A Deppressed Heart

Mulai dari awal
                                    

Satu-satunya benda berharga peninggalan sang papa adalah diary. Itu sebabnya ia selalu membawanya. Karena dengan begitu, ia bisa merasakan kehadiran sang papa.

“Fa, nanti kalau enggak salah, buku antologi aku sampai di rumah kamu,” ujar Shalu memberitahu Ulfa.

“Lagi?” tanya Ulfa yang dibalas anggukan oleh Shalu.

“Udah saatnya dikirim ke rumah kamu, Sha. Sampai kapan kamu mau menutupi hal ini? Kamu harus kasih tahu Mama Ruima.”

“Enggak, Fa.”

“Ya, udah lah terserah kamu. Apapun alasan kamu, itu cuma ketakutan kamu, Sha. Aku yakin Mama pasti ngertiin kamu.”

Shalu tersenyum. Baginya, seperti ini pun sudah membuatnya bahagia.

Sejak mengenal Ulfa, Shalu menjadi lebih berani menulis. Ulfalah yang mendukungnya, ia juga yang memberi saran kepadanya untuk mengikuti event-event kepenulisan, terlebih lagi cerpen. Bahkan jika bisa, Ulfa akan mendukung Shalu untuk membuat novelnya sendiri.

Ulfa berharap sahabatnya ini melahirkan karya-karya terbaiknya, tak hanya menuliskannya melalui diary hijau yang sudah nampak usang itu.

Di sisi lain, mimpi itu harus terpendam dahulu. Shalu tak mau mamanya mengetahui kegiatannya ini. Ia takut jika hal itu membuat mamanya marah dan melarangnya menulis. Jika mamanya tahu hal ini, pasti akan dianggap membuang waktu. Lebih baik menyimpannya sendiri.

***

 Jarum jam di tangan Shalu menunjuk angka empat ketika ia melihatnya. Kepalanya menengok ke kanan dan kiri, memastikan mobil jemputannya sudah datang atau belum. Ia memutuskan untuk duduk di halte depan sekolah sembari menulis sesuatu dalam diary-nya. Tinggal beberapa lembar lagi agar diary itu terisi penuh oleh curahan hatinya.

Bim! Bim! Bim!

Shalu memandang ke arah jalan, melihat siapa yang datang. Di sana, orang itu membuka kaca mobil, ternyata Ulfa. Shalu bergegas menghampirinya untuk menyapa orang tua Ulfa. Shalu sudah dianggap anak kandung oleh orang tua Ulfa. Kedekatan keduanya memang tidak ada yang bisa menandingi.

Layaknya seorang anak kepada papanya, Shalu memberi salam kepada ayah Ulfa.

“Siang, Yah,” ujar Shalu seraya tersenyum.

“Siang, Sayang,” balas Rahman, ayah Ulfa.

“Belum dijemput, Sha?” tanya Ulfa.

“Belum, Fa. Kayanya mama masih meeting, lagian ini masih sore juga, itung-itung nyari angin sebelum masuk rumah,” ucap Shalu seraya tertawa di akhir katanya.

Shalu berusaha menyembunyikan wajah murungnya. Dia mengerti mamanya banting tulang hingga sekarang hanya untuk membahagiakannya. Beruntung ia memiliki mama yang sabar dan kuat. Terlebih lagi ia adalah sosok single parent.

Tak berselang lama, sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat di belakang mobil milik ayah Ulfa. Shalu yang melihatnya pun segera berpamitan dengan Ulfa dan ayahnya, ia yakin bahwa itu adalah mamanya.

Setelah duduk di bangku penumpang dengan tenang, mobil itu melaju melewati mobil Ulfa. Tidak ada yang bersuara antara Shalu dan mamanya. Shalu tidak ingin mengganggu konsentrasi mamanya. Dia tahu sang mama baru saja pulang kerja dan kelelahan, terlihat dari wajahnya yang sudah menginjak umur kepala empat.

Setibanya di rumah, Shalu langsung menuju kamarnya dan mengistirahatkan badannya di atas kasur. Lelah pikirannya setelah dimasuki oleh materi-materi untuk persiapan ujian nasional. Namun rasa itu segera lenyap ketika ia teringat sesuatu.  beranjak dan berjalan menuju tasnya berada, mengobrak-abrik isinya.

“Loh? Kok enggak ada?” paniknya. Ia tak menemukan buku hijau miliknya. “Duh, di mana diary-nya? Ahhh,” ujarnya frustasi dan mengacak rambutnya.

