7 Pilihan Jalan

384 89 34
                                    

"Bagus, Ajun," Hendery memuji. Putranya sudah mulai bisa berdiri.

"Daddy.."

Tangan mungilnya meraih. Hendery segera mendekapnya erat. "Daddy.." Hendery tersenyum bangga. "Tidak kusangka kau akan tumbuh secepat ini"

"Putraku."







.
.
.







"Halo, Ajun. Kakak datang untuk menjemput mu."

Limau berlari. Ia menuju Winwin dan hampir menerkamnya, tapi Winwin menyingkirkan hewan buas itu dengan Chain miliknya. Menusuk perut si Limau bertubi-tubi di depan Ajun hingga ruangannya dipenuhi darah dan tubuh Limau sudah tak bernyawa.

Ajun tak bisa melakukan apapun. Ia hanya terdiam melihat teman kesayangannya terbunuh.

Winwin mengusap air mata Ajun. Wajah malaikat itu melembut seketika. "Maaf, tapi aku harus melaksanakan tugasku." Ujung Chain milik Winwin hampir mengenai jantung Ajun. Namun masih ada keraguan. Winwin tidak tega. Bagaimana bisa ia mengambil nyawa seorang anak kecil. Lagi-lagi tekad dalam hatinya luntur.

"Daddy butuh Ajun."

"Eh?"

"Kalau Ajun terluka, nanti tubuh Ajun tidak berguna untuk Daddy."

Winwin memandang tak mengerti. Apa yang barusan anak kecil di depannya ini katakan? Tubuh? Apa maksudnya?

Ajun memegang tangan Winwin. "Kakak Putih, Ajun mohon jangan bunuh Ajun sekarang," pintanya.

"Apa yang kau bicarakan?"

"Setelah keinginan Daddy terwujud, Ajun boleh mati." 

Winwin tersentak begitu mendengarnya.

"Kalau kakak bunuh Ajun, Daddy pasti sedih," lanjut Ajun dengan nada rendah.

Winwin tidak merespon. Ia masih mencerna apa yang Ajun utarakan padanya. Anak kecil di depannya ini khawatir bukan karena ayahnya sedih atas kematiannya, tapi sedih karena sang ayah tidak bisa menggunakan tubuhnya.


Mungkinkah..



'Tubuh? Apa dia sudah gila?' Winwin menggeleng. Pikirannya mulai ngawur. Sebagai seorang ayah mana mungkin sanggup melakukannya? Lagipula itu hanya cerita masa lalu.

Tapi..


"Ajun, apa kau sangat menyayangi Daddy mu?"










◽◽◽











Beberapa menit sebelumnya,





Sepasang mata itu bergetar. Hatinya enggan menerima. Tetapi peti di depannya adalah peti milik saudaranya.

"Tidak mungkin." Grisela mulai terisak. Ia tidak percaya saudara yang amat dikagumi dan disayanginya itu sudah tidak ada di dunia ini.

"Saudaramu membuat permintaan. Dan bayaran yang aku dapat sudah setimpal dengan permohonannya," ucap Hendery menjelaskan.

"Setimpal?" Grisela menatap penuh amarah. "Kau benar-benar iblis!"

Hendery mengulas senyum. "Ya, karena itu, apa kau sungguh ingin menemui saudaramu?"

Pertanyaan Hendery kembali merubah raut Grisela menjadi kosong. Memorinya terulang. Jemari Hendery yang dingin itu memegang pipi Grisela. Menghasut pikirannya.

ANGELACEWhere stories live. Discover now