Bab 3

4.3K 574 231
                                    

"Serius cuma kesemutan?" Alis tegas Chiko saling tertaut dengan tangan yang masih sibuk membalurkan minyak angin ke sisi pergelangan kaki Mondy. Entah berfaedah atau tidak, yang terpenting adalah usaha.

Mondy mengangguk saja. Terlalu takut untuk mengatakan bahwa kini seluruh badannya terasa ikut pegal. Pandangnya menatap takjub sosok Chiko yang sudah berjongkok di hadapan sejak setengah jam yang lalu.

"Nanta!" seru Chiko dengan lantang ke arah lapangan.

Tanpa adanya jawaban, yang dipanggil langsung keluar dari kerumunan dengan langkah lebar. Selang beberapa detik, Nanta membungkuk sembari menyeka keringat menggunakan lengan baju.

"Kenapa, Bang?"

"Bilang ke semuanya, abang izin pulang duluan. Kasian kaki Mondy kayaknya keseleo. Jangan lupa kalo udah selesai bolanya dimasukin ke ruangan."

"Yah, ntar gue balik sama siapa dong?" keluh Nanta, kemudian terduduk tepat di samping Mondy yang terlihat sedang menunduk menatap kedua kakinya. "Balik nanti aja ya, Mon."

"Nggak bisa, Nan. Kasian." Chiko tampak berdiri merenggangkan otot lalu mulai memunguti tas keduanya.

"Ya udah, gue ikut balik aja dah."

"Bodo amat, Nan," ujar Chiko lalu kembali berjongkok di bawah kaki Mondy. "Kuat jalan? Motornya mau dibawa ke sini apa gimana?"

Mondy masih diam. Batinnya tengah sibuk mencari jalan keluar atas pertanyaan sang kakak barusan. Sebab, ia sendiri pun tak yakin masih sanggup berdiri atau tidak.

Gemas, Nanta iseng menyikut lengan remaja itu cukup pelan. "Heh, kerasukan?"

"Motornya bawa ke sini aja lah. Mager jalan."

Remaja jangkung yang masih setia berjongkok lantas mengangguk. "Ya udah bentar. Nan, lo kalo mau balik juga buruan bilang ke mereka gih."

"Bentar, Bang."

Setelah kepergian kedua anak Adam itu, Mondy lekas mencubit kakinya yang terasa luar biasa lemas. Hatinya mendadak gusar. Pasalnya, ini bukan kali pertama ini begini.







- ChiMon -








Dengan cepat Chiko menurunkan standart motor tanpa menyuruh yang di belakang turun terlebih dahulu. Laki-laki jangkung bermata tajam itu buru-buru turun dan membuka helm. Memaku tatap pada sosok sang adik yang setia membungkam sejak di perjalanan.

"Diem-diem bae adek Monkey. Mau disentil apa gimana nih?"

"Buru bantuin ah, ngantuk." Bohong. Jawaban sesungguhnya adalah, Mondy hanya sedang terserang parno.

"Seriusan nggak mau disentil dulu?" Sebelum mengambil ancang-ancang membantu, Chiko sempatkan mengerling genit.

Mondy lantas mendengkus. "Seriusan nggak punya tenaga mau gelut, Bang."

Sembari terkekeh, Chiko mulai membawa tubuh kecil sang adik dalam rangkulan dengan sangat hati-hati. Laki-laki jangkung itu bahkan rela membungkuk guna menyejajarkan tinggi keduanya.

Detik jarum jam yang menggema menjadi penyambut kedatangan keduanya sesaat setelah salam diucapkan. Setelah hampir menyentuh anak tangga, tiba-tiba suara seseorang terdengar.

"Waalaikumsalam."

Mendengar suaranya saja, nyali Mondy sudah bergelung dan mengecil sedemikian rupa. Darahnya berdesir. Apalagi saat tatapnya tak sengaja bertemu dengan mata si penyeru, seolah ada sebilah pisau yang menghunus di sana. Luar biasa tajam nan menusuk. Dengan cepat Mondy menepis papahan sang kakak dan berjalan dengan perlahan tanpa berucap sepatah kata pun.

ChiMonWhere stories live. Discover now