22 - Demi Skripsi

3.1K 243 2
                                    

Jepang sedang berada difase musim dingin. Jalanan, atap rumah dan pepohonan sudah tertutup sempurna dengan salju. Suhu yang menurun drastis semalam membuat hawa dingin semakin menusuk permukaan kulit. Perlu banyak lapis baju dan jaket untuk keluar rumah, apalagi untuk Kirana dan Ayu, yang notabene nya berasal dari negara tropis dua musim.

Ting ting

"Kirana, Ayu, sebaiknya kalian pulang sekarang. Sebelum salju semakin turun dengan lebatnya." Kiranya begitulah kata seorang pria paruh baya yang merupakan pemilik restoran tempat dimana Kirana dan Ayu bekerja.

Pak Panji namanya. Pria itu sama berasal dari Indonesia. Dulu dia sempat bekerja di perusahaan manufaktur di Jepang. Ketika kontraknya habis, ia mulai membuka usaha masakan Indonesia. Bermula kala itu, ketika ia masih bekerja dan tidak memiliki waktu untuk pulang ke Indonesia ia suka mendadak rindu masakan Indonesia. Berbekal buku resep yang sudah disisipkan oleh ibunya di dalam tas pakaiannya dulu, ia mulai mencoba mengolah makanan yang bahan-bahannya mudah ditemukan di Jepang. Hingga sekarang restorannya mulai berkembang pesat dan ia mulai mengekspor bahan makanannya dari Indonesia. Tak hanya itu, bahkan ia juga lebih memprioritaskan untuk mempekerjakan para Warga Negara Indonesia yang ada disana. Kirana dan Ayu adalah salah dua di antara 12 karyawan lainnya. Hanya saja, untuk satu shift nya hanya dipekerjakan 6 orang.

Seperti saat ini, malam sudah hampir datang dan restoran ditutup lebih awal hari ini karena prediksi badai salju yang akan turun malam nanti. Para karyawan pun sudah bersiap untuk pulang.

"Pak Panji, kalau begitu kita pamit dulu." Ayu mewakili temannya untuk meminta izin.

"Iya nak Ayu, hati-hati di jalan." Jawab Pak Panji.

Setelah itu yang lainnya juga ikut berpamitan. Termasuk Kirana.

"Pak Panji, Kirana pulang dulu ya. Bapak hati-hati jangan lupa kunci pintu dan meninggikan suhu ruangan ya Pak. Selamat malam." Kata Kirana sambil menyalimi tangan Pak Panji.

"Malam Kirana, kamu mirip sekali seperti anak saya. Sangat cerewet." Kata Pak Panji dengan tawa ringannya.

Kirana benar-benar mengingatkannya dengan anak angkatnya yang kini sudah berkeluarga dan mengikuti jejak suaminya, meninggalkan Pak Panji sendiri.

*

Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Kirana dan Ayu masih sama-sama terdiam. Hanya perkara tiket dadakan, hubungan keduanya merenggang. Kirana yang gengsi meminta maaf dan Ayu yang takut salah bicara membuat pertemanan mereka tidak kunjung menemukan titik terang. Tapi Kirana sudah tidak tahan seperti ini. Walaupun mengacaukan liburannya bukankah itu semua akan tergantikan dengan liburan lain? Hanya beda destinasi saja.

"Ayu."

Ayu yang merasa dipanggil menolehkan kepalanya sedikit demi sedikit. Ia takut tiba-tiba Kirana akan menjambaknya dan menariknya karena telah lancang memesankan tiket ke Jogja. Oke, sepertinya itu terlalu berlebihan. Kirana bukan tipe wanita kasar dan ringan tangan.

"Gue— minta maaf." Lanjut Kirana dengan suara yang sangat pelan.

Ayu pun menghentikan langkahnya dan memberikan seluruh atensinya pada Kirana.

"Seharusnya gue yang minta maaf udah lancang mesenin lo tiket." Kini giliran Ayu yang meminta maaf.

"Kalo lo emang ngga mau, tenang aja kok. Kan bisa di refund tiketnya." Lanjut Ayu.

"Kata siapa gue ngga mau?" Kata Kirana dengan nada emosi dan malu yang bercampur.

Ayu pun spontan mengerutkan alisnya berusaha memahami apa yang baru saja Kirana katakan.

