20

5.2K 244 2
                                    

Gara memejamkan mata sembari menutup telinga dengan satu tangan. Teriakan sang mama benar-benar memekakkan telinga. Dia hanya mengulas cengiran seperti kuda kepada Gina yang sedang menatap tajam dirinya.

Gina menghampiri sang anak semata wayangnya, menjiwil telinga Gara hingga memerah. Gara meringis kesakitan, buru-buru melepaskan jiwilan tersebut. Sangat konyol.

Sementara Aishwa, gadis itu sedari tadi masih saja menundukkan kepala. Dia merasa canggung berada di tengah-tengah keluarga Gara. Takut jika keluarga Gara tidak menerima dia dan anaknya. Seperti di film yang tak sengaja dia tonton.

"Siapa nama kamu?" Gina menghampiri Aishwa, mengulurkan tangan menaikkan dagu gadis itu agar dia bisa leluasa menatap wajahnya.

Seulas senyum hangat terbingkai di wajah Gina, perlahan memudar. Dia menatap iba kepada Aishqa juga bersalah, karena ulah Gara. Gadis malang itu harus menanggung malu dan masa depannya pun hancur.

"Mama enggak nyangka sama kamu Gara. Kamu benar-benar nakal, kenapa kamu ngelakuin hal buruk kayak gini?" Gina menatap Gara dengan tatapan tajam. Masih belum puas dengan jawaban Gara kenapa sampai bisa menghancurkan hidup anak gadis orang lain.

Gara tampak tak memedulikan ucapan sang mama. Laki-laki itu dengan santainya memilih duduk di sofa, tidak lupa juga sebatang rokok menemaninya. Gina merasa geram melihatnya, dia mengembuskan napas pelan. Lalu kembali menoleh menatap Aishwa, memegang bahu gadis itu. Kemudian menurunkan ke bawah, menyuruh Aishwa duduk.

Tatapan Gina kembali tertuju ke arah Gara. Laki-laki berandal itu masih saja mengisap rokok dengan santai. Seolah-olah tidak memedulikan keberadaan sekitar. Ada rasa sesal di dasar hati Gina, menyesal karena tidak memerhatikan atau melihat bagaimana pertubuhan masa remaja Gara. Dia terlalu sibuk dengan dunia desainer san perbutikkan lainnya.

"Jawab Mama, Gara! Kenapa kamu sampai memiliki pikiran buruk seperti itu, hah?"

Lagi dan lagi, Gara mengabaikan ucapan sang mama. Dia menganggapnya sebagai angin lalu saja. Percuma saja menjawab, tidak akan pernah kembali sesuai dengan keinginannya.

"Ck, kamu benar-benar anak pembangkang!"

Aishwa mencengkeram rok sekolahnya. Merasa bahwa keluarga yang sedang dia kunjungi bukanlah berasal dari keluarga harmonis, justru jauh dari kata itu.

Gina mengalah, tidak ada gunanya memaksa Gara untuk berkata jujur mengenai apa kesalahan yang diperbuat. Meluluhkan hati sang anak sendiri dia rasa sulit. Gina ikut duduk di samping Aishwa, mengangkat dagu gadis itu kembali untuk ditatap.

Manis. Satu kata dari dasar hati Gina saat menatap wajah Aishwa. Entah kenapa Gina merasa jatuh hati kepada Aishwa, sedangkan Gara—dia menatap malas ke arah sang mama dan Aishwa.

"Drama," gumam Gara yang masih bisa didengar oleh Gina.

Gina mencium kening Aishwa sekilas, lalu meraih tangan gadis itu untuk digenggam. "Maafkan, Gara ya."

Nada bicara Gina terdengar penuh sesal. Aishwa membalas genggaman tangan itu. Entah kenapa air mata yang disembunyikan di balik pelupuk mata jatuh setetes begitu saja. Sadar melihat air mata Aishwa, Gina segera menyekanya.

"Jangan takut. Gara akan bertanggung jawab," ucap Gina lagi.

Aishwa tidak menjawab. Dia belum memikirkan atau sampai memiliki pikiran meminta pertanggung jawaban dari Gara. Rasa takut dan trauma masih membekas dalam benak.

