Hari Sial

41 8 3
                                    

Seseorang terlihat berlari. Wanita berambut panjang tiba-tiba mengarahkan tendangannya ke arah ku. Seketika aku memejamkan mata dan menunggu tendangannya itu. Setelah beberapa lama aku pun membuka mata. Tapi, tak ada sesuatu yang terjadi padaku. Aku baik-baik saja.

Telihat kedua preman itu lari terbirit-birit. Aku penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi?

Wanita itu hanya berdiri sembari menatapku. Apa dia yang telah membuat kedua preman itu ketakutan? Ah sangat sulit dipercaya. Bagaimana bisa seorang perempuan mengalahkan laki-laki seram seperti itu?

"Lain kali jangan lewat jalan ini sendirian. Banyak manusia sinting berkeliaran di sini." ucapnya sembari mengutak-atik kamera di tangannya. "Jangan takut. Aku bukan gerombolan mereka. Untung saja aku melihatmu, kalau tidak kau sudah babak belur atau mungkin juga mati. Preman di sini terkenal sadis. Mereka tak segan memalak atau membegal disiang bolong seperti ini. Kau sedang beruntung."

"Terimakasih." ucapku singkat. Aku merasa bingung harus menjawab ocehannya. Mungkin lebih tepatnya penjelasan.

"Hei! Aku menyelamatkan nyawamu tahu! Tapi hanya terimakasih? Ah menjengkelkan. Setidaknya belikan aku sesuatu, atau tidak beri aku uang untuk membeli makanan."

"Kau menjebakku kan? Wah tidak bisa dipercaya. Pasti kau juga gerombolan mereka. Hanya saja cara memalakmu berbeda. Kau pura-pura menyelamatkan ku kemudian memerasku kan?"

"Hah? Ish membuatku marah saja. Dasar tidak tahu terimakasih. Aku benar-benar menyelamatkanmu payah!! Aku ini wartawan tahu! Mana mungkin gerombolan preman seperti mereka. Aku hanya lapar dan tidak punya uang. Setidaknya kasihani aku, dan belikan makanan. Ah menyebalkan. Seharusnya aku tidak menyelamatkanmu. Aku biarkan saja kau mati supaya aku bisa mendapat berita pembunuhan."

Raut wajahnya terlihat sangat kesal. Apa mungkin perkataanku terlalu kasar? Sepertinya aku memang tidak tahu terimakasih.

Perasaan bersalahku semakin menjadi-jadi ketika wanita itu berjalan pergi dengan meninggalkan tatapan marah. Tanpa ragu aku berlari mengejarnya.

"Tunggu!" panggilku sembari memegang bahunya. "Aku akan membelikan makanan sebagai ucapan terimakasih."

Namun wajahnya tak terlihat senang. Lipatan di dahi dan bibir yang kesal sudah menjelaskan dia sangat marah padaku .

"Jangan memasang raut wajah seperti itu. Itu membuatku merasa bersalah."

"Benarkah?" tanyanya dengan senyum lebar. Ah sangat mengagetkan. Rasanya seperti melihat Joker sedang tersenyum kepada ku.

"Ayo! Aku akan menghabiskan uangmu dengan membeli semua makanan yang aku mau." sambungnya.

Sebuah minimarket menjadi tujuannya. Aku hanya berjalan mengikuti wanita aneh itu.

"Diam di sini. Aku akan memanggilmu untuk masuk ke dalam ketika aku sudah selesai berbelanja. Jangan berpikir untuk kabur. Aku akan membunuhmu jika itu terjadi."

"Baiklah. Cepat beli semua yang kau mau. Aku akan menunggu di sini."

Ia pun segera masuk ke dalam minimarket. Hingga akhirnya aku harus menunggu lama. Matahari sepertinya akan segera pulang ketempatnya, tapi aku masih di luar dan menunggunya. Sangat menjengkelkan. Aku tidak suka menunggu selama ini. Tapi aku berpikir ini lebih baik daripada pulang lebih awal dan tinggal berdua bersama Zea.

"Hei!! Cepat bayar belanjaanku." ucapnya keluar dari minimarket.

Aku pun bergegas membayar belanjaannya. Tapi benar saja, dia menghabiskan uangku. Apa yang ia beli sebanyak itu? Apa ia memborong semua isi minimarket? Uang saku yang diberikan Paman Hira untuk satu bulan ke depan habis hanya dalam satu hari. Dia benar-benar ingin memerasku.

"Heh! Kau tidak tahu malu ya, uangku langsung habis karena belanjaanmu itu. Aku ini bukan orang kaya yang bisa kamu peras. Aku juga miskin sepertimu tahu!"