"Kalo tiketnya belum lo refund, gue mau ikut. Gue mau ke tugu Jogja, alun-alun sama makan oseng mercon yang terkenal disana!" Kata Kirana excited.

"Lo serius?" Ayu menatap takjub karena manusia di hadapannya mendadak menyetujui ajakannya.

Kirana menganggukkan kepalanya dengan cepat. Dia baru saja searching tentang Jogja. Dan sekaligus dengan lagu yang mengandung kata Jogja di judulnya. Mungkin saja benar seperti apa yang penyanyi itu senandungkan, bahwa ada Sesuatu di Jogja.

*

"Gimana ngga revisi, sampah banget isinya." Kata Pria berkacamata yang sedang membaca kumpulan kertas-kertas yang baru saja dicetak karena masih terasa hangat.

"Sampah lo bilang?" Kata pria yang satunya.

Dodit menganggukkan kepalanya dengan tampang mengejek.

"Gue begadang siang malam, lupa makan lupa minum lo bilang sampah?" Kata Sean mulai meninggi.

Dodit menaikkan satu alisnya.

"Kok lo jadi marah-marah? Katanya lo mau gue jadi dosbing lo?"

"Dosbing ngga ada yang sehina lo!" Lagi dan lagi, namanya juga sudah terbawa emosi.

"Oke, gue sih terserah lo, kalo emang lo maunya wisuda telat." Dodit sudah berdiri dan bersiap untuk meninggalkan tempat itu.

Sean pun menghembuskan napasnya kasar. Dia merasa lebih ekspresif selama bertemu Dodit. Mungkin karena pria itu tidak berekspresi, jadi Sean merasa harus mengimbanginya.

"Oke, sekarang apa yang harus gue lakukan sama sampah-sampah itu?"

"Buang." Kata Dodit santai sembari duduk kembali.

"What?" Sean benar-benar tidak habis pikir. Baru saja ia kehilangan uang 20 ribunya untuk nge-print bab pertamanya, dan disuruh membuang begitu saja.

"Buang."

Sean pun mengambil skripsinya dan membuangnya ke tempat sampah dengan kasar. Lalu kembali ke kursinya.

"Terus?"

"Kertas. Gue butuh kertas."

"Kan tadi udah lo suruh buang." Kata Sean frustasi. Menangani Dodit seperti sedang menangani perempuan yang sedang datang bulan.

"Emang lo ngga punya kertas atau buku tulis?"

"Engga."

"Beli." Jelas, singkat dan padat menitah manusia di depannya untuk beranjak.

"Buat apa sih." Sean yakin, siapapun yang mempunyai indera keenam pasti bisa melihat bahwa di atas kepalanya sudah keluar dua tanduk. Dan aura merah di sekitar tubuhnya.

"Buruan."

Dodit memang ajaib, ia mampu menyuruh-nyuruh Sean seenak jidatnya.

Setelah membeli buku tulis, Sean pun duduk ke kursinya dan membuka buku tulis itu dengan kasar.

"Sekarang lo tulis apa yang mau lo tulis." Titah Dodit.

"Yang jelas Dit."

"Tulis judul yang tadi."

"Udah."

Mereka pun melanjutkan sesi bimbingan sebaya tersebut sampai pukul 5 sore.

"Udah paham?" Tanya Dodit seperti guru yang akan mengakhiri jam pelajaran.

"Gitu doang?" Sean kebingungan, selama ini ia berpikir keras untuk hasil yang maksimal, ternyata hanya sesederhana ini ia sudah mengupas tuntas semuanya.

Sebenarnya Sean tidak sebodoh itu, hanya saja ia terlalu malas. Kirana's Effect mungkin.

Sepertinya, setelah ini ia akan lancar jaya dalam mengerjakan tiap Bab nya. Karena, dia sudah tahu garis besarnya.

Semoga, ia bisa wisuda sesuai dengan waktu yang diberikan dan bisa segera pulang ke Jakarta.

***
Sangat predictable ya kisah mereka. Sinetron banget. Wkwk, tenang, masih belum ada apa-apanya kok ini :) maaf judulnya bikin bingdalung. —bingung dan linglung ehhe

Luv,
Azliana Astari🌻

Pengagum RahasiamuWhere stories live. Discover now