"Pokoknya Mama enggak mau tahu. Kamu harus segera menikahi Aishwa sebelum janin yang ada dalam rahim Aishwa semakin berkembang," lanjut Gina memberitahu.

"Gara terserah sama Mama. Gara sadar Gara salah," ucap Gara antara sadar dengan tidak sadar.

Asal mengepul dari mulut Gara. Begitu menikmati rokok yang tengah dihisapnya. Baru saja dia ingin mengisap kembali, rokok diapit di jemarinya terjatuh ke lantai akibat senggolan dari seseorang yang Gara yakini dengan sengaja.

Gara mendongak memastikan siapa yang menghancurkan dunia kecil miliknya. Padahal dia begitu menikmati setiap hisapan dari rokok itu.

"Jaga sopan santunmu! Jangan merokok di dalam rumah!"

Suara tegas itu menyapa indra pendengar Aishwa. Penasaran dengan suara siapa, Aishwa mendongak dengan pelan. Menatap laki-laki berumur kepala empat yang sepertinya tampak marah kepada Gara.

"Ribet banget! Cuma ngerokok sebentar doang," ujar Gara tanpa memfilter ucapannya.

Wiraman sudah biasa mendapat respons tak baik dari sang anak. Tidak mau membuang waktu hanya dengan berdebat, dia menatap ke arah sang istri. Alisnya berkerut melihat seorang gadis berseragam SMP tengah duduk di samping Gina.

"Siapa dia?"

Sontak saja Gina bangun dari duduknya, menatap sekilas Aishwa. Lalu kembali menatap sang suami. "D–dia Aishwa gadis yang dihamili oleh Gara."

Wiraman terkejut bukan main. Tangan kekarnya menarik kerah kemeja Gara, lalu menampar wajah sang anak dengan keras. Aishwa mendongak mendengar tamparan itu. Menatap tidak percaya di depannya.

Gara memegangi pipi yang terkena tampar, bagian kiri. Seringai tipis terbingkai di wajah, dia menolehkan wajahnha kembali. Menatap sinis ke arah sang papa. Atmosfer di antara mereka mendadak berubah menjadi menegangkan. Kilatan amarah terpatri dalam iris mata masing-masing.

"Sangat konyol! Papa kecewa sama kamu, Papa pikir gadis itu satu tingkat sama kamu. Tetapi ... kamu malah ...." Wiraman tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Dia benar-benar merasa kecewa.

Gina menghampiri, mengusap pelan bahu Wiraman. Dia harap-harap cemas, karena takut terjadi keributan tanpa terselesaikannya masalah mereka.

"Kamu jawab pertanyaan Mama, Gar. Kenapa kamu melakukan ini? Kasihan gadis malang itu, kamu sudah menghancurkan masa depannya."

Gara mendengkus kasar. Mengusap wajah dengan frustrasi. "S–sebelum kalian bertanya seperti itu. Apakah kalian tahu bagaimana masa kanak-kanakku dulu? Lalu remaja?"

Kedua orang tuanya tidak merespons. Membuat Gara semakin dibuat kesal. "Pergaulan! Ya, mungkin saja. Pergaulan tidak sehat sampai melampiaskan hasrat kepada seorang gadia belia seperti dia." Gara menunjuk Aishwa, lalu kembali menatap kedua orang tuanya.

Gina menyeka air mata yang jatuh begitu saja. Berjalan mendekat ke arah Gara, memegang dada laki-laki itu. Mencoba mengontrol emosi Gara, Gina tahu apa konsekuensinya jika Gara sudah lepas kendali. Laki-laki itu akan menyakiti diri sendiri atau menyakiti orang lain.

"Enggak usah nanya-nanya lagi, kenapa saya melakukan hal itu! Tentukan saja kapan tanggal pernikahannya." Gara menoleh menatap Aishwa, tatapan mereka saling bertemu. Kebetulan gadis itu memang sedari tadi sedang menatap keluarga Gara.

"Saya siap bertanggung jawab," desis Gara seraya menyeringai penuh arti.

****

Jangan lupa menabung untuk memeluk versi cetaknya.

Kesucian yang ternodaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang