6. Give Me Back

71 10 0
                                    

prompt 2: Ia sontak terbangun dan menatapmu. Kau tidak tahu mengapa, namun ada yang aneh dari caranya menatapmu. Perlahan, kau mendekat untuk menyentuhnya, hanya untuk mendapati jemari tangan pudarmu menembus permukaan bahunya.

marrygolda

🧙🧙🧙

Aku adalah seorang petualang, di dalam buku fiksi. Mungkin terdengar konyol, tetapi aku bisa merasakan ketenangan hutan dan gemericik air sungai meskipun aku sedang berada di tempat paling ramai sedunia. Hanya membutuhkan sebuah buku, aku bisa melupakan segalanya.

Kemarin, aku menemukan secarik kertas yang terselip di buku fiksi yang kupinjam dari perpustakaan kota. Kertas yang usang dan tulisan di dalamnya hampir pudar, namun aku masih bisa menangkap apa yang kertas itu katakan kepadaku. Kertas usang itu bilang, aku bisa keluar dari realita menyedihkan dan rutinitas yang membosankan asalkan aku mau melepas bajuku. Ayolah, aku sangat mendambakan dunia fantasi yang sebelumnya hanya bisa kunikmati secara dua dimensi.

Lalu di sinilah aku. Jauh dari percik ramai pusat kota, aku berkelana jauh sampai menemukan rumah kecil di tengah-tengah hutan. Rumah itu seperti rumah pada umumnya, tidak terlihat seperti gambaran gubuk penyihir yang suka menyayur manusia. Bahkan aku menjumpai labu oranye dan hiasan bertema halloween di sini, sama seperti rumah kebanyakan orang di bulan Oktober. Maka, aku memutuskan untuk masuk. Rasa penasaran menjalar di tubuhku, menggerakkan tiap sendi tulangku untuk memutar kenop pintu dan melangkah maju.

"Permisi."

Tidak ada jawaban. Aku berpindah dari ruang tamu ke dapur, memasuki satu per satu kamar tidur hingga kamar mandi, kemudian memutuskan untuk duduk karena kelelahan setelah memasuki gudang. Sejauh ini, tidak ada yang aneh. Sampai ketuk sepatu hak menggema di sepenjuru rumah, lalu baru kusadari bahwa suara itu berdengung di dalam telingaku.

Aku bersumpah bahwa aku dalam keadaan sadar ketika melihat seorang perempuan berparas cantik. Ia mengenakan gaun putih selutut yang diberi hiasan seperti noda darah dan sepatu hak berwarna merah, rambut hitam sepunggungnya sangat kontras dengan iris hazel itu.

"Hai, Emma." Ia menyapa dengan suara yang sangat lembut. "Kau sudah jauh-jauh

mencariku, jadi apa yang kauinginkan?"

Aku mendekat. Kutatap matanya yang sangat indah, menyusuri setiap senti dari wajah hingga tubuhnya. Dia benar-benar menawan. "Apakah dirimu yang menyelipkan kertas usang itu?" tanyaku. Sontak aku langsung iri karena suaraku jauh lebih buruk ketika disandingkan dengan suaranya.

"Benar," kata perempuan itu. "Kau mau mencobanya? Keluar dari realita menuju imaji tak terbatas."

"Ya. Aku mau." Kemudian, aku pingsan.

***

Yang kukatakan aku harus melepas bajuku adalah melepaskan jiwa dari ragaku. Aku meninggalkan ragaku di rumah Willa—perempuan cantik tadi—lalu terbang menembus atap menuju dunia imaji tak terbatas.

Aku langsung disuguhi fenomena langit terbelah begitu aku menembus atap. Matahari semerah darah dan gumpalan awan sewarna jelaga, bau anyir darah dan busuk bangkai binatang langsung menjalari indra penciumanku. Di bawah kakiku yang melayang- layang, tanah retak dan pepohonan meranggas, daun yang tergeletak tak berdaya memercikan api kecil karena suhu terlampau membakar.

Embusan angin membawaku sampai ke sungai. Airnya keruh dan berbau bangkai, cairan kecokelatan itu melarutkan potongan-potongan tubuh manusia, dari sinilah sumber segala bau busuk. Ikan-ikan menggelepar di daratan, amis. Meskipun aku hanya berupa kesadaran, indraku masih berfungsi sedemikian rupa.