Rasanya emosiku langsung terluapkan.

"Tapi penampilanmu seperti anak orang kaya. Jangan coba-coba menipuku ya. Uangmu pasti banyak."

"Wah kau memang tidak waras. Wartawan macam apa sepertimu? Dasar."

"Kau ingin aku bunuh ya? Mulutmu itu persis seperti tempat sampah. Tapi aku harus bersabar menghadapi anak-anak sepertimu."

"Anak-anak?!"

"Sudahlah. Ayo kita makan dulu. Aku membelikanmu roti. Kau harus berterimakasih kepadaku." ucapnya sembari duduk disalah satu kursi di depan minimarket.

"Terimakasih apanya? Kau membeli roti itu dengan uangku. Aku rasa lebih baik memberikan uang itu pada preman tadi daripada membelikan barang-barang tidak berguna untukmu."

"Ish mulut mu kotor sekali. Kalau aku tidak ada, kau pasti sudah mati. Jadi lelaki itu harus pintar menjaga diri bukannya payah sepertimu. Luarnya saja yang terlihat hebat ternyata kau seperti hello kitty. Lelaki macam apa?"

Terlihat bibirnya yang menyeringai itu. Aku sangat kesal. Wanita menjengkelkan ini telah menguras emosiku. Apa dunia ini hanya diisi wanita seperti seperti dia dan Zea? Belum pernah aku bertemu wanita baik dan sopan. Ataukah aku yang tidak beruntung?

"Jangan kesal seperti itu. Aku hanya berkata jujur. Menjadi wartawan itu tidak mudah, aku harus bisa mendapatkan berita yang menarik tapi sesuai fakta. Itu yang membuatku menjadi orang yang terlalu jujur dalam berbicara."

Aku sungguh tak butuh ocehannya itu.

"Nama mu siapa? Sepertinya kau lebih muda dariku."

"Kau tidak perlu tahu namaku. Lagi pula kita tidak akan bertemu lagi."

"Wah bicaramu benar-benar menggores hati."

"Ya sudah jangan berbicara dengan ku lagi. Aku juga...."

"Nama ku Ghisa. Aku wartawan berita kriminal di daerah ini. Jadi aku tahu semua tempat dan kasus kriminal di sini. Dan nama mu? Jangan bersikap dingin seperti itu, aku takut tidak akan ada wanita yang menyukaimu."

Yang benar saja? Wanita apanya? Aku sudah menikah. Tidak ada yang menyukai ku pun tak masalah. Walau pernikahanku terlihat main-main, tapi aku tak mungkin mencari wanita lain. Ini tentang harga diri.

"Cepat beritahu aku siapa nama mu."

"Rigel." jawabku.

"Nama yang bagus. Sepertinya kita cocok. Ayo berteman."

"Tidak. Aku akan pulang sekarang. Pastikan kita tidak akan bertemu lagi." jelasku sembari berjalan pergi meninggalkannya.

"Heii!!! Aku berniat baik menjadi teman mu! Wah benar-benar ya!! Aku pastikan kita akan bertemu lagi, dan kau harus menjadi temanku!!"

Teriakannya sangat membisingkan telinga.  Aku sungguh tak ingin bertemu dia lagi, Ghisa.

.......

Kali ini aku benar-benar harus berjalan kaki untuk sampai ke rumah. Uangku habis. Tapi tidak masalah, hari mulai gelap dan ketika aku sampai ke rumah Zea pasti sudah tertidur sehingga aku tak perlu bertemu dengannya.

Hari sungguh telah malam. Dinginnya malam menyentuh sekujur tubuhku. Kaki ku terasa lelah. Suara derit pintu terdengar diseluruh ruangan. Rumah terlihat sepi tak berpenghuni. Lampu ruang tengah pun tak di nyalakan.
"Mungkin Zea mematikan lampunya." pikirku.
Kaki ku mulai melangkah ke arah kamar. Kamar benar-benar gelap. Perlahan aku membuka pintu, berniat mengambil baju ganti dan memastikan Zea sudah tertidur. Aku meraba-raba tembok untuk menemukan saklar dan menyalakan lampu kamar yang gelap. Namun aku sangat terkejut sampai rasanya jantungku berhenti berdetak.

"Rigel!!" teriak Zea yang kaget.

Pemandangan yang sangat menjijikan berada di hadapanku saat ini.

"Apa yang sedang kalian lakukan hah? ZEA!!!!!"

___________________________________________

Rigel ^^

NEXT =>





THE REAL YOU- Rigel [On Going]Where stories live. Discover now