1. Lovey Cokey

375 35 6
                                    

Prompt 1. Tetangga vampir mengetuk pintu, meminta darahmu. Kau mengiyakan dan berkata, "Silakan. Tapi darah di tubuhku adalah soda." Dan kau tidak berbohong.

marrygolda

🍷🍷🍷

Entah kenapa manusia-manusia itu sangat mengidolakan vampir, memuja ketampanan mereka dan menuliskan sebuah cerita fiksi yang menyenangkan antara hubungan vampir dan manusia, seolah dua insan bernama Edward Cullen dan Bella Swan nyata adanya.

Vampir di duniaku sangat bertentangan dengan vampir di dunia manusia, memang tidak kupungkiri kalau vampir di sini juga sama tampannya, yang membedakan hanyalah tingkat kewarasan di antara dua dunia. Vampir yang manusia kenal—ambil saja Edward Cullen sebagai contoh—berusaha sekeras mungkin untuk mendapatkan pujaan hatinya, bahkan dengan menentang dunia, ini normal. Sedangkan vampir di duniaku mengerahkan seluruh tenaganya demi segelas darahku yang rasanya sama dengan soda murahan di pinggir jalan, ambil saja si bodoh Andreas Windheist sebagai contoh.

Andreas Windheist adalah vampir paling tampan di sini, tetapi itu dulu sebelum dia kecanduan darahku. Dalam lima bulan, predikat itu langsung hilang karena ia hampir mati kegemukan dan pengeroposan gigi. Aku terpingkal-pingkal ketika Andreas datang ke rumahku dengan lingkar perut seukuran paha raksasa di ujung jalan, ditambah saat Andreas berusaha menggigit lenganku dengan giginya yang keropos.

Aku sudah memperingatkan dia kalau darah di tubuhku adalah soda, rasanya sama dengan soda-soda dari mesin minuman. Sama manisnya dan sama berbahayanya. Satu gelas darahku bisa dibilang mengandung sepuluh sendok gula, padahal batas wajar seseorang mengonsumsi gula adalah enam sendok perhari, dan parahnya Andreas meminum darahku dua gelas perhari.

Wajar saja dia kegemukan. Andreas bukanlah tipe vampir yang senang berolahraga, dia lebih senang mendekam di rumahku sambil memohon supaya aku memberinya minuman lagi. Seperti sekarang ini.

"Lihat perutmu, dong," sindirku. Aku mengabaikan Andreas yang bersimpuh dengan kedua tangan disatukan seperti saat aku menyembah dewa di kuil, ini sudah kali keempat dia berkunjung sambil menenteng gelas. "Aku takkan memberimu darah lagi meski kau jungkir balik atau salto di jalanan."

"Runa," rengeknya.

Bukan Runa Fletcher namanya kalau goyah. Tubuhku terlalu kecil untuk menendang Andreas keluar, bisa-bisa kakiku patah sebelum ia meninggalkan rumahku. Aku juga tidak mau menggunakan sihirku untuk mengangkatnya, dia berat dan akan berteriak saat tubuhnya mengambang sejengkal pun, dan teriakan Andreas ini lebih mematikan daripada teriakan siren.

Andreas berderap ke arahku, ia lebih mirip seekor duyung yang menyeret tubuhnya di daratan. "Aku bisa mati kehausan," rengeknya lagi. Lihatlah ini, wahai manusia. Sisi keren manakah yang membuat kalian jatuh cinta dengan vampir? Dia hanya bisa merengek dan menyeret tubuhnya.

"Kau juga bisa mati obesitas kalau kebanyakan minum darahku," protesku. Bukan, siapa yang peduli dia mau mati atau tidak, aku hanya tidak ingin darahku diambil lagi.

"Aku makhluk abadi, tak mungkin mati karena obesitas," dalih Andreas.

"Berarti kau juga tak mungkin mati hanya karena haus. Kau, kan, makhluk abadi," sindirku.

Andreas menggeram kesal. Hanya itu yang bisa dilakukannya karena sudah tidak bisa menggertakku dengan taring keropos itu.

"Bagaimana dengan perjanjian kita? Kau memberiku darahmu dan aku membantumu mengumpulkan bahan ramuan," tuntutnya.

Senyum miring tercetak di bibirku. "Perjanjian itu sudah tidak berlaku setelah kau kesulitan berjalan," ungkapku. "Lagi pula aku sudah menemukan bahan terakhir untuk ramuan itu."