Belum mendapatkan barang kesayangannya, Shalu dikagetkan dengan kedatangan asisten rumah tangganya, Bi Naya. Wanita paruh baya itu mengetuk pintu kamar Shalu kemudian membukanya.

“Neng, dipanggil Ibu di bawah, katanya ada yang mau dibicarain.” Ucapan Bi Naya membuat Shalu terdiam.

“Enggak usah bingung, Neng,” ujar Bi Naya seakan tahu isi pikirannya. “Cepetan ke sana, nanti Ibu nungguin lho.”

“Eh, iya. Bibi duluan aja, nanti Shalu susul, ini mau ganti baju dulu.”

Setelah mengganti seragamnya dengan baju rumahan, Shalu turun menuju lantai bawah. Di ruang keluarga sudah ada mamanya yang menunggu. Shalu berjalan mendekati mamanya dan bertanya, “Kenapa, Ma? Tumben panggil Shalu buat ngobrol.”

“Sini duduk, Sayang. Mama mau ngobrol sama kamu, udah lama kita nggak ngobrol santai begini. Mama kangen,” ucap Ruima dengan suara lembutnya. Menarik tangan anak semata wayangnya untuk duduk di sofa.

Shalu pun menurut, ia meremas kaos lengan panjang yang digunakannya. Gugup, itulah yang ia rasakan. Dia merasa seperti akan diinterogasi oleh mamanya.

“Ini punya kamu?” Ruima menunjukkan diary hijau itu. Shalu segera mengambil alih diary-nya. Ia bertanya-tanya bagaimana mamanya bisa mendapatkan benda itu.

“Tadi Ulfa yang nganter. Katanya, dia lihat buku itu di halte waktu mau pulang tadi. Dia juga ceritain semua isi buku itu ke mama,” tutur Ruima. “Jadi, kenapa kamu enggak bilang ke mama kalau kamu suka nulis?”

Ulfa, awas aja, ya, kamu! Besok enggak akan Shalu lepasin. Shalu merutuki Ulfa di dalam hatinya.

“Kenapa, Sayang? Bilang aja.”

“Shalu takut kalau Mama larang Shalu kaya dulu. Shalu juga yakin, Kalau bilang sekarang, Mama enggak akan suka dan menganggap itu sebagai pengganggu dalam sekolahku. Mama nanti bakal nambah peraturannya pasti. Atau bisa juga semua fasilitas yang bersangkutan sama menulis bakal disita. Dulu aja aku pernah nggak dibolehin keluar rumah gara-gara main bulu tangkis, padahal aku enggak ngelakuin kesalahan apapun.”

“Hah!!!” Helaan napas Ruima terdengar. Dia terkejut sekaligus tak habis pikir dengan pemikiran anaknya ini. “Ya ampun, kamu ini polos banget, sih.”

Shalu mengangkat kepalanya, sekarang malah dirinya yang bingung dengan situasi yang terjadi.

“Kalau tahu kamu suka nulis, Mama malah suka, Sha. Selagi itu membuat kamu bahagia dan enggak merasa kosong, karena mama yang enggak bisa selalu ada di samping.” Ruima memegang kedua tangan anaknya. “Asal kamu jaga kesehatan dan tidak melanggar aturan, Mama pasti dukung,” lanjutnya seraya tersenyum.

“Tapi kenapa Mama ngelarang Shalu buat main bulu tangkis? Kan Shalu juga suka, toh itu juga baik buat kesehatan.”

“Kamu lupa apa gimana, heh? Kamu punya asma, enggak boleh kecapekan. Kamu kalau udah main bulu tangkis kan suka lupa waktu.”

Shalu memandang manik mata mamanya, selanjutnya ia memeluknya. Hatinya lega mengetahui fakta itu. Semua ketakutannya terbukti tidak benar, dan itu membuatnya bahagia. Tak henti-hentinya ia berucap terima kasih kepada Ruima dan mencium wajahnya.

“Makanya, selalu bilang sama mama. Jangan dipendam sendiri, jadi salah paham, kan,” ujar Ruima dibalas dengan cengiran Shalu. “Pasti capek mikir ide buat cerita, utututu sini Mama peluk.”

Ruima merangkul pundak anaknya erat, membalas pelukan dari Shalu. Entah mengapa ia bisa sangat bahagia.

Selesai

Kidung SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang