2. Hard Choice

194 20 0
                                    

Prompt 3 : Kau menatap jarum dengan benang hitam yang teruntai di tanganmu dengan ragu. "Tidak apa-apa," sahutnya. "Lakukanlah." Kau mengangguk mantap, lalu menusukkannya ke bibir.

Queenta97



***

Malam ini tidak seperti malam-malam sebelumnya. Hujan lebat disertai angin, berhembus sangat kencang. Kilat petir menyambar-nyambar membuat malam ini semakin mengerikan.

Hena kini sedang berjalan seraya meraba-raba dinding untuk mencapai dapur. Sebenarnya, ia sangat malas jika saja tidak sedang mati lampu. Dapur yang biasanya dapat dicapai tidak kurang dari 2 menit dari kamarnya, kini terasa sangat jauh.

Setelah berhasil mencapai dapur, ia segera mengambil lilin beserta korek api. Kemudian dinyalakannya lilin tersebut untuk dibawanya kembali menuju kamar.

Brakk!

Suara itu mengejutkan Hena. Ia menghentikan langkahnya untuk mencari tahu dari mana suara itu berasal. Hena berjalan dengan pelan ke arah belakang dapur, di mana suara tadi terdengar. Sebuah pintu mengayun-ayun pelan diterpa angin sebelum kembali menimbulkan bunyi yang cukup kencang. Hena ingat jika tadi ia lupa untuk mengunci pintu belakang. Ia segera mengunci dan memastikan pintu itu tidak bisa terbuka lagi meskipun diterpa badai. Setelah selesai, ia segera membalikkan tubuhnya dan pergi meninggalkan dapur.

Sesampainya di ruang tengah, Hena terkejut saat samar-samar melihat sekelebat bayangan yang melintas di luar jendela. Gorden yang melambai-lambai karena diterpa angin membuatnya menyadari jika ia juga lupa belum mengunci jendela.

"Ceroboh sekali kau, Hena." Hena mengutuk dirinya sendiri atas sifat cerobohnya.

Ia meletakkan lilinnya di atas meja, kemudian berjalan ke arah jendela. Melongokkan kepalanya keluar untuk mencari tahu dari mana asal bayangan tadi. Hena tidak menemukan siapa-siapa di sana. Mungkin benar, tadi ia hanya salah lihat saja. Tidak mau ambil pusing, ia segera menutup jendelanya.

Duar.

Suara petir yang sangat kencang membuat Hena terlonjak kaget. Ia memang takut sekali dengan suara petir, apalagi ia sedang berada di rumah sendirian seperti saat ini. Ia mencapai kursi di dekatnya, lalu mendudukkan bokongnya di sana. Berusaha menetralisir detak jantungnya yang hampir saja melompat keluar dari tempatnya.

Sret! Sret! Sret!

Suara langkah kaki yang diseret, menggema di sudut ruangan. Tak lama setelah itu, terdengar suara pintu yang diketuk pelan. Hena menatap pintu depan dengan waspada. Siapa orang yang bertamu malam-malam begini saat cuaca ekstrem seperti ini.

Ketukan itu berhenti. Digantikan oleh derap langkah kaki yang diseret semakin mendekat. Terdengar begitu jelas di belakangnya. Hena tidak berani untuk menoleh ke belakang, meskipun mendengar seseorang itu tengah mengetuk jendelanya sangat kencang. Ia justru teringat akan cerita teman-temannya. Mereka bilang, ada vampir yang mengincar para gadis remaja seusianya. Dia akan mendatangi rumah gadis yang menjadi incarannya, lalu membunuhnya dengan cara yang berbeda untuk dihisap darahnya.

Hena segera menyingkirkan pikiran buruk itu. Iya, teman-temannya pasti hanya ingin menakutinya saja. Mana mungkin ada vampir seperti itu. Ia berusaha menepis pikirannya.

Meskipun begitu, tubuh Hena kini sudah menggigil ketakutan. Udara dingin kini menyergap tubuhnya seolah-olah ingin membekukannya. Selagi suara ketukan di jendelanya itu semakin brutal.

"Hena... Hena...." Suara panggilan yang bernada itu seketika membuat wajahnya pucat pasi. Ia merasa tidak mengenali suara itu.

