat Senja membuka mata, lalu melempar senyum tipis pada sosok gadis yang berdiri di depan sana. Satu-satunya gadis yang berani bergaul dengannya, dan tahu bagaimana kelamnya hidup Senja. Gadis yang awalnya ia pikir hanya akan mengganggunya dengan kecerewetan dan keanehannya, namun ternyata mengerti Senja tanpa ia harus bercerita.

Nafisha mendekati Senja yang terduduk di atas brankar lalu dengan cepat memeluknya erat, terlalu erat hingga membuat gadis itu meringis. “Ehh, lo gapapa? Sorry sorry.”

Senja menggeleng pelan sebagai jawaban, lalu melempar senyum.

“Lo jangan senyum gitu, gue jadi ngeri. Kepala lo gak kena pukul kan? Kali aja ada yang konslet,” ujar Nafisha bercanda. Ini memang bukan pertama kali Senja tersenyum, walau biasanya hanya senyum tipis. Tapi di momen seperti ini, ia tak mengharapkan senyum itu terbit di bibir Senja.

“Gak lah,” balas Senja terkekeh pelan.

Nafisha mengangguk-anggukan kepala, lalu menelisik tubuh Senja. “Bagian mananya yang sakit?"

“Semuanya,” balas Senja santai.

“Bener bener yah itu mak lampir sama buto ijo, gue santet juga lama-lama.”

Senja terkekeh pelan mendengar panggilan yang Nafisha sematkan pada kedua orang tuanya. Hal yang selalu membuatnya nyaman berteman dengan Nafisha adalah karena gadis itu selalu bisa menghiburnya, walau lebih banyak menyebalkan sih.

Nafisha ikut duduk di atas brankar, lalu menarik Senja pelan kedalam dekapan. Berusaha memeluk gadis itu tanpa menyakitinya. Senja memejamkan mata, merasakan kenyamanan dari pelukan yang Nafisha berikan. Pelukan tulus yang tak pernah keluarganya berikan. Tanpa sadar, air matanya kembali terjatuh.

“Gue tau lo butuh ini. Gue tau lo gak sekuat itu. Nangis aja, gue bakal terus peluk lo sampe tangisan lo berhenti.”

Perkataan yang Nafisha lontarkan membuat Senja terisak. Ia bersyukur bisa mengenal gadis itu. Ia bersyukur karena Nafisha tak pernah berhenti mendekatinya dan membuat Senja sedikitnya percaya bahwa sahabat itu benar ada, bahwa dirinya masih berhak punya seorang teman yang tulus padanya.

“Thanks.” Hanya itu yang bisa Senja katakan ditengah isakannya yang memilukan. Nafisha ikut menangis tanpa suara, ia tahu betul rasa sakit yang Senja alami selama ini. Nafisha punya keluarga yang harmonis, teman yang banyak, serta apapun yang tak pernah bisa Senja dapatkan. Hal itu membuat Nafisha bertekad untuk selalu setia menemani dan menghibur gadis itu, menjadi sahabat yang baik untuk Senja serta membantunya meraih arti bahagia yang sesungguh.

Senja Tanpa Jingga (End)Where stories live. Discover now