"Benar, Kang, tak pernah seumur hidupku makan selezat ini," jawab Ranu cuek. "Katanya disuruh makan, ya. Saya makan semuanya, itu kulitnya"

"Dasar ! Eitt, tunggu dulu ! Nanti aku tidak kebagian lagi !"

Tetapi Ranu tetap bandel. Setiap kali matang langsung disikat tanpa peduli dengan yang membakar. Nursalim sendiri tahu kalau bandeng yang matang ludes maka bandeng tak lagi diletakkan di belakangnya lagi.

Ranu bingung, tidak ada lagi bandeng yang matang. "Apinya mati ya, Kang,kok tidak matang-matang ?"

"Bukan mati, tetapi aku juga lapar," jawab Nursalim sambil mengunyah bandeng.

Sebelum selesai sarapan, dari jauh tampak seseorang naik sepeda motor lewat pematang tambak menuju ke gubuknya.

"Paklik. Pakde Jakarta datang! Paklik di suruh pulang sama Eyang !" teriak kemenakan Nursalim ajak mbakyunya dari atas motor.

"Kamu pulang dulu ! Aku segera menyusul!" teriak Nursalim sambil mempercepat sarapannya.

"Dek, jangan macam-macam sebelum kukenalkan dengan keponakanku. Aku tidak bohong, kemenakanku cantik, lincah, cerdas, dan sangat sederhana," pesan Nursalim sambil tersenyum.

"Iya, Kang. Aku akan jadi anak penurut," jawab Ranu, namun hatinya tertawa, gadis secantik apapun tidak akan menggoyahkan hatinya, kecuali Syafira adik kelasnya dulu.

Vespa yang diboncengi Ranu sampai di muka rumah. Dari atas boncengan Ranu melihat seorang gadis yang mirip dengan Syafira. Jatungnya berdebar kencang, saat gadis bergamis biru itu melambaikan tangan pada Kang Nursalim. Ranu mati kutu, gadis yang selama ini menghiasi mimpinya kini ada didepannya. Ranu panik bertemu dengan Syafira secara tiba-tiba. Tubuhnya menggigil, terasa panas dingin. Kalau saja tidak terlanjur dekat, ia pasti meloncat dari atas vespa, menghindari pertemuan itu.

Syafira sendiri tercenggang, pemuda yang membonceng pamannya seperti orang yang selama ini dirindukan. Bedanya pemuda itu sedikit berkumis dan berambut panjang. Tetapi begitu wajahnya bertatapan, ia yakin lelaki muda itu adalah Ranu. Situasi yang tanpa diduga itu membuat keduanya kebingungan. Akhirnya mereka hanya berdiri mematung, tanpa ada sepatah kata pun yang keluar.

"Lho, kok jadi bego begini kamu Ra?" tegur Nursalim yang suka bergurau setiap kali bertemu. Ketika menoleh hendak memperkenalkan Ranu, ternyata Ranu juga kelihatan linglung.

"Hai ada apa kalian ini, kok semua pada linglung begini,".

Ranu segera sadar. Dianggukkannya kepala sebagai salam kepada Syafira.

Syafira mengangguk kaku membalas amggukan Ranu. Seandainya saja tak mau dan tidak didepan paklilnya, ia pasti sudah menghajar pemuda yang menyiksa hatinya itu.

Agak lama keduanya terdiam.

"Dik Ranu cuci muka dulu, biar kemenakanku sedikit tertarik padamu. Wajahmu itu penuh arang !," komentar Kang Nursalim segera mencairkan suasana.

Sekar yang semula tegang tertunduk malu. Bibir dan hidung Ranu terlihat hitam terkena arang. Tiba-tiba Syafira tertawa lepas. Ranu jadi gelagapan. Ia segera bercermin di spion vespa jelas sekali wajahnya seperti badut. Merasa malu, Ranu berlari menuju kamar mandi.

Ketika Ranu berada di kamar mandi, Syafira bercerita pada Muda ali. Kalau Ranu dulu kakak kelasnya. "Ia siswa yang berotak brilian, Paklik. Ia pindaj karena tidak tahan selalu dituduh melakukan KKN. Maklum anak petinggi tentara yang setiap hari masuk TV,"

"Sejak ia datang aku sudah menduga hal yang demikian, Ra!"

"Hayooo, menggosip ya !" tungkas Ranu tiba-tiba sudah berada dibelakang mereka. Ranu khawatir Syafira membuka rahasia, termasuk surat yang pernah dikirimnya. "Kang, apa sih yang digosipin tadi ?,"

"Siapa pun akan menjadi suami kemenakanki harus lulus dari seleksiku?," sindir Nursalim.

"Ihh, Paklik bisa aaja," sambung Syafira sambil mencubit Pakliknya.

Nursalim mengelak, tetapi tangan Syafira sudah menjepit kulitnya. "Apa tidak salah sasaran itu ?," sindirnya kembali.

Syafira semakin sewot. Ranu sendiri yang tidak biasa menghadapi gurauan seperti itu menjadi malu. Mereka kemudian terus bercerita tentang pesantren dan perkembanhan sekolah Syafira.

"Banyak teman merasa menyesal atas kepergianmu. Bahkan mereka baru sadar bila Mas satu-satunya anak petinggi TNI yang tidak sombong. Karena ada siswa pindahan anak seoranh Letkol.. Sombongnya minta ampun. Kabarnya sih, ajudan bapakmu, Mas ?"

"Ah, kamu bisa saja. Aku ini sekarang tidak punya orang tua. Orang tua sekaligus kakakku, iya Kang Nursalim. Jangan sampai kau bocorkan kepada Siapapun nanti aku bisa ketahuan. Bila orang tuaku tahu keberadaanku, aku akan pindah lagi,"

"Sudah, pokoknya disuruh sumpah pun aku mau. Tak jamin rahasiamu, Mas?" sambung Syafira sambil tersenyum.

Ranu terkesiap menatap lesung pipi Syafira. Hampir saja menggoyahkan imannya.

Selama satu minggu Ranu dan Syafira bertemu. Nursalim sengaja memberi kesempatan keduanya untuk bergaul akrab. Agar keduanya bisa berbicara dari hati ke hati, Nursalim mengajak keduanya memancing ke tambak.

Di pematang tambak dekat gubuk, mereka memancing bertiga. Saat sedang asyik bicara. Nursalim melangkah menjauh pura pura membetulkan sesuatu. Semula suasana kaku terjadi seperti ketika keduanya berada di pojok warung sekolah. Tetapi beberapa lama kemudian kekakuan itu mencair. Keduanya akhirnya lancar mencurahkan hati masing masing, sampai senja menampaki langit sebelah barat dan mentari membundar kuning tembaga di pangkal langitm, Nursalim baru mendekat kembali kemudian mengajak pulang.∆

Jangan lupa vote & comment yakk..

📝Kamis, 12 November 2020
Wonosobo, Penulis

Sabuk Kyai [SEGERA DI FILMKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang