Bab 6

3.5K 507 142
                                    

Ada damba dibalik seikat nista. Walau harapnya selalu patah akibat kenyataan lantang dari sang semesta, Mondy tak pernah berhenti merayu Tuhan dengan pinta pilunya.

Setiap waktu, saat udara menyambangi rongga pernapasan, saat akal menghias pikiran, Mondy selalu meminta pada Tuhan akan secuil kasih sayang dari sang ibu. Tak apa, barang seulas senyum pun, sudah menjadi jawaban indah akan harap yang selama ini ia damba.

Pagi ini, lagi-lagi aroma sedap nasi goreng tercium menyengat. Seulas senyum hadir membingkai wajah manis Mondy. Remaja itu menapaki anak tangga dengan pijakan melambat. Rasanya enggan mengizinkan waktu dengan cepat berlalu. Sebab ada pemandangan indah yang harus ia nikmati.

"Pagi, Dek. Udah gosok gigi?"

Suara berat itu, suara yang kerap Mondy khayalkan lantunannya setiap saat guna mengisi lubang kosong di hati. "Pagi ... udah dong, Pa," jawabnya.

"Bang Koko mana?" Pandu mulai menuangkan segelas susu lalu menyodorkannya ke hadapan Mondy. Rutinitas yang sangat Mondy rindukan dari sosok sang ayah.

"Mana saya tau, saya 'kan Mondy." Si empu menyesap susunya dengan sangat khidmat.

"Yang bilang kamu monyet siapa atuh, Mon?"

"Papa lah."

"Oh, jadi kamu suka dibilang Monyet?"

"Asal statusnya tetep anak papa, aku mah nggak masalah. Toh monyet pasti punya orang tua 'kan?"

Suara tawa pun lantas terdengar saling bersahutan. Risa yang baru datang dari dapur dengan sewadah besar nasi goreng hanya melirik kecil. Tak berniat memerhatikan apalagi ikut larut dalam cerita. Matanya sesekali menatap atas sembari menyerukan satu nama.

"Aku di sini, Ma. Astaghfirullah. Telat sarapan dua detik nggak akan buat aku mati." Chiko menuruni tangga cukup cepat sembari membenarkan letak dasi. Kesiangan membuatnya lumayan kerepotan pagi ini.

"Kamu kira magh sesepele itu?"

"Iya-iya, ya udah. Bawel banget sih kayak emak-emak bunting." Chiko agak merunduk lalu mendaratkan sebuah ciuman ke permukaan dahi sang ibu. "Atau emang beneran lagi bunting?"

Mondy melirik atensi Pandu yang sok sibuk dengan kopinya. "Wess, papa cetak adek ya tadi malam?"

"Enggak lucu," sahut Risa tanpa nada.

Bungkam seketika. Mondy menatap wajah datar Risa dengan setumpuk sesal tak berarti. Sepertinya remaja berdagu belah itu terlalu terlena dengan kehangatan, hingga ia melupakan fakta bahwa ibunya tak pernah menyukai apapun yang keluar dari mulutnya. Apapun.

"Abang gimana bolanya? Masih suka tanding juga?" Pandu berusaha menghalau canggung yang tiba-tiba bertamu.

Chiko lantas mengangguk. "Masih, Pa."

"Ya udah enggak apa-apa. Yang penting inget waktu, nggak mempengaruhi pelajaran sekolah sama kesehatan. Karena enggak ada yang lebih penting dari ilmu dan kesehatan, Bang."

"Iya, Pa."

Chiko tersenyum kikuk sembari menyesap susu yang disodorkan oleh sang ibu. Walau kerap dihadiahi perhatian manis baik dari jarak jauh maupun dekat, Chiko tetap tak pernah merasakan hangat layaknya hangat sebuah perhatian. Tetap saja, ia selalu merasa janggal akan perhatian-perhatian itu. Merasa ada cekal yang membedakan antara dirinya dengan Mondy. Walau mungkin, itu hanya perasaannya semata. Siapa yang tahu?



















- ChiMon -

















"Beberapa hari yang lalu, kami melakukan rapat. Salah satu anggota memberi sebuah ide yang cukup bagus. Beliau memberi gagasan, bagaimana sesudah mengadakan acara tujuh belas agustus di sekolah nanti, kita pergi camping ke puncak. Ada banyak deretan acara yang akan dilakukan dan tentunya mengandung edukasi untuk teman-teman semua. Karena menarik, kami mencoba mengajukan hasil rapat tersebut ke kepala sekolah dan alhamdulillah ... langsung di ACC."

ChiMonWhere stories live. Discover now