13 - Hurt to Remember

3.8K 277 1
                                    

Waktu terus berjalan meninggalkan setiap kejadian. Tak terasa, penghujung semester pun kembali dijumpai. Namun bedanya, kali ini adalah semester akhir atau biasa disebut kenaikan kelas.

Setelah seminggu para siswa berjuang dengan dua belas mata pelajaran di ulangan kenaikan kelas, kini adalah waktu bagi orang tua atau wali murid untuk mengambil hasil nilai anak mereka selama satu semester ini.

"Orang tua Kirana Putri Pratama." Seru seorang guru sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh ruang.

"Saya, Bu." Dita pun melangkah menuju ke arah kursi tepat di depan guru yang tadi memanggilnya.

"Ini rapot Kirana, Bu. Untuk nilai dan lain-lain, Ibu tenang saja, Kirana selalu berhasil memberikan yang terbaik."

"Terima kasih, Bu. Maaf, jika ada sifat ataupun tingkah anak saya yang selama ini merepotkan Ibu dan guru-guru lainnya."

"Saya yang seharusnya berterima kasih kepada Kirana, Bu. Dia adalah anak yang baik dan rajin. Beasiswa ke Jepang itu memang sudah tepat jatuh ke tangan Kirana."

Dita pun tersenyum lembut.

"Iya Bu, saya merasa bangga karenanya. Kalau begitu saya permisi dulu, Bu. Terima kasih sekali lagi."

"Sama-sama Bu."

Kirana yang menunggu di luar pun menatap Mama-nya dengan cemas.

"Ma, gimana Ma?"

"Seperti biasa-" Dita pun menggantungkan ucapannya "Ngga pernah ngecewain. Peringkat ketiga dari dua puluh anak lumayan lah." Kata Dita sambil tertawa kecil merasa berhasil mengerjai putrinya.

Kirana pun mengerjapkan matanya tidak percaya.

"Mama serius? Akhirnyaa, aku masuk tiga besar." Kata Kirana sambil tersenyum lebar.

"Tapi, kamu jangan langsung puas dulu. Masih banyak yang harus kamu pelajarin. Sebentar lagi, kamu kelas dua belas. Jadi kamu harus lebih fokus belajarnya. Oh iya, kamu kan mau ke Jepang tuh, apa udah ada persiapan belajar bahasanya dan lain-lain?" Tanya Dita.

"Siap Ma, aku juga masih akan tetap les tambahan kok. Untuk masalah persiapan ke Jepang, Mama tenang aja. Dari pihak pemerintah udah disiapin bimbingan kok, kalo ngga salah tiga bulan sebelum pemberangkatan, lebih tepatnya seminggu setelah UN."

"Oke deh kalo begitu. Gimana kalo sekarang kita makan Mie Ayam Bakso Pak Tarno?"

"Boleh, siapa takut."

Dita dan Kirana pun berjalan beriringan menuju ke arah parkiran tempat sepeda motor Dita berada.

*

Sementara di sebuah perusahaan bidang periklanan, seorang gadis tengah memandang marah ke arah ayahnya. Karena kesalahan yang terus menerus terulang setiap tahunnya.

"Ayah. Ayah dengerin aku ngga sih?" Devi membuka suaranya.

"Dengar, Dev." Jawab Putra yang masih sibuk dengan berkas-berkas di hadapannya.

"Lalu kenapa Ayah masih saja tidak bisa meluangkan tiga puluh menit waktu ayah buat aku! Ayah aku itu Ayah Putra, bukan Pak Darto! Kenapa selalu dia yang datang setiap sekolahan menyuruh orang tua murid untuk datang?" Kata Devi dengan nada yang terdengar sedikit meninggi.

"Devi, dengarkan Ayah." Putra kini memfokuskan seluruh atensinya kepada putrinya.

"Apalagi, Yah? Apalagi yang harus Devi dengar dari Ayah? Anak Ayah itu Devi, bukan kertas-kertas itu!"

"Dev, Ayah hanya bekerja untuk masa depan kamu."

"Apa bekerja harus 24 jam? Apa bekerja selalu membuat Ayah lupa dimana rumah Ayah? Apa bekerja juga membuat Ayah lupa, kalo Ayah punya Devi? Devi kesepian, Yah. Devi kangen kaya dulu lagi. Devi kangen sama Ayah. Tapi semua berubah setelah kejadian itu." Kata Devi sembari menahan air matanya yang sudah siap lolos kapan pun ia mau.

Pengagum RahasiamuWhere stories live. Discover now