Aku terbang menjauhi sungai menuju permukiman. Rumah-rumah berjajar, gosong dan hancur sebagian besarnya. Atapnya terbakar, terasnya banjir cairan merah pekat, dan tak ada satu dinding pun yang selamat dari kehancuran. Jalanan meledak di depan mataku, menguarkan bau aspal, lalu tercipta lubang yang sanggup menelan puluhan orang.

Tiba-tiba, suara jerit dan tangis menyapaku, membuatku terbang ke sumbernya. Di ujung permukiman, terdapat lahan kosong yang menjadi medan peperangan. Baku tembak tanpa henti, bubuk mesiu berterbangan seiring jerit anak kecil mengudara. Orang berseragam militer itu menyerukan satu kata yang sama namun tidak kumengerti artinya, lalu bersamaan menyerang kubu lawan yang berisi orang-orang pribumi.

Kematian tak terelakkan.

Aku tidak tahan lagi.

Aku bersyukur karena bisa terbang secepat angin lalu kembali masuk ke rumah Willa melewati dinding. Namun, tidak ada Willa di sana, hanya terdapat seonggok jasadku yang terbaring di lantai.

Beberapa detik kemudian, kusadari jasadku bergerak. Aku menahan napas, memelotot menatap tubuhku yang bergerak tanpa diriku. Aku mendekat untuk menyentuh bahuku yang sudah terduduk, barulah aku menyadari kalau aku hanya berbentuk kesadaran. Ruh.

Perlahan, aku menoleh, matanya membelalak dan bibirnya terbuka. Iris mataku tidak lagi berwarna biru, melainkan berubah menjadi hazel.

"Willa?"

Benar, Willa lah yang menghuni tubuhku. Willa tersenyum lebar lalu mulai berbicara, "Jadi seperti ini rasanya hidup kembali. Oh, kau sudah selesai? Tetapi aku belum selesai dengan tubuhmu."

"Persetan," umpatku.

Willa terkekeh. "Sebentaaaar saja, Emma, setelah aku puas akan kukembalikan dengan utuh. Sudah lama sekali aku tidak merasakan napas yang hangat dan detak jantung yang statis."

"Itu masalahmu," ketusku.

"Akan kukembalikan dengan satu syarat."

Aku berdecak. "Seharusnya aku tidak memercayaimu, iblis. Dunia imaji yang ada di sini tidak sesuai dengan yang kuharapkan, aku menginginkan utopia bukan sebaliknya."

Willa mengerucutkan bibirnya—bibirku—lalu tersenyum manis. "Distopia adalah bagian dari dirimu, bahkan buku bacaanmu kebanyakan distopia. Kau tak pernah membaca kisah klasik berakhir bahagia seperti Cinderella."

"Aku pernah membacanya!"

"Versi kaki saudara tiri Cinderella dipotong supaya muat di sepatu kaca," protes Willa. "Tidakkah kau berpikir itu menyeramkan?"

"Yang benar saja," decakku. "Terserah, pokoknya kembalikan tubuhku."

"Baiklah, baiklah, dasar tidak sabaran." Willa berdiri hingga mata kami bertatapan karena kesejajaran tubuh. "Asalkan kau harus mengembalikan buku itu langsung begitu kau

sampai di kota, biarkan orang-orang sepertimu menemukan kertas itu dan menemuiku. Biarkan aku merasakan kemanusiaan ini lagi, jangan menjadikan dirimu sebagai yang terakhir. Oke?"

Aku memutar bola mata malas. "Oke."

Willa tersenyum. Tiba-tiba, angin berembus di sekitar kami berdua, menciptakan pusaran kecil lalu aku tersentak masuk ke dalam tubuhku sendiri. Tanpa kehendakku, aku sudah berjalan menjauh dari rumah Willa sembari menenteng buku yang membawaku ke sini. Aku berbalik untuk menemukan Willa tersenyum dan melambaikan tangan.

Dari Willa, aku belajar bahwa dunia imaji tak terbatas belum tentu indah. Belum tentu yang ada di ujung imajinasiku selalu utopia. Realita memang menyebalkan, rutinitas memang membosankan, tetapi dunia imaji belum tentu kenyenangkan.

Aku membalas lambaian tangan Willa. Senyumku mengembang. "Terima kasih, Willa," kataku pelan.

Dari dalam kepalaku, dapat kudengar Willa membalas dengan riang. "Terima kasih kembali, Emma."

***

WIA October Fest 2020Where stories live. Discover now