8. Honesty Halloween Party

44 7 1
                                    

prompt 1. Tetangga vampir mengetuk pintu, meminta darahmu. Kau mengiyakan dan berkata, "Silakan. Tapi darah di tubuhku adalah soda." Dan kau tidak berbohong

AzaleaAzzahraF

🧛🧛🧛

Tok-tok-tok.

Tepat waktu! Aku lekas menggantung apron dan sarung tangan masak di gantungan dapur, aku segera berlari menghampiri ambang pintu apartemenku.

Ting-tong.

"Siapa itu?" Sengaja tidak langsung membukakan pintu, kuposisikan kedua tanganku membentuk corong di depan mulut untuk diserukan di depan pintu—meski tidak terlalu jelas, kuyakin suaraku sudah cukup keras untuk didengar layak dari luar pintu.

"Ini tetangga vampir yang bertamu!"

Kutahan cekikik tawaku dengan sebelah tangan begitu mendengar sahutan dari balik pintu. Sesuai perjanjian, kuputar kunci dan kubukakan pintu, menyambut si 'tetangga vampir yang datang bertamu'.

"Ada perlu apa Tuan Vampir kemari?"

Sosok vampir di depanku yang tingginya membuat kepalaku hanya sejajar bahunya itu menyeringai, memperlihatkan taring runcingnya yang mencuat di sudut bibir. "Selamat malam gadis manis, bolehkah kuminta darahmu? Khusus malam Halloween ini saja, aku sangat ingin mencicipi darah manismu itu."

Aku—berusaha—balas menyeringai, yang pastinya tidak mencuatkan taring runcing seperti milik sosok di hadapanku ini, juga yang justru sepertinya berbuah hasil sebatas segaris senyum aneh. "Malam, Tuan Vampir. Aduh, bukannya aku tidak mau, tetapi darahku adalah soda. Aku takut kau akan keracunan kalau meminumnya, bagaimana?"

Sosok vampir di depanku melebarkan seringainya, "Kalau begitu, bagaimana dengan cupcake labu pangganganmu sebagai gantinya?"

Detik itu juga tawa yang sedari awal kutahan mati-matian tersembur lepas. Terbungkuk memegangi perutku demi meredam tawa, kubuka lebih lebar daun pintu apartemenku dan sedikit menyingkir ke pinggir sebagai isyarat mempersilahkan sosok vampir itu masuk. "Sori, Brian! Tapi—ahaha—sumpah, kau tahu aku tidak jago akting beginian!"

Brian—pemuda berkostum vampir penghuni kamar apartemen yang tepat satu nomor sebelumku itu—tertular tawaku juga, meski tertularnya berupa kekehan dengan bahu berguncang. "Ya ampun, Dola, kita sudah enam tahun melakukan ini, lho. Kenapa kau masih tidak bisa tidak tertawa juga?"

"Hei! Salahkan wajahmu yang jadi sangat lucu kalau memakai kostum vampir setiap tahun itu!" balasku defensif.

Mengabaikan protes yang kuserukan, Brian melangkah maju dan melepaskan sepatunya. Aku segera menepi masuk untuk mempersilahkannya masuk. "Yah, setidaknya kali ini kau bisa menyelesaikannya sampai akhir, Dola. Jadi, mana cupcake labuku?"

"Cupcake labu-ku," koreksiku.

Brian bersiul dengan kerjap lapar di matanya setelah mengabaikan protesku dan melihat tatanan cupcake jinggaku di meja, "Tidak pernah mengecewakan memang, Chef Dola ini,"

Aku menyengir bangga, ikut duduk di sisi sofa sebelah Brian yang bagian bawahnya telah ia tarik sehingga sofaku bertransformasi mirip tempat tidur bersandaran, kemudian menunjukkan setumpuk DVD yang telah kusewa sejak minggu lalu. "DVD siap! Hei, Brian, mana sumbanganmu?"

Pemuda berkostum vampir itu tertawa, "Tenang saja, Dola, aku bawa, kok," ujarnya seraya mengeluarkan sebotol darah segar—maksudku jus tomat segar—dari plastik yang tidak sempat kulihat tadi. Diikuti sebungkus popcorn raksasa dan beberapa kotak puding yang semuanya membuatku tak sabar untuk segera berpesta.

Segera kuambil dua gelas untukku dan Brian, yang segera diisinya dengan jus tomat hingga penuh. Teringat sesuatu, aku kembali beranjak ke kulkas dan kembali menenteng empat botol cola, "Cola untuk stok minuman tambahan!" seruku jahil.