"Kau mengkhianatiku."

"Kau yang mengkhianati dirimu sendiri," tampikku. "Sudah berapa kali kubilang, soda tidak baik untuk kesehatan, dan kau mengabaikan peringatanku. Sekarang lihat buah kebodohanmu, taringmu tidak lagi berfungsi dan lingkar perutmu melampaui kapasitas."

"Aku juga tak mau seperti ini," katanya lirih. Andreas menundukkan kepala dengan punggung menyandar di dinding rumahku. "Darahmu membuatku kecanduan, Runa."

Terserah. Aku menggelengkan kepalaku, mengusir perasaan iba ketika melihatnya menghapus air mata. Vampir mana yang bisa menangis. Andreas berjalan ke arahku, ia duduk lesehan sementara aku menginvasi satu sofa penuh karena tak ingin duduk berdampingan dengannya.

Andreas meraih tangan kananku, mengecup punggung tanganku lalu menempelkannya

pada pipinya. Dapat kurasakan pipiku menghangat meskipun kulit Andreas sangat dingin. "Aku minta maaf, aku menyusahkanmu belakangan ini."

"Memang," sahutku.

Tetanggaku ini tersenyum tipis. "Sekali lagi, aku minta maaf." Kalimat itu diiringi dengan sebilah pisau yang menusuk tulang selangkaku.

Rasa terbakar menjalar dari leher ke dada, berpusat pada tulang selangkaku yang sudah berdarah. Andreas dengan biadabnya malah menjilati darahku. Mengabaikan rasa perih di sana, kutarik rambut kelabu Andreas dengan kencang.

"Sudah kubilang, hentikan."

Aku tidak bisa menahannya lagi. Kuangkat tubuh Andreas dengan sihir lalu menghantamkannya ke dinding, ia jatuh terduduk dengan punggung patah. Tetapi, Andreas itu pemuda keras kepala. Ia mendekat lalu melemparkan pisau ke tanganku, sayangnya jarak kami terlalu jauh untuk dia menampung darahku.

Kuarahkan telapak tanganku kepadanya, memelintir angin hingga dia kesulitan bergerak. "Padahal aku berniat mencari vampir lain sebagai bahan terakhir kalau kau bersikap baik," kataku sambil melangkah mendekat. Kuinjak tangannya yang lumpuh. "Sayangnya, kau berontak dan itu memudahkanku, aku jadi tak perlu merasa bersalah."

Aku mengayunkan telunjukku ke atas sampai kepala Andreas mendongak dan matanya menatapku nyalang. "Kau tahu? Belakangan ini aku jadi serba salah kalau dekat denganmu. Ramuan terakhirnya adalah taringmu, tetapi ketika mengingat memori kita bertahun-tahun, aku jadi tidak tega. Akan tetapi, selama lima bulan ini kau hanya datang ketika butuh minum. Kau tak lagi bersikap baik padaku."

Udara semakin menipis di sekitar Andreas, hingga kepalanya semakin mendongak untuk mencari oksigen.

Aku terbang rendah di depannya, jubah merah gelap yang kukenakan sedikit berkibar karena angin yang kubuat. Kuangkat tanganku ke atas dengan perlahan, tubuh Andreas menjadi mengambang dengan leher tercekik, namun kali ini dia tidak berteriak.

"Bu-nuh a-aku."

"Kalau saja aku bisa," balasku. "Sayangnya, kau abadi, sihirku tak mampu membunuhmu. Padahal aku sangat ingin meringankan penderitaanmu."

Mata Andreas bergerak liar, menatapku dengan tidak fokus karena oksigen yang mengalir ke otaknya semakin menipis. "Lakukan yang kauinginkan, Runa."

"Dengan senang hati."

Telapak tanganku semakin menegang, sedikit demi sedikit terangkat ke atas sampai Andreas tidak lagi bergerak. Ketika kupastikan dia hilang kesadaran, kubanting tubuhnya ke lantai. Aku mencungkil taring Andreas dengan anginku lalu menyimpannya di dalam saku jubah.

"Andreas," bisikku. Aku membelai pipinya dengan angin lembut lalu tersenyum tulus. "Beristirahatlah dengan tenang."

Lalu pisau yang sudah kulapisi perak itu menembus jantungnya.

***

WIA October Fest 2020Where stories live. Discover now