Bab 5

3.4K 512 142
                                    

Suara dentingan spatula yang beradu dengan wadah penggorengan terdengar ribut membelah keheningan. Aroma khas telur goreng lantas merebak, menari menyelusup ke rongga penciuman. Setelah dirasa cukup matang, Mondy pun memulai aksi. Bukan Mondy namanya jika memotong bagian telur dengan ukuran yang sama. Remaja berdagu belah itu bahkan memberi perbedaan yang sangat kentara. Padahal sudah Chiko katakan agar menggoreng telur milik masing-masing. Tapi Mondy tetaplah Mondy. Serakah dan ... agak rakus.

Yang dilakukan Chiko hanya geleng kepala sembari memperhatikan tingkah absurd Mondy dari meja makan. Bukannya takut tidak kebagian telur atau bagaimana, Chiko hanya bingung dengan pola pikir sang adik. Remaja itu bahkan sudah menginjak SMA. Kenapa masih suka melakukan hal-hal yang kekanakan? Kalau sudah begini 'kan, jatuhnya aneh dan ... gemas.

"Kenapa sih mama kalo berangkat ngabarin ke elo doang, Bang? Kan jadi repot ngebabunya. Tau gini gue bangun lebih pagi. Mana ngasih sarapan cuma roti isi doang. Emang dikira puas sarapan pake roti tok?" Walau dengan ocehan suara hati yang tak kunjung teredam, Mondy tetap menyuguhkan hasil masakannya beserta nasi ke hadapan sang kakak.

"Ya mana gue tau. Lagian cacing lu ganas bet sarapan roti isi doang nggak puas." Diam-diam Chiko mengulas senyum. Adiknya itu tampak kesusahan sebab beberapa helai poninya lengket oleh skincare yang baru saja ia pakai.

"Ya mana nendang, Su. Lu kira gue kayak elu, kurus. Badan bukannya di kasih makanan yang bergizi, malah diisi aroma bensin. Bukannya sehat, hidung lo malah semakin di depan kayak Honda Yamaha."

Chiko terbeliak. Remaja jangkung itu refleks mengayunkan tangan hingga satu sentilan mendarat indah di dagu Mondy. "Bacot bet babu gue."

"Oh, babu, ya?" Dengan gesit Mondy mengambil potongan telur yang baru saja ia letakkan di atas nasi Chiko. "Makan tuh nasi putih sama roti buatan mama lo. Dasar anak mama."

"Ya udah makan, gue juga udah kenyang makan roti. Dasar anak rakus."

"Iri? Bilang bos, haha ...," ejek Mondy bernada dengan mulut tersumpal nasi penuh.

Chiko bergidik. "Hih, kurang-kurangin main tiktok, Mon. Geli gue liatnya."

"Suka-suka orang ganteng lah. Babi banget sih mulut anda. Nggak merasa disusahin jangan sok keras." Bibir Mondy terus bergerak dengan dengan nasi yang sedikit menyiprat dari dalam kunyahan.

"Astaghfirullah, muka kembaran sama gergaji besi begitu apa yang mau dibanggain, Monkey? Gue yang jelas-jelas punya banyak fans aja nggak sombong tuh." Chiko memilih membiarkan nasinya teronggok begitu saja. Bukan karena lauknya yang habis dibabat Mondy. Tapi karena bagi Chiko, adu mulut dengan Mondy itu lebih mengenyangkan.

Baru saja Mondy hendak menyangkal, tapi urung sebab nyeri di kaki tiba-tiba kembali datang bertamu. Sensasi bak dicucuk jarum pun mulai terasa membiak di daerah telapak lalu menjalar ke bagian atas. Perlahan, kunyahannya melambat. Mondy berusaha mendeskribsikan sesuatu yang sedang menjajahi kedua kakinya.

"Kenapa? Kegigit batu? Udah telen aja. Sayang."

Dengan cepat Mondy menatap sesaat setelah Chiko bersuara. Namun, entah karena terlalu cepat menoleh, wajah Chiko malah tampak berbayang, berubah menjadi hologram yang sangat sulit ditangkap pandang dengan jelas. Sial, Mondy mulai panik.

Dengan cepat ia menggapai air dan meneguknya dengan rakus. Tak lupa memejam sejenak, lalu kembali memokuskan tatap. Dengan jantung yang berdebar, Mondy mulai kembali mendapatkan bentuk wajah bantal Chiko.

"Kenapa lu? Kesurupan?"

"Kaki gue kram. Tolongin."

Salah satu kebiasaan Mondy yang paling Chiko sukai adalah, anak itu selalu memberitahukan rasa sakitnya dengan gamblang. Jadi, Chiko tak pernah takut ada sesuatu yang terjadi pada anak itu tanpa sepengetahuannya.

ChiMonWhere stories live. Discover now