Sesuai dugaanku, kontan saja Brian bergidik dan beringsut jauh-jauh ke sisi sofa begitu melihat botol cola yang kubawa, "Ya ampun, Dola, sudah kubilang, 'kan, jangan minum cola? Itu tidak bagus untuk kesehatanmu!"

Aku memutar bola mataku, duduk di sisi seberang sofa seraya mengocok-ngocok sebotol colaku dengan sengaja. "Kata orang yang bawa popcorn pedas segalon raksasa,"

Brian mendengus, entah menertawakanku atau kesal karena balasanku telak membungkamnya. "Apapun itu, jangan diam-diam tuangkan colamu ke gelasku seperti tahun lalu,"

"Ya, ya, ya, Tuan Vampir-sang-pakar kesahatan-jus-tomat. Kau yang pilih DVD saja duluan sana. Aku tidak keberatan yang manapun."

Brian menurut dan memasukkan sebuah DVD ke pembaca kaset TV-ku. Selagi menunggu pembuka film yang berupa animasi simbol studio penggarap dan menyetel subtitle, tahu-tahu saja Brian berkata, "Eh, Dola, kalau aku haus di tengah film dan jus tomatku habis, boleh 'kan, kuminum darahmu?"

"Kali ini kuladeni improvisasimu, deh. Boleh saja, tapi kau tidak bakal suka darahku yang adalah soda."

"Ha-ha, improvisasimu ngawur banget. Dasar."

***

"B-Brian?"

Aku ingin berteriak; sakit, ini sakit sekali, Brian! Saat ini aku sedang tidak bisa bergurau bertanya di mana ia menyewa kuku runcing ala vampir itu, karena kedua bahuku yang tengah dicengkram oleh kuku-kuku itu bisa merasakan keasliannya yang ganjil untuk kupahami. Sedikit lagi saja ia mengeratkan cengkramannya, pasti bahuku sudah berlubang.

"Hm? Kenapa, Dola? Kenapa wajahmu pucat begitu?"

Aku ingin mengelak dari belaian sebelah tangannya yang naik berpindah mengelus pipiku. Jemari berkuku panjangnya terasa dingin menyentuh kulitku, tetapi sayangnya itu justru membuat tubuhku kian beku.

"Ini sudah tengah malam, 'kan? Sudah tiga film yang kita tonton, dan jus tomatku sudah habis," Brian berucap pelan dengan penekanan yang membuatku merinding. Gigi taringnya yang mencuat runcing kini terlihat terlalu asli sebagai gigi palsu bagiku. "Tadi aku 'kan sudah minta izin untuk minum darahmu kalau aku masih haus ... aku tidak bercanda, lho. Jadi sekarang, boleh kuminum, ya? Sudah enam tahun aku bersabar untuk menunggu umurmu genap tujuh belas tahun, tahu, demi merasakan rasa termanis darah seorang gadis. Hargai kesabaranku, dong...."

Aku ingin menjerit ketika napas hangat Brian yang berhembus di leherku berganti sensasi menusuk yang menyengatkan sakit tepat ke nadiku. Menyebar, perih—sakit!

"Jangan—hentikan, Brian—"

***

"—Aku 'kan sudah memperingatkanmu jangan, dasar bandel."

Tubuh itu akhirnya tergeletak kaku, kejang-kejangnya telah reda dilahap kematian sepenuhnya. Darah merah menggenang dari bekas batuk darahnya beberapa saat lalu, yang tercecer karena gerakan hebohnya ketika meregang kejang ajal. Bercampur cairan kecokelatan setengah jernih yang juga tercecer terputus-putus, yang berdesis samar dan berbuih kecil.

Merasakan sengatan nyeri yang sedikit geli di leherku, kuangkat tanganku yang sedikit terkena cipratan merah untuk merabanya, kemudian mendapati cairan berwarna kecokelatan setengah jernih yang sama seperti yang tercecer di lantai tertampung sedikit di celah jemariku.

Aku menjilatnya. Menikmati sensasi manis-asam nan menyengat yang lezat terceceap.

"Sayang sekali, Tuan Vampir, aku juga tidak bercanda saat kubilang darahku adalah soda, tahu. Jadinya kau mati, 'kan ... pesta Halloweenku tahun depan bagaimana, dong?" []

WIA October Fest 2020Where stories live. Discover now