Dengan tubuh gemetar, Hena bangkit berdiri dan menjauh dari ruang tengah. Ia tidak memperdulikan lilinnya yang ia tinggal begitu saja di sana. Ia lari menuju kamarnya yang gelap gulita. Mengunci pintunya dan menyeret kursi belajarnya untuk ditaruh di belakang pintu. Untuk jaga-jaga supaya seseorang yang memanggilnya tadi tidak bisa masuk ke kamarnya. Setelah dirasa aman, ia berjalan ke ranjangnya untuk menenangkan dirinya.

Sepuluh menit berlalu. Hena sudah tidak mendengar suara ketukan itu lagi. Ia bisa menghembuskan napas leganya sekarang. Ia bangkit berdiri, berjalan pelan menuju pintu untuk menyingkirkan kursinya. Ia mengintip dari lubang pintu, memastikan jika orang tadi telah pergi.

"Hena, apakah kau tidak kegelapan di dalam sana?"

Tubuh Hena membeku seketika mendengar suara itu. Bukannya sudah pergi, tetapi suara itu malah terdengar sangat dekat sekali. Berasal dari balik pintu kamarnya.

"Buka pintunya Hena, aku membawakan lilin untukmu."

Hena memundurkan langkah kakinya ke belakang. Ia harus segera sembunyi supaya orang itu tidak akan menemukannya.

"Aku harus sembunyi di mana?" Hena berdecak kesal, dalam situasi seperti ini ia malah buntu ide.

Hena menatap setiap sudut kamarnya yang dalam keadaan gelap. Tidak mungkin ia sembunyi di kolong tempat tidurnya yang terlihat sempit untuk dimasuki. Apalagi di kolong meja belajarnya yang akan membuatnya langsung ketahuan. Jika ia sembunyi di dalam lemari, ia takut jika akan kehabisan napas. Tidak ada jalan lain, ia menuju jendela kamarnya. Ia akan kabur lewat sana.

Ceklek.

Suara pintu terbuka membuat Hena semakin gemetaran. Sebelum sempat keluar dari jendelanya, sebuah tarikan di rambutnya membuat Hena terjengkang ke belakang.

"Mau kabur ke mana kau, Manis?"

Sesosok vampir berwujud manusia dengan gigi taring yang cukup panjang tengah menyeringai ke arahnya. Hena yang sangat ketakutan hanya bisa memeluk kedua lututnya dengan erat.

"Tolong jangan bunuh aku?" mohonnya pada sosok di hadapannya.

"Aku tidak akan membunuhmu, Manis. Aku hanya ingin memberikanmu dua pilihan."

Hena dengan ragu-ragu memberanikan diri untuk menatap sosok itu.

"Apa itu?" tanyanya pelan.

Ia akan melakukan apapun supaya ia bisa selamat.

Sosok itu tengah mengulurkan kedua tangannya ke arah Hena. Sebelah tangannya memegang sebuah jarum dan satunya lagi memegang gunting.

"Pilihlah salah satu jika kau ingin selamat!" perintahnya.

Untuk apa ia harus memilih benda tajam itu? Apa yang akan dilakukannya dengan benda itu? Pada akhirnya, Hena menemui pilihan yang sulit dalam hidupnya.

"Cepat Manis, aku tidak punya banyak waktu," desaknya.

"Itu." Hena menunjuk tangan yang memegang jarum.

"Pilihan yang tepat," katanya. "Ambillah."

Hena meraih jarum itu.

"Sekarang, aku mau kau menjahit mulutmu dengan jarum itu."

Hena terkejut mendengarnya. Ia tidak mungkin menjahit mulutnya sendiri.

"Jika tidak mau, biarkan aku merobek mulutmu dengan gunting ini," ancamnya saat melihat Hena hanya diam saja.

"B-baiklah," ujarnya dengan ragu.

Setidaknya jarum ini tidak terlalu sakit jika dibandingkan dengan gunting yang akan merobek mulutnya. Hena menatap jarum dengan benang hitam yang teruntai di tangannya dengan ragu.

"Tidak apa-apa," sahutnya.

"Lakukanlah."

Hena mengangguk mantap, lalu menusukkannya ke bibir.

Darah mulai mengalir dari bibirnya. Sosok itu menyeringai senang menyaksikannya. Hena membeku saat sosok itu menghisap darah yang mengalir di dagunya.

Setelah dirasa cukup, sosok itu kembali berdiri tegak. Dan dalam hitungan detik, sosok itu sudah menghilang dari hadapannya. Meninggalkannya sendirian yang mulai merasakan pusing di kepalanya. Pandangannya mulai mengabur dan dalam sekejap, kegelapan mulai menguasainya.

*****

WIA October Fest 2020Where stories live. Discover now